Chapter 4

1964 Words
Setahun berlalu, kini sang Pangeran sudah tumbuh menjadi dewasa seperti bunga yang menarik para serangga untuk mendekatinya. Hanya membutuhkan waktu satu tahun, Pangeran dari kelima Raja dan seorang Pangeran itu dapat mengendalikan kekuatan besar miliknya. Saat ini sang Pangeran dapat mengendalikan diri untuk tidak membunuh yang dianggapnya tidak layak. Eather yang selalu berusaha melatih sang Pangeran sangat puas kala tuannya itu berhasil mengendalikan hasrat membunuhnya. Terlihat seorang lelaki tampan memakai pakaian kerajaan dengan bulu hitam menghiasi pundaknya yang tengah duduk di bebatuan yang terdapat di dalam hutan yang masih terletak di wilayah Kerajaan Phanthom. Lelaki bersurai cokelat keemasan itu tengah memegang sebilah katana sambil tersenyum menatap hadapannya. Iris rubinya menatap tajam dengan senyum remeh di wajah tampannya. "Pangeran, sudah saatnya kembali," kata Eather dengan wajah lusuhnya karena kelelahan berlatih dengan sang Pangeran. "Aku bahkan belum mengeluarkan pedangku, Eather," jawab sang Pangeran yang meringis mendapati beberapa luka i tubuh Eather. "Anda memang sudah berkembang dengan pesat, Pangeran," jawa Eather sambil menyembuhkan luka di tubuhnya, Zero hanya terkekeh lalu membantu Eather untuk menyembuhkan lukanya dengan merentangkan tangannya ke arah Eather. "Bagaimana dengan tubuh normal Anda saat ini, Pangeran?" tanya Eather dengan sedikit nada khawatir, Zero tersenyum lalu bangkit berdiri. "Lebih baik, setidaknya aku tidak terperangkap di tubuh bocah 14 tahun lagi," jawab Zero lalu merenggangkan tubuhnya. "Tubuh bocah itu tidak dapat menampung seluruh kekuatanku, sehingga membuatku susah untuk mengontrolnya," sambung Zero lalu berbalik. "Kita kembali," ucap Zero lalu menghilang diikuti Eather yang sudah memakai pakaian barunya. Sesampainya di depan istana, Zero sudah disambut dengan tatapan tajam beberapa orang yang berada di depannya. Zero tersenyum dengan aura sekitar yang sudah seperti ingin membunuhnya. "Pangeran!" panggil para pria di depannya. "Hai, Ayah-ayahku tercinta. Sedang menungguku?" jawab Zero yang kini tersenyum lebar. "Apa yang kau lakukan di hutan sana?" tanya pria jangkung dengan senyum simpulnya, Sebastian. "Berlatih seperti biasanya," jawab Zero tenang dan sama sekali tidak terintimidasi oleh tatapan semua ayahnya. "Kalian berkumpul? Jarang sekali kalian akur seperti itu," tanya Zero sambil menahan tawanya. "Di mana Sakura berada?" tanya Sebastian masih dengan senyuman simpulnya. "Aku tidak tahu, bukankah Ibu tadi sedang bersama Ayah Mysth?" jawab Zero sambil mengendikkan bahunya. "Hime tidak bersamaku," jawab Mysth seketika membuat telinga Eather mengeluarkan cairan merah. Eather berlutut sambil memegang telinganya yang terasa sakit. Sedangkan Zero memijat kepalanya yang tiba-tiba terasa pening. Mysth terkekeh saat melihat putranya menggerang kesakitan. "Ayah Mysth, setidaknya beritahuku dulu jika Ayah ingin berbicara," ucap Zero yang masih memijit kepalanya. "Hahaha... sudahlah cepat beritahu kami di mana Hime, Pangeran. Atau kau  lebih senang mendengarkan Mysth bernyanyi saat ini juga?" jawab Shine setengah tertawa. Tidak seperti ayahnya atau bahkan ibunya, Zero tidak dapat menahan rasa sakit karena suara Mysth. Kelemahan yang fatal untuk Zero, karena itu ia sangat tunduk pada semua ayahnya. Berani bertingkah di luar batas? Dengan senang hati Mysth akan menyanyikan satu lagu kesukaannya dengan berakhirnya Zero yang akan terkapar tidak sadarkan diri selama beberapa hari. "Baiklah-baiklah, aku menyerah," jawab Zero lalu menjentikkan jarinya. Terlihat sebuah gelembung muncul di hadapan mereka dengan Sakura yang tertidur di dalamnya. Sebastian melangkah maju lalu meletuskan gelembung itu dengan tangannya, dengan cepat ditangkapnya tubuh Sakura. "Kau  menculik Ibumu sendiri, Pangeran," kata Viper yang kini wajahnya mengeras, Zero hanya tersenyum masam. "Aku hanya menjauhkan Ibuku dari serigala lapar," jawab Zero sambil terkekeh lalu menghilang. "Pangeran kecil itu benar-benar," ucap Lazark geram lalu menghilang mengikuti Sebastian yang sudah lebih dulu menghilang sebelum Zero. Shine mendekati Eather yang masih berlutut memegangi telinganya. Dirapalkannya mantra untuk menyembuhkan Eather. Setelah rasa sakit itu mereda barulah Eather ambruk jatuh ke tanah. "Mysth, suaramu benar-benar menyeramkan. Untung saja Eather tidak mati," kata Shine merenggut sambil membopong tubuh Eather yang tidak sadarkan diri lalu menghilang. Mysth hanya mengangkat sedikit bahunya lalu menghilang bersama Viper dan Rozenth. Mereka semua kini tengah berada di kamar milik Sakura, Sakura memang meminta kamar untuk dirinya sendiri. Sedangkan Shine pergi ke dalam kamar Eather lalu merebahkan Eather di atas ranjangnya. "Sebenarnya latihan apa yang dilakukan Pangeran? Luka di tubuh Eather lebih membahayakan daripada sebelumnya," gumam Shine saat melihat banyak bercak merah yang menembus pakaian di tubuh Eather. Shine keluar kamar lalu memanggil dokter istana, tidak membutuhkan waktu lama sang dokter sudah berada di hadapan Shine. "Ada yang bisa saya lakukan, Yang Mulia?" tanya dokter iblis wanita itu. "Rawat Eather hingga lukanya sembuh, dan jangan biarkan ia untuk latihan selama dalam pemulihan," titah Shine, dokter iblis itu mengangguk sambil tersenyum. "Baiklah, Yang Mulia," jawab sang dokter lalu ia masuk ke dalam kamar Eather. Shine meninggalkan tempat itu, langkahnya menyusuri lorong besar Istana Phanthom. Tidak membutuhkan waktu lama kini ia berada di depan pintu besar dengan dua pengawal iblis yang berjaga. "Selamat datang, Yang Mulia," ucap penjaga iblis itu sambil berlutut. "Apakah Pangeran berada di dalam?" tanya Shine . "Ya benar, Yang Mulia," jawab salah satu penjaga iblis itu. "Kuingin bertemu dengannya," kata Shine dan kedua penjaga iblis itu mengangguk lalu mengetuk pintu dan membukanya. Shine masuk ke kediaman putranya, entah untuk apa penjaga pintu itu. Zero yang sekarang lebih tertutup dari sebelumnya, bahkan yang bebas masuk ke dalam kediamannya hanya Eather dan Sakura. Dan para Raja tidak bisa masuk dengan bebasnya seperti dulu, tetapi kejahilannya lebih meningkat dibanding setahun yang lalu. "Zero," panggil Shine saat melihat putranya sedang duduk di meja kerjanya. "Ayah Shine? Ada apa hingga repot-repot datang ke kediamanku?" jawab Zero yang kini menegakkan tubuhnya menghampiri ayahnya. "Untuk beberapa hari berhentilah berlatih, kondisi Eather sudah mengkhawatirkan," jawab Shine yang kini sudah berhadapan dengan putranya. "Kutahu, itu adalah luka baru yang ia dapat. Luka lamanya sudah kuobati hingga benar-benar sembuh," jawab Zero sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Jika dilihat tinggi ayah dan anak itu setara, meski tubuh Zero lebih besar daripada Shine. Karena tubuh Zero lebih berotot daripada Shine, Shine lebih suka memiliki tubuh kecil karena terlihat imut baginya. "Aku tidak mengeluarkan pedangku sama sekali, jadi jangan menatapku seperti itu, Ayah." Zero mengerucutkan bibirnya kala Shine menatap tajam putranya. "Sepertinya kekuatanmu bertambah," jawab Shine setengah meringis mengetahui kekuatan putranya sudah melebihi dirinya. "Jangan berwajah seperti Ayah telah kalah denganku, sejak awal memang kekuatanku melebihi Ayah," jawab Zero sambil terkekeh. "Kau  ini, bisakah kau  menghibur Ayahmu ini?!" jawab Shine sambil memiting kepala Zero. "Hahaha ... aw, itu sakit," rutuk Zero sambil mencoba melepaskan pitingan ayahnya. "Lagi pula aku menjadi kuat berkat Ayah juga, bukan? Aku kan anakmu jadi sudah sepantasnya jika kekuatanku melebihi Ayah," jawab Zero sambil merapikan rambutnya yang berantakan karena ulah Shine. Shine hanya tersenyum, tidak menyangka Pangeran kecilnya kini sudah dewasa dan tampan. Meski ia sedikit kecewa karena Zero lebih menutup diri dari semua ayahnya. "Jadi, apa kau  sudah menemukan cinta pertamamu?" tanya Shine yang membuat raut wajah Zero menjadi datar. "Aku tidak ada waktu memikirkan hal itu, Ayah. Meski banyak wanita iblis cantik yang mendekatiku, aku sama sekali tidak berselera," jawab Zero sambil mendekati meja kerjanya. "Apa kau  tertular Eather hingga kau  hanya fokus untuk melatih kekuatanmu?" tanya Shine yang kini duduk di sofa dengan gelas wine yang entah dari mana. "Tidak seperti itu, aku tidak tahu cara menjelaskannya," jawab Zero yang tampak berpikir. "Atau jangan-jangan kau  menyukai lelaki?" ejek Shine yang sukses mendapatkan tatapan tajam dari putranya. "Aku masih menyukai lubang dan b*******a yang seperti Ibu miliki," jawab Zero ketus sontak membuat Shine tertawa. "Hahaha, baguslah jika begitu. Apa kau  mau gadis yang berasal dari manusia?" tanya Shine sambil mengangkat satu alisnya. "Bukankah iblis tidak boleh berdampingan dengan manusia?" Zero menatap ayahnya aneh. "Memang kau  pikir Ibumu dulunya apa?!" jawab Shine menatap malas putranya. "Aku tidak tahu, kalian tidak pernah menceritakan apa pun padaku," jawab Zero sambil mengangkat bahunya. "Haaa ... kau  benar, kami memang tidak ingin menceritakan hal itu padamu, tapi aku akan memberitahumu beberapa hal," jawab Shine lalu menyesap wine di tangannya. Pria bersurai cokelat keemasan itu memilih duduk di hadapan sang ayah untuk mendengar apa yang akan dikatakan pria di depannya. "Hime dulunya adalah seorang manusia, tapi Sebastian mengubahnya menjadi iblis seperti kami," ucap Shine membuat Zero sedikit terkejut. "Bagaimana bisa Ibu menjadi iblis? Bukankah menjadi iblis harus melakukan dosa terlebih dahulu?" tanya Zero penasaran. "Zero, mungkin Hime adalah seorang iblis yang baik. Tetapi Hime bukanlah manusia yang baik," jawab Shine memperingati. "Bukan manusia yang baik? Maksud–" "Aku telah membunuh dan menyiksa banyak orang saat aku masih menjadi manusia," potong Sakura yang tiba-tiba sudah di belakang Zero. Zero terbungkam, pasalnya aura yang dikeluarkan Sakura benar-benar pekat. Zero mengalihkan matanya ke belakang lalu mendapati ibunya beserta kelima ayahnya yang berkumpul. "Shine, kita sudah sepakat untuk tidak membicarakan masa lalu, bukan?" ucap Viper memperingati. "Aku hanya memberitahu tentang dari mana Hime berasal," jawab Shine tenang. Sakura menghela napasnya lembut, ia tidak akan mempermasalahkan itu saat ini. Dielusnya kepala Zero yang menegang di bawah jemari lentiknya. "Tenang saja aku tidak marah padamu, Zero," jawab Sakura sambil tersenyum manis pada putranya. "Ada hal yang lebih penting dari itu," lanjut Sakura. "Kerajaan Lucifer akan mengadakan pesta dan kita semua akan datang menghadirinya," kata Viper yang selaku Raja dari para Raja Iblis. "Kita semua? Aku juga?" tanya Zero sambil menunjuk dirinya sendiri. "Tentu saja dasar bodoh, pertanyaan macam apa itu?!" dengkus Lazark yang langsung mengusap kepala Zero dengan kasar. "Tapi Eather sedang sekarat, aku tidak akan ikut jika Eather tidak ikut," jawab Zero sambil mencoba melepaskan tangan ayahnya. "Pesta akan diadakan seminggu lagi, Eather akan pulih secepatnya jika kau  tidak melukainya lagi," jawab Viper yang langsung menghilang entah ke mana. "Ya, kutahu," jawab Zero dengan malasnya. "Hari sudah menjelang malam. Hime, aku ingin kau  bersamaku malam ini," kata Lazark yang langsung memeluk pinggang Sakura dengan seringaian di wajahnya. "Hei, hei ,hei ... kali ini aku yang bersama Hime." Rozenth langsung saja menarik lembut tangan Sakura. Shine, Mysth dan Sebastian yang melihat itu langsung pergi meninggalkan perebutan jatah malam mereka. Sedangkan Zero mendengkus kesal karena membuatnya iri. "Baiklah, bagaimana kalau bertiga saja?" usul Lazark membuat Sakura merinding. "Hentikan itu, kalian ingin membuat Ibu mati kelelahan? Melayani kalian satu-satu saja sudah membuat Ibu kelelahan apalagi kalian berdua!" Zero bangkit lalu meraih tubuh Sakura dalam pelukannya. "Tapi–" "Kali ini tidak ada penolakan! Kuingin bersama dengan Ibu," potong Zero sambil terus memeluk tubuh Sakura. "Baiklah..." jawab Lazark dan Rozenth dengan wajah lesu lalu menghilang dari hadapan Zero dan Sakura. "Mereka menurutimu?" Sakura mengernyitkan dahinya, tetapi ujung bibirnya terangkat. "Huft, Ayah selalu saja berbuat seenaknya. Kali ini aku yang akan memuaskan Ibu," jawab Zero tersenyum jahil pada Sakura. "Ayahmu akan membunuhmu jika mendengar itu, Zero," jawab Sakura memperingati. "Aku hanya bercanda," jawab Zero lalu menaruh wajahnya di leher Sakura. "Lagi pula kau  adalah Ibuku, orang yang selalu kusayangi dan hormati. Aku tidak mungkin berbuat macam-macam seperti itu padamu," gumam Zero, Sakura tidak menjawab ia hanya mengelus lembut punggung putranya. "Tapi ... jika Ibu mengizinkan dengan senang hati aku akan melakukannya." Sakura langsung memukul pelan kepala Zero. "Hahaha ...." Zero tertawa sambil melepaskan pelukannya lalu membawa Sakura duduk di sofa. "Ibu," panggil Zero yang langsung merebahkan dirinya di sofa dengan kepalanya dipangku Sakura. "Hmmm?" "Bisakah Ibu memasang wajah tua Ibu?" pinta Zero. "Memangnya kenapa?" Sakura bertanya sambil menyentuh wajahnya. "Wajah Ibu seperti seorang gadis, bagaimana jika nanti aku menyukai Ibu? Ahh tidak, aku sudah menyukai Ibu," jawab Zero sambil terkekeh. "Berhenti menggoda Ibumu, Anak Nakal," jawab Sakura sambil mengelus surai cokelat anaknya. "Ibu, nyanyikan lagu itu lagi untukku," kata Zero yang kini memejamkan matanya. "Setidaknya kau  tidur di ranjangmu, cepat pindahlah," jawab Sakura Zero menuruti Sakura. Sakura memilih duduk menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang, sedangkan Zero memilih menjadikan kaki dan pangkuan Sakura sebagai bantal dan gulingnya. Pakaian kerajaan yang dipakainya sudah ia lepas dengan kini hanya memakai celana panjang dengan tidak memakai baju. "Ayo cepat nyanyikan," rengek Zero seperti anak kecil, Sakura terkekeh lalu mulai menyanyikan satu lagu yang disukai Zero sambil mengelus surai cokelatnya. Suara merdu milik Sakura pun terdengar. Setelah Sakura selesai menyanyi, ia tersenyum kala dilihatnya Zero yang tertidur dengan damainya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD