Cindra sudah berupaya melakukan semacam briefing terhadap Nana sebelum mereka berdua bertemu dengan Rheo di salah satu cafe kampus yang memang biasanya cukup sepi pada jam siang seperti ini.
Namun, sepertinya semesta kembali mempermainkan Cindra. Ketika Rheo baru saja duduk di hadapan perempuan itu, Nana malah meneriakkan kata yang berada di luar nalarnya.
"Onstel Mpan!"
Maksud Nana adalah Monster Tampan. Balita yang satu ini malah memberikan nama julukan baru pada Rheo.
Diawal Cindra menahan tawanya, tapi ketika ia melihat ekspresi gelap Rheo, dia cepat-cepat mengubah haluan. “Maaf, Pak."
Cindra langsung membekap mulut Nana dan ditarik untuk duduk ke pangkuannya. "Dia biasanya anteng aja kok, dan malu-malu kalo ketemu orang baru."
Bukannya memaklumi, kening dosen galak itu malah berkerut. Alis tebalnya sampai bertaut. Rheo bersedekap menampilkan wajah sinisnya. "Makhluk itu tadi ngatain saya, kan?"
Cindra mempertegas apa yang didengarnya. Kedua matanya tampak mengerjap beberapa kali sambil menatap Nana dan Rheo secara bergantian. Hal yang membuatnya sampai kehilangan kata-kata untuk bicara.
"Maaf ya, Pak. Kenalin namanya adalah Naomi Adzkia, biasa dipanggil Nana. Maaf saya bawa Nana ke sini. Tetangga yang biasa saya titipin Nana lagi jenguk mertua yang lagi sakit. Jadi karena enggak ada yang jaga Nana, saya terpaksa bawa dia ke sini." Cindra berusaha mengatur suaranya senatural mungkin.
"S-saya kurang percaya kalo harus nitipin Nana di tepat penitipan anak. Saya juga agak kesulitan kalau harus menyewa baby sitter."
Tunggu dulu, kenapa juga Cindra jadi bicara melantur jauh seperti curhat begini di hadapan Rheo? Itu sama saja seperti dia mengemis rasa kasihan dari dosen paling kejam di kampusnya ini, bukan?
Matilah Cindra. Tamatlah sudah masa depannya yang cerah. Selamat datang di kegelapan dunia.
"Mama!" Panggilan Nana berhasil mengalihkan isi kepala Cindra yang sedang merutuki nasib.
"Iya, Sayang?"
"Onstel mpan itu papa Nana, ya?" tanya Nana dengan jari kecil yang menunjuk ke arah sang dosen.
Sebuah pertanyaan polos yang tentu saja berhasil membuat Cindra dan Rheo terkejut bukan main. Perempuan itu langsung menyumpal mulut Nana dengan roti.
"Ahaha! Nana lucu banget, ya! Ini, makan ini. Kalo mau main di depan taman situ juga boleh. Main pasir, tapi jangan jauh-jauh, oke?"
Cindra tahu, meskipun saat ini wajah Rheo masih tampak datar, pasti dosennya itu sangat ingin melahap Nana bulat-bulat. Hanya dari tatapan tajam sang dosen pun, Cindra serasa mampu menebak isi kepala Rheo yang bagaikan psikopat. Sekarang, ia mulai berkeringat dingin.
"Oh, jadi seperti itu yang katanya malu-malu kalau ketemu sama orang baru, hm?"
Lihat? Rheo bahkan mulai menyindir lagi secara halus. Mulut pedas dosen ini ingin sekali Cinta ulek-ulek dengan sambal.
"Beneran kok, Pak. Nana biasanya enggak pernah ribut seperti ini. Dia baru kaya gini sama Bapak aja." Bagus. Sekarang mulut Cindra jadi kecoplosan tidak sopan.
"Begini bagaimana?" tanya Rheo masih menatap tajam wajah gugup Cindra yang sudah berkeringat.
"I-itu—"
"Papa onstel mpan!" Nana kembali menyela di tengah acara makan rotinya. Sekitar mulut balita lucu ini sudah belepotan oleh selai cokelat. Pada akhir kalimat nyeleneh tadi, Nana juga tertawa begitu polos.
Cindra kembali terkekeh hambar. Berusaha membuat suasananya agar tidak canggung. "Nana lucu, ya. Maaf, Pak, selama ini Nana tumbuh tanpa sosok ayah. Makanya, kadang dia bilang semua laki-laki yang ditemuinya sebagai papanya!"
Bagaimana ini? Cindra mulai melantur lagi. Dia sudah benar-benar mengacau. Cindra tidak akan heran kalau Rheo menggamparnya sekarang, atau kalau Rheo membatalkan janjinya untuk membantu Cindra dalam bimbingan skripsi.
"Nama kamu Nana?"
Lagi dan lagi Rheo memberikan respon yang mengejutkan. Kali ini, dosen itu malah mengajak Nananya bicara. Apa Rheo ingin membuat Nana menangis dengan kata-kata yang kejam? Cindra kembali berpikir berlebihan.
"Iya!" Nana menjawab dengan riang. "Ini Nana," ujarnya sambil menunjuk diri sendiri. "Ini Mama!" sambung Nana lagi sambil menunjuk Cindra. "Dan Papa!" Nana tergelak ceria saat menunjuk Rheo.
"Saya bukan papa kamu."
Sebuah jawaban dingin yang sudah Cindra duga.
"Nana, kamu tidak boleh menyebut sembarang orang jadi papa kamu, paham?" Rheo kembali melanjutkan.
Bisa tidak, Rheo menganggap ucapan Nana tadi sebagai ocehan lucu dari anak kecil umur dua tahun saja? Kenapa menganggapnya serius coba? Lagi pula, Cindra pun tidak akan sudi menjadi istri dari sosok seperti Rheo. Bisa-bisa kepalanya meledak karena emosi yang membludak saat berhadapan dengan pria ini.
"Onstel mpan bukan papa Nana?"
"Iya. Saya bukan papa kamu dan kamu tidak boleh mengatakan orang lain itu monster."
Cindra jadi merasa bersalah karena dirinyalah yang sudah mengajari Nana bahwa pria yang ditemuinya seperti sesosok monster.
Raut wajah Nana pun berubah sedih, tapi sedetik kemudian balita itu tersenyum kembali. Cindra langsung memanfaatkan situasi itu untuk membiarkan Nana bermain di taman depan cafe, sedangkan dirinya mulai membahas perihal skripsi dengan Rheo.
Obrolan mereka dimulai dengan tidak baik, meski akhirnya Cindra harus menurunkan ego demi bisa menerima usulan Rheo.
"Karena otak kamu tidak terlalu pintar, tapi tidak terlalu bodoh juga … jadi saya sarankan skripsi kamu tentang web buat sekolah saja. Coba ditingkat SMA. Kalau mau lebih aman, bisa di sekolah dekat rumah saya. Kamu jadi mudah kalau ada kendala nantinya."
Membuat website sekolah. Itu adalah jalan paling aman meski sebenarnya Cindra ingin melakukan hal yang lain. Namun, Cindra tidak ingin melewatkan kesempatan emas ini. Rheo secara mengejutkan tidak menarik kata-katanya lagi yang ingin membantu Cindra dalam pembuatan skripsi.
"Buat masalah kepenulisan, saya rasa kamu masih bisa, ya. Paling nanti kendala kamu ada di tabel aja."
Cindra mengangguk sambil mencatat beberapa hal penting. Sesekali ia menengok ke samping, memastikan bahwa Nana bermain di taman dengan aman dan tanpa gangguan.
"Kamu ngebesarin dia sendirian?"
Pertanyaan mendadak Rheo membuat pulpen di tangan Cindra sampai terjatuh ke lantai. Perempuan itu cepat-cepat mengambil pulpennya lagi dengan wajah cengengesan.
"Hehe. Iya, Pak."
"Orang tua kamu mana?"
Pertanyaan ini terlalu menjurus ke ranah pribadi. Cindra tidak bisa menjawab dan wajahnya tampak mulai tidak nyaman.
"Abaikan saja kalau tidak ingin menjawabnya! Sekarang kamu perhatikan contoh skripsi yang saya bawa ini."
Rheo menunjuk setumpuk buku di atas meja. "Ini dari kakak tingkat kamu yang otaknya sebelas dua belas seperti kamu. Coba itu baca-baca dulu. Jadikan referensi."
Cindra berusaha tersenyum ramah. "Baik, Pak." Sayang sekali ia hanya seorang mahasiswa tanpa kasta. Cindra mau tidak mau harus menuruti perintah Rheo.
Kemudian, tepat ketika Rheo tengah menyeruput kopi, Nana tiba-tiba datang menghampiri dengan membawa beberapa bunga lucu dan menyodorkannya pada Rheo. Nana juga mengucapkan kalimat yang mengejutkan lagi.
"Onstel mpan mau jadi papa Nana, nggak?"
Rheo langsung terbatuk. Ia tersedak dengan kopi yang menyembur sedikit dari mulut. Sebagian dari kopi itu juga jadi tumpah mengenai dirinya sendiri.
Cindra yang melihat itu reflek bergerak mendekati Rheo sembari megambil tisu.
"Maaf, Pak! Maaf! Sini saya bantu!"
Secara tidak sadar, Cindra menyapukan tisu itu mulai dari wajah sang dosen, bergerak ke leher, ke baju bagian d**a, lalu ke celana bagian paha. Gerakan cepat Cindra segera terhenti ketika Rheo menangkap kedua tangan perempuan itu.
Barulah Cindra menyadari jarak luar biasa dekat antara dirinya dengan dosen galak tersebut. Posisi Rheo masih duduk, sedangkan badan Cindra condong ke arahnya.
Mata hazelnut Cindra beradu hebat dengan iris legam milik Rheo. Bahkan napas mereka sudah saling bertabrakan saking dekat jarak di antara keduanya. Dalam situasi seperti ini, Cindra mau tidak mau jadi memerhatikan wajah tampan Rheo yang terlukis nyaris sempurna.
Aroma maskulin Rheo yang tercium seolah menyerang langsung titik memabukkan di dalam tubuh Cindra yang berhasil membuat jantungnya menjerit.
"Ngapain kamu?"
Mendengar suara dingin Rheo, Cindra langsung berdiri tegak guna menciptakan jarak. Wajahnya sudah semerah tomat dan detak jantung perempuan itu berdetak bagai kecepatan rollercoaster.
"Maaf, Pak. T-tadi saya cuman mau bantu aja."
"Gak perlu. Saya bisa sendiri."
"Iya, Pak. Maaf."
Gila, gila, gila! Cindra pasti sudah sinting karena tadi berpikir bahwa dosen galak yang amat mengesalkan seperti Rheo ini tampan. Cindra menggeleng cepat. Berusaha mengusir pikiran menjijikan itu. Meski tampan, kalau hatinya bagai setan ya, percuma saja!
"Mama dan Papa cocwit, deh!"
Entah dari mana Nana tahu kata itu, tapi yang jelas kalimatnya barusan berhasil mengundang salah paham yang besar di antara orang-orang yang sedari tadi diam-diam memerhatikan.