Chapter 9

2071 Words
Sudah beberapa hari ini Zero mendekam di balik jeruji besi yang tanpa menggunakan segel sihir, tanpa dikunci pun Zero tidak akan bangkit dari duduknya yang beberapa hari itu tetap duduk tanpa beranjak sedikit pun. Tatapan sang Pangeran saat ini benar-benar kosong, batinnya terguncang kala mengingat ia yang menebas ibunya sendiri. Padahal ia sudah bersumpah untuk tidak pernah melukai sang Ratu sedikit pun, tetapi apa yang sudah ia lakukan saat ia benar-benar ingin menebas sang ayah dengan hasrat membunuh justru yang ia tebas adalah ibunya sendiri. Eather yang selaku pelayannya terus berdiri di depan pintu sel tahanan itu tanpa bosan sedikit pun, sesekali Eather melirik ke arah sang Pangeran yang terlihat begitu terguncang. Eather bersyukur junjungannya tidak dibunuh secara langsung. Walaupun ia yakin jika saat itu Lord Phanthom bisa saja dengan mudah memenggal kepala Pangeran. Terdengar suara langkah yang terburu-buru dari ujung lorong, Eather yang mendengar itu mulai bersiaga karena ia tidak dapat merasakan siapa yang tengah datang dengan setengah berlari seperti itu. Hingga akhirnya terlihat Sakura yang tengah berlari sambil mengangkat sedikit gaun kebesarannya. Eather segera menyinggir dari depan pintu sel dan membiarkan Sakura masuk begitu saja saat Eather mendapatkan tatapan tajam sang Ratu. "Zero!" seru Sakura lalu memeluk tubuh putranya erat-erat. Zero bergeming, tatapannya yang kosong kini kembali sedia kala. Dilepaskannya tubuh Sakura lalu pemuda bersurai cokelat itu bersujud di hadapan Sakura. "Maaf ... maafkan aku. Kumohon maafkan aku," ucapnya dengan suara bergetar, air matanya jatuh begitu saja. Bagi Zero saat ini tidak masalah jika dihukum mati, asalkan wanita yang berstatus ibunya itu memaafkannya saat itu juga. Zero kembali merapalkan permintaan maafnya kala Sakura tidak kunjung menjawab, Sakura menggeleng pelan lalu mencoba mengangkat tubuh Zero yang sedang berlutut kepadanya. "Bangunlah, kau  tidak salah apa pun terhadapku," jawab Sakura mencoba membuat putranya bangkit. "Kumohon!" Tubuh Zero kian bergetar kala Sakura tidak memaafkannya. Sakura mengembuskan napasnya lembut, baginya putranya tidak bersalah sedikit pun. Bahkan luka yang ia dapatkan dari Zero tidak terasa sakit untuknya meskipun ia sempat tidak sadarkan diri. "Ibu memaafkanmu asalkan kau  tidak bersujud seperti itu lagi, cepat bangun! Ibu ingin melihat wajah tampan Pangeran Ibu," jawab Sakura pada akhirnya, tubuh Zero sudah berhenti bergetar. Dengan perlahan dilihatnya wajah Sakura dari balik iris rubinya, senyuman Sakura sangat menenangkan hatinya yang dirundung pilu kesalahan tiada akhir. Zero sedikit menundukkan wajahnya, air matanya masih saja terus mengalir tanpa ingin ia hentikan. "Berhentilah menangis seperti wanita, kau  membuatku jengkel dengan tangisanmu itu," ucap Sakura dingin, tetapi bagi Zero terdengar seperti lantunan suara yang merdu di telinganya. "Aku telah melukaimu, Ibu. Padahal aku telah bersumpah untuk tidak melukaimu sedikit pun," jawab Zero dengan suara lirih. "Sudahlah aku tidak ingin membahasnya lagi," jawab Sakura. "Cepat bersihkan tubuhmu dan temui aku dan semua Ayahmu di ruang singgasana," lanjut Sakura lalu beranjak dari tempat itu. Eather menunduk hormat saat Sakura melewatinya, dilihatnya sang Pangeran dengan tatapan datar yang sepertinya tidak ingin beranjak dari dalam sel itu. Eather mendekat lalu menyentuh bahu sang Pangeran detik berikutnya mereka berdua menghilang dari dalam sel tahanan. Tidak membutuhkan waktu lama Eather mengurus sang Pangeran untuk membersihkan tubuh dan memakaikan pakaian Kerajaan. Menyebalkan, itulah yang dipikirkan Eather saat ini. Setelah menurutnya rapi dengan cepat Eather kembali menuntun sang Pangeran untuk pergi ke ruang singgasana Kerajaan. "Ada apa dengan wajahmu yang seperti itu, Pangeran?" tanya Shine yang saat itu Zero baru saja datang dengan Eather, Zero tidak menjawab sama sekali wajahnya hanya bisa tertunduk. "Aku tidak ingin berbasa-basi," kata Sebastian langsung yang sepertinya mulai jengah menatap sang Pangeran, iris rubi mereka berdua kini saling bertemu. "Apa kau ingin kekasihmu kembali?" tanya Sebastian pada Zero. "Tentu saja," jawab Zero dengan raut wajah yang tidak dapat diartikan. "Untuk apa kau inginkan dia kembali? Kau  pasti memiliki alasan yang masuk akal selain mencintainya, bukan?" Sebastian mulai menyeringai. "Kuingin menjadikannya Ratuku di singgasanaku nanti," jawab Zero dengan percaya diri. "Ratu? Hahaha ... siapa yang ingin kau  gulingkan dari kekuasaannya?" Shine terkekeh mendengar jawaban yang sangat mengejutkannya. Iris rubi sang Pangeran pun kini menatap ke arah Viper, sang Raja dari Para Raja itu pun terkekeh saat melihat sang Pangeran kini tengah menatapnya. "Ambisimu sangatlah besar, Pangeran. Aku dapat dengan mudah memberimu kursi singgasanaku. Akan tetapi, lebih baik aku memberikanmu sedikit ujian. Apakah kau  memang pantas untuk duduk di singgasanaku atau tidak." Viper bangkit dari kursinya lalu mendekati sang Pangeran. "Menjadi Iblis tidak begitu sulit, kau  hanya perlu membunuh ratusan manusia dan kau  baru diakui menjadi iblis. Dan jika kau  belum bisa membunuh manusia, kau  tidak akan pernah bisa menjadi iblis," ucap Viper sambil tersenyum melihat sang Pangeran. "Dengan kata lain, aku harus pergi ke dunia manusia dan membunuh untuk bisa diakui menjadi iblis?" tanya Zero. "Tidak hanya itu," jawab Sebastian, Zero kini kembali menatap iris rubi Sebastian. "Aku akan melepaskan kutukan itu dari kekasihmu," lanjut Sebastian dengan kini senyuman terukir di wajahnya. "Benarkah?" Zero menatap tidak percaya pada Ayahnya yang satu itu. "Jika kau ingin kekasihmu selamat, maka persembahkanlah seorang gadis suci dan bawalah ia ke hadapanku," jawab Sebastian. "Lalu apa yang harus kulakukan pada gadis itu setelah aku membawanya ke hadapanmu, Ayah?" tanya sang Pangeran iblis. "Bunuhlah tepat di hadapanku," jawab sang Ratu dengan wajah dinginnya. "Akan kulakukan, asalkan Ayah mencabut kutukan itu," jawab sang Pangeran sambil menunduk. "Baguslah, pergilah ke dunia manusia dan bawalah ini," jawab sang Ratu lalu memberikan sebuah katana pada sang Pangeran. "Pedang itu terbuat dari beberapa organ tubuh Ayahmu dan diriku. Pedang itu mampu menahan kekuatanmu yang bisa kapanpun meledak," kata sang Ratu sambil menatap sendu sang Pangeran. "Terima kasih, Ibunda," jawab sang Pangeran sambil berlutut di hadapan sang Ratu. "Jika kau  mencintainya, maka hilangkanlah kutukan itu, Pangeran," ucap salah satu Raja yang terlihat paling muda dan bersurai emas seperti dirinya. "Terima kasih atas dukungan kalian, Ayah-ayahku," jawab Pangeran masih dengan keadaan berlutut. "Pergilah ke dunia manusia, dan selalu ingatlah apa yang menjadi tujuanmu," kata sang Raja yang kekuatannya paling besar itu. "Baiklah, Ayah Sebastian." Zero bangkit lalu meninggalkan ruang singgasana bersama dengan Eather. Zero memasuki kediamannya lalu berdiri di depan meja kerjanya, dilihatnya beberapa buku yang terbuka di atas meja kerjanya. Eather yang melihat itu hanya diam tidak ingin mengusik aktivitas tuannya. "Apa kau  sekarang senang?" tanya Zero dingin. "Saya tidak perlu menjawab hal yang sudah Anda ketahui, Pangeran," jawab Eather masih dalam ketenangannya. Zero berdecak kesal. "Persiapkan segalanya, kau  akan ikut denganku ke dunia manusia," titah Zero yang masih sibuk dengan buku di tangannya. "Daulat, Pangeran," jawab Eather lalu menghilang begitu saja. ***   Para Lord kini tersenyum simpul menatap Sakura, sedangkan yang ditatap hanya menoleh ke arah lain dengan memeluk dirinya sendiri. 'Perkiraanku meleset, sial. Tatapan mereka seperti ingin memakanku bulat-bulat, aku harus pergi dari sini.' batin Sakura ketakutan. "Aku akan kembali ke kamarku," ucap Sakura saat ingin bangkit dari kursinya tangannya sudah dicekal dengan tangan Sebastian. "Baiklah, rencana kita berhasil. Bagaimana kita mulai permainannya sekarang juga?" Sebastian mulai menyeringai. "Sebastian, Pangeran masih di istana. Sangat tidak aman jika ia masih berada di sini," sela Shine mengingatkan. "Aku punya ide untuk menahan Pangeran di dunia manusia," ucap Mysth yang juga tengah menyeringai melihat wajah ketakutan Sakura. "Apa itu?" tanya Lazark antusias. "Akan kukatakan langsung pada Pangeran saat ia pergi nanti," jawab Mysth dengan senyum misteriusnya. "Baiklah, kemungkinan Pangeran akan pergi besok pagi, untuk malam ini bagaimana kita bersenang-senang?" ajak Sebastian sambil menatap iris Sakura. "Sebastian, bukankah kau  tidak suka jika bersama dengan mereka?" tanya Sakura menatap tidak percaya pada Sebastian sambil menunjuk suaminya yang lain. "Aku memang tidak menyukai mereka, tetapi jika ini menyangkut kepuasan ... aku lebih menyukai wajah manismu mendesah kelelahan melayani kami semua," jawab Sebastian sambil menyeringai, Sakura bergidik ngeri melihat tatapan dari Sebastian. Dengan cepat Sakura menghilang dan lepas dari cekalan Sebastian, Sakura sedikit bersyukur ia menjadi iblis karena bisa menghilang ke mana pun sesuka hati. Sakura baru saja ingin memakai barrier di kamarnya, tetapi tangannya sudah dicengkeram dari belakang. "Kau  tidak bisa kabur begitu saja, Hime," ucap Viper yang mencengkeram tangan kanannya. Sakura yang kini terduduk di tepi ranjang sudah tidak bisa berbuat apa pun karena semua Lord sudah berkumpul dan mengunci pergerakan tubuhnya. "Hey, ini bukanlah waktunya untuk kalian ... humph." Bibir Sakura langsung saja dilumat oleh Sebastian. "Setidaknya dalam kepuasan kami berpikir hal yang sama, tetapi tenanglah ini adalah hari terakhir kami menguasaimu secara bersamaan," bisik Sebastian sambil menjilat telinga Sakura. "Ugh ... kalian gila." ***   Keesokan harinya, Sakura benar-benar kehabisan energinya. Meskipun Sakura seorang iblis sekalipun, tetapi mereka memiliki energi kehidupan untuk memperbaharui stamina mereka. Zero yang kini berada di tepi ranjang Sakura menatap sang ibu dengan penuh penyesalan. "Apa mereka menyakitimu, Ibu?" tanya Zero yang penuh kekhawatiran. "Tenang saja, para Ayahmu memang gila dan aku dapat mengimbangi kegilaan mereka dengan kewarasanku," jawab Sakura setengah tertawa. "Berjanjilah Ibu akan baik-baik saja, aku dapat merasakan apa pun jika Ibu tengah sekarat," ucap Zero sambil menciumi tangan Sakura. "Aku akan baik-baik saja, Pangeran. Ayahmu akan menjagaku dengan baik, siapa yang berani menyakiti Ibu jika ada Sebastian di sisiku?" ucap Sakura sambil mengelus lembut surai cokelat keemasan sang Pangeran. "Tentu saja kutakut, hanya dia yang berani melukai Ibu," jawab Zero gemas. "Dengar, Sebastian tidak akan pernah menyakiti Ibu. Kau  harus percaya pada Ayahmu meskipun tepat di depan matamu ia tengah menghunuskan pedangnya ke leherku." Sakura meyakinkan, Zero hanya mengangguk meskipun hati kecilnya ingin sekali menyangkal. "Zero, Eather pakai earphone milik kalian. Mysth ingin menyampaikan sesuatu," ucap Shine yang tengah berdiri di belakang Zero. Zero dan Eather langsung saja memakai earphone milik mereka, Sakura hanya tertawa ternyata hanya dirinya yang kuat mendengar bahkan tidak mendapat efek samping saat Mysth berbicara. "Pangeran, untuk masalah gadis suci itu. Kau  tidak boleh membawanya paksa saat kau  kembali ke istana. Gadis itu harus dengan senang hati untuk ikut bersama denganmu. Karena itu kau  harus benar-benar mencarinya, mungkin memakan waktu beberapa tahun mencari gadis yang seperti itu, tetapi ingatlah kehidupan kita adalah abadi. Tidak masalah dengan lama atau sebentarnya kau  mendapatkan gadis itu," jelas Mysth sedangkan Zero menatap tidak percaya pada Raja Iblis yang baru saja berbicara itu. Zero menundukan wajahnya. "Baiklah," jawab Zero pada akhirnya. "Tapi ingatlah, aku akan kembali jika terjadi sesuatu pada Ibu," lanjut Zero sambil menatap tajam semua ayahnya. "Tenang saja, yang kau  dengar nanti mungkin hanya desahan kenikmatannya saja jika kau  kembali," jawab Lazark sedikit v****r. "Ibu, bisakah Ibu memenggal kepala Ayah Lazark?" ucap Zero spontan membuat Sakura tertawa kecil. "Cobalah seperti Ayah Rozenth yang selalu terlihat keren meskipun kutahu dialah yang paling ganas jika sedang b******a dengan Ibu," kata-kata polos Zero membuat semua mata kini tertuju pada Rozenth yang tengah asik dengan dunianya sendiri. Rozenth yang merasa namanya disebut kini menoleh dan menatap semuanya. "Ada apa?" tanya Rozenth. "Lupakan, baiklah, aku akan pergi sekarang juga bersama Eather," jawab Zero, Eather langsung saja membuka sebuah portal setelah merapalkan mantra. "Berhati-hatilah," ucap Sakura tersenyum manis ke arah sang Pangeran. "Harusnya aku yang berkata seperti itu, aku pergi dulu," jawab Zero lalu masuk ke dalam portal diikuti Eather. Lorong gelap tepat di hadapan Zero, Pangeran beriris rubi itu terus melangkahkan kakinya hingga sebuah cahaya jingga terlihat. Terdengar suara seperti sedang terjadi peperangan yang memekakkan telinga, cahaya yang dilihatnya itu semakin lama membesar hingga akhirnya Zero memilih menutup matanya. *** Di dunia manusia saat ini pada tahun 1868 - Jepang.   Perang Boshin pecah pada tahun 1868 antara pasukan pemerintah yang menginginkan pengembalian kekuasaan politik ke tangan Kaisar Jepang melawan pasukan. Pasukan pemerintah mengalahkan pasukan keshogunan di pertempuran Toba-Fushimi dan kemudian berhasil menduduki ibu kota keshogunan di Edo. Peperangan terjadi dengan mereka yang saat ini mulai dengan memakai senapan api, peperangan yang terjadi di sebuah tanah lapang itu terus saja terjadi hingga memakan banyak korban. Tanpa mereka sadari sesuatu yang mengerikan akan terjadi di hadapan mereka.   Wuuusshhhh Booomb   Semua orang berhenti saling menyerang saat itu juga, mereka melihat sesuatu yang terjatuh begitu kerasnya dari langit. Kepulan debu menutupi pandangan mereka ada apa yang terjadi, hingga seseorang prajurit memberanikan diri untuk melihat lebih dekat benda yang terjatuh dari langit tersebut.   Craaaasshhh   Tiba-tiba saja tubuh prajurit itu terbagi menjadi beberapa bagian. Debu yang menutupi pandangan mulai memudar sehingga semua orang yang berada di sana dapat melihat dengan jelas, salah satu prajurit yang mendekat tadi tubuhnya kini terbelah-belah. Semua orang membelalakkan matanya melihat kejadian aneh itu, terlihat lubang besar setelah debu-debu itu benar-benar menghilang. Seseorang bersurai cokelat keemasan terlihat keluar dari lubang tersebut sambil merenggangkan tubuhnya. "Sial kau  Eather, dia membuatku jatuh dari ketinggian tiga puluh ribu kaki," gumam pemuda tersebut. Dilihat sekitarnya yang tampak seperti sedang terjadi peperangan, pemuda beriris rubi itu kini menyeringai keji. "Mari kita berpesta di hari pertama kedatanganku."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD