Chapter 10

2185 Words
Lautan darah dan mayat yang tercerai berai di tanah lapang itu menambahkan kengerian, saat terlihat seorang pemuda beriris rubi itu penuh dengan bercak darah di tubuhnya. Pemuda itu mengembuskan napasnya berat. Dilihatnya sekeliling mencari sang pelayan namun, tidak ia temukan. "Di mana si Bodoh itu?" gumam Zero yang kini melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Zero terus melangkahkan kakinya tanpa mengetahui di mana saat ini ia berada, ia bahkan tidak mengerti mengapa pelayannya tidak jatuh bersama dengannya. Teringat pembicaraanya sebelum ia berangkat untuk pergi ke dunia manusia dengan Eather. *** "Pangeran, jika Pangeran ingin mencari manusia untuk dibunuh dengan mudah, kembalilah ke masa lalu," ucap sang pelayan. "Apa maksudmu?" tanya Zero tidak mengerti. "Di dunia manusia saat ini untuk membunuh banyak manusia akan sulit, dikarenakan para Dewa akan turun tangan untuk membasmi iblis yang terlalu banyak membunuh," jawab sang pelayan. "Di masa lalu para manusia saling berperang dan membunuh untuk menguasai suatu wilayah. Karena itu, Anda bebas membunuh manusia yang tengah dalam peperangan itu," lanjutnya. "Kau  memang cerdik, Eather," jawab sang Pangeran sambil menyeringai. ***   Zero tidak menyangka jika kembali ke masa lalu ia dapat berpisah dengan Eather, Zero terus melangkahkan kakinya hingga menemukan sebuah aliran sungai yang jernih. Zero melepaskan pakaiannya dan merendam tubuhnya yang penuh dengan bercak cairan merah membasahi tubuhnya. Setelah dirasanya cukup, Zero bangkit dan mengambil pedang miliknya. Ia kembali melangkahkan kakinya dengan pakaian baru berwarna ungu yang kini membalut tubuh tegapnya. Zero tidak membutuhkan pakaian yang kotor karena bercak darah yang menghiasinya. Bagaimana bisa ia dengan mudah mengganti pakaiannya? Jangan lupakan bahwa ia adalah seorang Iblis. Apa pun mudah dilakukannya, bahkan membangun istana dalam satu jentikan jarinya pun ia dapat melakukannya. Tetapi banyak hal yang tidak boleh ia lakukan di dunia manusia, dan itu semua membuatnya pusing karena Eather tidak bersama dengannya. Pemuda beriris merah itu kembali melanjutkan langkahnya, layaknya pengembara pakaian modern yang dikenakannya pun menjadi sorotan utama para penduduk kota. Zero yang kini berada di sebuah kota yang bernama Edo itu menatap bangunan-bangunan rumah yang menurutnya unik. Semua orang yang menatap Zero menyingkir ketakutan, tetapi tidak sedikit pula yang memuji karena ketampanannya. "Di sini aura membunuh tidak terlalu banyak, tetapi menyebalkan sekali dengan tatapan mereka yang ketakutan saat melihatku," gumam Zero sambil memperhatikan sekitarnya. Zero melihat sebuah gunung yang menjulang tinggi di belakang Kota Edo, dengan langkah pasti ia melangkahkan kakinya ke arah gunung tersebut. Tetapi tiba-tiba saja ada yang menabraknya karena ia tidak melihat lurus ke depan.   Brugh   Terlihat seorang gadis bersurai cokelat jatuh terduduk setelah menabrak tubuhnya. Zero menurunkan pandangannya ke bawah dan mendapati gadis itu menatapnya kesal. "Hei, jika berjalan lihatlah jalanan! Jangan menatap langit!" seru gadis itu sengit. Zero yang mendapatkan semprotan langsung itu menatap gadis itu datar. "Maaf, aku akan hati-hati," jawab Zero datar sambil berlalu begitu saja tanpa membantu gadis itu bangun. "Hei, setidaknya kau  membantuku untuk bangun setelah meminta maaf!" teriak gadis itu, Zero mengabaikannya dengan langsung berjalan menuju ke arah gunung. "Cih, dasar laki-laki dingin." Gadis itu berdecih lalu bangkit dan membersihkan pakaiannya sedikit yang terkena debu. Dengan kemampuannya ia dapat mengerti bahasa yang digunakan pada dunia manusia, sang Ratu sudah mengajarinya sejak kecil sehingga tidak akan merepotkan dirinya. Zero mulai memasuki hutan dan jalan menanjak hingga matahari sudah terbenam, Zero baru tiba tepat di kaki gunung yang memiliki hutan yang sangat lebat. Zero menjentikkan jarinya dan terbangunlah rumah yang cukup megah, ia tidak ingin para manusia mencurigainya. Karena itu, Zero membangun rumah yang megah dengan sedikit mirip dengan rumah penduduk lainnya. Setelahnya dilihat pakaian yang dipakai penduduk dan menurutnya aneh itu, Zero memutuskan untuk mengganti pakaiannya. Pemuda itu tidak mengerti apa yang ia pakai saat ini akan tetapi, pakaiannya tidak terlalu buruk saat ia kenakan. "Haaa ... di mana si Bodoh itu?" desah Zero mengingat sang pelayan tak kunjung menemukannya. "Biarlah, aku masih bisa mengendalikan diriku sendiri," gumam Zero lalu menatap langit yang membentang di atas sana. "Langitnya lebih indah daripada di dunia iblis, andai Valentine bersama denganku." Zero mengepalkan kedua tangan saat ia mengingat dengan kejam ayahnya mengutuk kekasihnya. "Apa yang sebenarnya terjadi saat itu, Eather?" tanya Zero saat berada di dalam sel. "Anda tidak akan percaya dengan apa yang akan saya katakan, jadi sebaiknya berhentilah bertanya, Pangeran," jawab Eather dingin. Zero mengembuskan napasnya berat, ia berpikir memangnya apa yang membuatnya tidak percaya pada Eather bahkan pada kenyataan Zero tidak habis pikir dengan jalan pikiran Eather ataupun para ayahnya yang memilih bungkam. "Sebaiknya aku istirahat."   ***   Keesokan harinya Zero sudah terbangun dan kini menatap ke arah matahari terbit, baru kali ini ia melihat matahari di dunia manusia. Zero tersenyum dan kembali berandai-andai, kembali lagi ia mengepalkan kedua tangannya lalu mengembuskan napasnya berat. "Sepertinya aku harus melupakan Valentine untuk sementara waktu," gumam sang Pangeran. Pemuda beriris merah itu keluar dari kediamannya lalu berjalan menuju kota, seperti yang dikatakan Mysth padanya ia tidak perlu tergesa-gesa untuk mencari persembahannya. Untuk sementara Zero ingin menikmati tinggal di dunia manusia, baginya saat ini membunuh manusia terlihat lebih menyenangkan daripada para iblis. Zero berjalan mengelilingi kota kecil itu, dengan wajah tampannya banyak gadis-gadis yang meliriknya. Seperti tidak mempedulikan sekitar, Zero hanya berjalan sambil melihat-lihat sekelilingnya. Saat iris rubinya menatap ke depan ia melihat gadis kemarin yang ia tabrak, gadis itu berjalan bersama dengan temannya yang kini sedang tertawa bersama. Zero memilih menyingkir karena tahu gadis itu akan menabraknya, tetapi setelah ia sudah menyingkir pun tanpa sengaja gadis itu tengah didorong oleh temannya dan berakhir dengan kembali menabrak tubuh Zero.   Dug   Gadis itu menoleh dan terkejut menatap Zero yang kini berpakaian seperti kebanyakan orang. Zero hanya diam menatap datar gadis itu. "Ahh, ano ... maafkan aku," ucap gadis itu sambil membungkuk meminta maaf. Zero hanya meliriknya sekilas lalu kembali melanjutkan langkahnya, ia tidak ingin berurusan dengan manusia terlebih dahulu. Karena itu akan merepotkannya jika terjadi sesuatu, terdengar suara gadis itu sedikit berteriak memanggilnya, tetapi tidak ia hiraukan dan berlalu begitu saja. Zero kembali melihat-lihat sekitar dengan banyak orang yang menatapnya dengan memuja, hingga langkah kakinya mengantarkannya di beberapa pohon yang keseluruhannya adalah bunga berwarna merah muda. "Bunga Sakura," gumam Zero sambil tersenyum. Mengingatkannya kembali saat Sakura menceritakan tempat tinggalnya saat menjadi manusia, dan di sana ada pohon dengan keseluruhannya adalah bunga berwarna merah muda dan juga ada yang putih, dan bunga itu disebut Cherry blossom / bunga Sakura. Dalam hati Zero bertanya-tanya, 'Apakah Ibu merindukan dunia manusia?' Zero kini memilih duduk di bawah pohon bunga Sakura dan memejamkan matanya, menikmati waktu siang harinya dengan embusan angin yang menerpa wajah tampannya. Terdengar kembali suara tawa dari beberapa gadis di dekatnya. Saat ia membuka mata beberapa gadis telah mengelilinginya. "Imutnya saat ia tertidur," gumam salah satu gadis itu, dilihatnya sekitar dan mendapati gadis yang kemarin dan yang tadi menabraknya tengah menatap kesal ke arahnya. "Menyingkirlah," desis Zero dingin, membuat gadis-gadis itu malah berteriak histeris. "Kau  dengar suaranya yang merdu itu? Ahh, aku baru pertama kali mendengar suara seindah itu," ucap gadis yang terlihat paling histeris. "Hey, hey kalian pergilah dari hadapannya," ucap gadis yang menatapnya kesal itu. Zero memilih menutup matanya kembali dan menggunakan earphone miliknya untuk mendengarkan lagu. Gadis-gadis yang melihat Zero memakai sesuatu membuatnya terlihat semakin keren di mata para gadis itu. Gadis yang menatap Zero kesal itu kembali mengusir teman-temannya, hingga menyisakan dia sendiri dengan Zero yang masih asik mendengarkan lagu. Hingga menjelang petang, Zero baru membuka kedua matanya, terlihat matahari yang sudah semakin lama semakin tenggelam. Zero bangkit dan langsung melangkahkan kakinya menuju kediamannya. Hari ini ia telah belajar banyak dari apa yang ia lihat dan apa yang telah ia dengar. Gadis manusia, sangat berisik dan merepotkan. Tidak ada yang membuat menarik perhatiannya, jika dibandingkan dengan Valentine tentunya ia lebih memilih Valentine dengan keanggunan seperti Dewi. Selama perjalanan ia menyadari jika ada yang mengikutinya sejak tadi, tetapi ia memilih untuk diam karena ia tahu itu tidak berbahaya untuknya. Hingga akhirnya sampai di kediamannya Zero memutar tubuhnya melihat gelapnya hutan, sayangnya matanya dapat melihat di tempat paling gelap sekalipun. Zero mendengkus dan menatap malas ke arah hutan. "Sedang apa kau  di sana?" ucap Zero pada akhirnya. Tidak ada jawaban membuat Zero kembali mengembuskan napasnya berat, saat ini ia tidak ingin diganggu tetapi ada satu lalat yang mengikutinya dan mulai mengganggunya. Zero merentangkan tangannya ke sebuah pohon dan mengayunkan tangannya seperti gerakan memotong. Tiba-tiba saja pohon yang ia arahkan tebasan tangannya itu roboh begitu saja. Terlihat seorang gadis menjerit kaget dan menjauh dari pohon yang tumbang itu, Zero menatap gadis itu datar. Sedangkan yang ditatap masih menampilkan wajah terkejutnya. "Apa yang kau lakukan dengan mengikutiku?" tanya Zero pada akhirnya. "A-aku hanya sedikit penasaran." Zero mengernyitkan dahinya. "Apa semua manusia selalu penasaran seperti dirimu?" Gadis itu menunduk malu. Zero membalikkan tubuhnya dan memasuki kediamannya, sesaat ia berhenti. "Jika kau ingin pulang, maka pergilah. Aku tidak akan menanggung akibatnya jika para hewan buas menyantapmu, tapi jika kau ingin ikut denganku maka ikutlah dan jangan banyak bicara," kata Zero lalu kembali melangkahkan kakinya. Gadis itu terperangah lalu sedikit berpikir, cukup lama ia berpikir hingga Zero sudah menghilang dari pandangannya akhirnya ia mengikuti arah jalan Zero tadi. Gadis bersurai cokelat senada dengan iris matanya itu kini tengah melihat-lihat rumah megah yang kini di hadapannya. "Aku tidak tahu di sini ada sebuah rumah yang megah seperti ini," gumam gadis itu. "Permisi," ucap gadis itu lalu masuk ke dalam rumah megah itu. Gadis itu hanya berdiri di ambang pintu karena ia tidak tahu harus pergi ke mana, Zero yang melihat gelagat gadis bersurai cokelat itu hanya mengembuskan napasnya lembut. Zero berjalan mendekat hingga mengagetkan sang gadis yang kini jatuh terduduk. "Kau  mengagetkanku," seru gadis itu lalu menutup mulutnya karena sadar telah salah meneriaki pemilik rumah. "Ikut denganku," ucap Zero lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah menjauh, gadis itu bangkit lalu mengikuti langkah Zero. 'Mungkin gadis ini bisa kumanfaatkan untuk mempelajari kehidupan manusia pada zaman ini,' batin Zero tersenyum simpul. Zero berhenti tepat di depan sebuah ruangan yang besar yang kini berisikan beberapa makanan yang ia lihat di kota tadi. Gadis itu membulatkan matanya saat melihat banyaknya makanan yang tertata rapi di ruangan besar itu. Zero melangkah masuk diikuti dengan gadis itu, pemuda bersurai cokelat keemasan itu duduk tepat di tengah dengan beberapa hidangan besar di hadapannya. Gadis itu duduk tepat di ujung yang kini berhadapan dengan Zero. "Sudah waktunya makan malam dan makanlah," ucap Zero sambil mengambil makanan untuk dirinya. "Uhm ... ano–" "Jika ingin berbicara, bicaralah setelah makan usai," potong Zero dengan tatapan datarnya, gadis itu mengangguk cepat lalu memakan makanan yang ia suka. Acara makan malam itu berlangsung sepi, tidak seperti di istananya di Kerajaan Phanthom yang selalu ramai dengan kemeriahan ayah-ayahnya yang menggoda ibunya. Seketika Zero merindukan rumahnya, gadis bersurai cokelat itu melihat wajah murung Zero yang terlihat sangat jelas. Ia pun hanya bisa menelan makanannya dengan susah payah. 'Ada apa dengan lelaki itu?' batin gadis itu gusar. Setelah acara makan malam selesai, Zero membawa gadis itu ke ruangan lain untuk mereka berbicara berdua. Sebenarnya Zero enggan untuk berbicara banyak saat ini, tetapi ia membutuhkan semua informasi yang terjadi di dunia manusia saat ini juga. "Jadi apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Zero langsung yang kini duduk menatap keluar jendela yang terbuka. "Pertama, aku baru melihat rumah mewah di tempat ini, bagaimana bisa? Kedua, siapa kau  sebenarnya? Wajahmu sangat asing dan dari mana asalmu? Ketiga, kutahu kau  orang baru di Edo karena selama ini aku tidak pernah melihat wajahmu sebelumnya, jadi benarkah kau  orang baru? Dan yang terakhir, siapa namamu, apa kau  tinggal sendiri, dan kenapa kau  memakai pakaian ala barat saat pertama kali kita bertemu?" tanya gadis itu panjang lebar kali tinggi hingga mengalihkan pandangan Zero kini ke arah gadis itu. Zero mengembuskan napasnya lembut lalu menjawab, "Pertama, kau  tidak perlu tahu. Kedua, kau  tidak perlu tahu. Ketiga, aku memang bukan berasal dari negara ini. Dan yang terakhir, kau  bisa memanggilku Zero, aku tinggal sendiri dan mengapa aku memakai pakaian ala barat karena aku bukan berasal dari negara ini," jawab Zero sambil menatap iris hazel gadis itu. Gadis itu terperangah hingga membuka mulutnya lebar-lebar, Zero memilih memalingkan wajahnya saat melihat kelakuan bodoh gadis aneh itu. "Jadi kau  seorang mata-mata?" tanya gadis itu kini menjadi hiteris, Zero memalingkan wajahnya tampannya lagi ke arah gadis itu. "Kau  terlalu berisik, yang perlu kau tahu aku bukanlah mata-mata. Dan semua itu tidak ada untungnya untukku. Apa kau  paham?" "Apa maksudmu? Menjadi mata-mata adalah pekerjaan berat dan akan mendapatkan harta yang berlimpah dari orang yang mengutusmu." Kembali gadis itu berteriak histeris. "Ck, kau  berisik sekali. Aku tidak memerlukan harta apa pun di dunia ini. Jika kau  sudah paham maka berhentilah histeris seperti itu," jawab Zero kini menatap tajam ke arah gadis itu. "Tidak memerlukan harta? Lalu memangnya apa yang kau  perlukan? Dasar lelaki aneh," jawab gadis itu tanpa takut dengan tatapan tajam Zero. Zero bangkit dan memilih untuk pergi dari hadapan gadis itu, gadis bersurai cokelat itu hanya menatap bingung dengan kepergian Zero. Ingin sekali Zero memenggal kepala gadis itu tetapi ia urungkan niatnya, seketika ia lupa menanyakan sesuatu pada gadis itu. Zero berbalik kembali ke kamar itu lalu membuka pintu ruangan itu. "Ini ruanganmu untuk istirahat, setelah matahari terbit kau  bisa pergi tanpa harus menungguku. Dan satu lagi, Siapa namamu?" Gadis itu mengangguk paham lalu menjawab, "Namaku ... Hikari Tsukihime.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD