04. Tragedi Bubur Kacang Ijo

2257 Words
Dina menatap langit-langit kamarnya yang rendah. Ruangan sempit yang hanya muat sebuah kasur dan lemari itu sudah menjadi kamarnya sejak mereka pindah ke sana. Kamar milik Dina sebenarnya adalah ruang penyimpanan. Tapi tak mengapa, masih untung dia memiliki kamar sendiri dan tidak harus sekamar dengan si pangeran cengeng di rumah itu. Siapa lagi kalau bukan Varrel. Rasanya berat sekali untuk bangun. Semalam Dina begadang lagi dan sibuk memantau aktivitas para Idol Korea kesukaannya. Dina tak ingat pasti jam berapa ia terlelap, tapi ia tertidur sangat larut dan bahkan mungkin ketika sudah mendekati waktu pagi. Setelah mengumpulkan nyawa sejenak, akhirnya Dina terduduk. Hari ini dia tidak ingin menanak nasi di pagi hari. Dia tidak ingin mencuci piring dan menyiapkan sarapan untuk semua orang di rumah itu. Dina juga tak ingin mengurus si bandel Varrel, membantunya memakai seragam ataupun memasangkan sepatunya. Karena itulah tanpa buang-buang waktu, Dina langsung mencuci muka dan menggosok gigi saja. Ia melewatkan mandi pagi ini untuk bisa secepatnya melarikan diri dan... Dia berhasil. Dina tersenyum senang ketika dia sudah tiba di luar gerbang rumahnya. Langit masih belum terang sepenuhnya, matahari baru saja menyembul sedikit saja. Dina pun melangkah riang bersama angin pagi yang dingin. “Kenapa rasanya ada yang kurang, ya?” langkah Dina melambat. Ia kemudian mengendus ketiaknya sendiri, bergantian kiri dan kanan, lalu mengernyit. “Gilak. Asem banget... harusnya tadi aku lap dulu pake tissue basah terus pake deodorant. Tapi yaudahlah. Bodo amat. Nggak akan ada juga pemeriksaan bau ketek di sekolah.” Dina tersenyum cuek dan kembali melangkah pergi. Biasanya Dina berangkat ke sekolah bersama Varrel dan ayahnya. Varrel dan ayahnya? Ya, sebenarnya Varrel bukanlah seorang anak yang lahir dari rahim sang ibu. Pernikahan mereka adalah pertemuan duda anak satu dan juga janda anak satu. Mereka sama-sama memiliki anak bawaan. Akan tetapi ibu Dina begitu menyayangi Varrel dan selalu memanjakan bocah lelaki yang super tengil itu. Jadi tak heran juga bila tumbuh rasa iri dan kebencian di hati Dina terhadap ibunya sendiri. Terlepas dari bagaimana pun alasan Dina terlahir ke dunia... sejatinya dia tidak bersalah. Dina juga tidak ingin terlahir demikian. Dia juga tidak ingin memiliki hidup yang seperti itu. Dina terus melangkah. Kadang ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Apalah arti hidup bagi seorang anak yang tak diinginkan seperti dirinya? Menggelikan. Jarak antara sekolah dan kediaman Dina lumayan jauh. Tapi sekarang ia punya banyak waktu untuk berjalan kaki. Dina juga sengaja melewati jalanan-jalanan kecil perumahan. Dia tidak mau melewati jalan utama karena takut jika seandainya bertemu dengan Varrel dan ayahnya. Jalanan kompleks perumahan di depannya begitu lengang dan sunyi. Akan tetapi Dina senang dengan kesunyian itu. Ia terus melangkah seraya memejamkan mata sejenak. Menikmati terpaan matahari pagi yang mulai terasa. Tapi ketika dia melewati sebuah persimpangan jalan. BRUK. Dina tersungkur ketika sebuah sepeda menabraknya. Tabrakan itu terjadi begitu cepat. Si pemilik sepeda pun juga terjatuh. Seorang anak laki-laki yang memakai topi berarna putih. Mereka berdua kini sama-sama meringis, lalu kemudian saling pandang satu sama lain. Dina ingin memakinya. Tapi ketika sosok itu mendongakkan wajah, ia malah terpesona dan tidak bisa berkata-kata. “Kalo jalan ati-ati dong! liat tuh... gara-gara lo bubur kacang ijo gue pecah!” lelaki itu bangun, lalu kemudian mengomel sambil menunjuk bubur kacang ijo yang sudah berserakan di aspal. Dina juga menatapnya dan seketika menjadi gugup. “M-maaf....” Sosok lelaki berkulit putih yang kini memasang wajah sengit itu tak lain adalah Dion Winata. Pagi ini Dion tiba-tiba ingin menikmati bubur kacang ijo untuk sarapannya. Dion rela bangun lebih awal, mengambil sepedanya, lalu bergegas ke tempat orang berjualan bubur kacang ijo kesukaannya. Dion mengantri cukup lama karena tempat itu sealu ramai dipadati oleh pembeli. Ia jadi tergesa-gesa karena harus segera pulang dan juga bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Setelah mendapatkan bubur kacang ijo untuk dia dan ayahnya, Dion mengayuh sepedanya sekencang mungkin agar bisa lebih cepat tiba di rumah. Tapi tiba-tiba seorang gadis muncul dari belokan gang dan tabrakan itu pun terjadi. Dion memeriksa kantong plastik yang sudah pecah itu. Tidak ada yang bisa ia selamatkan. Dua bungkus bubur kacang ijo itu sudah meletus, padahal itu bukan balon ijo, tapi bubur kacang ijo. Dion menatap kesal. Dia tidak mungkin kembali mengantri lagi ke sana. “Aish... sialan!” dengkus Dion lagi. Dina meneguk ludah. “M-maaf... aku akan menggantinya.” Dina cepat-cepat merogoh kantong, lalu mengeluarkan secarik uang kertas sepuluh ribu, kemudian menyerahkannya kepada Dion. “I-ini....” Dina mengulurkan tangannya yang memegang uang itu. Jemarinya bergetar gugup. Dion menatap wajah Dina dengan mata tajam, lalu beralih pada selembar uang yang disodorkan oleh Dina. Dion hanya berdecak, dia tidak mengambil uang itu dan menatap bengis. “Lain kali kalo jalan itu pake mata!” bentaknya. Dion kemudian mengambil sepedanya yang masih tergeletak, dan kemudian melangkah pergi seraya mendorongnya. Hening. Dion sudah cukup jauh ujung sana. Sedangkan Dina masih tertegun dengan posisi yang sama. Tangan mengulurkan selembar uang sepuluh ribu. Seorang pengemis yang kebetulan lewat pun tersenyum. Ia bergegas mendekat, lalu mengambil uang itu. “Terima kasih, Nak... terima kasih banyak.” Pengemis laki-laki itu kemudian berlalu pergi, tapi Dina masih saja tercengang. Setelah beberapa detik kemudian barulah ia tersadar dan melotot. “Waaah... padahal dia juga salah mengebut bawa sepeda di jalanan yang sempit kayak gini. Harusnya tadi aku yang marah sama dia, tapi kenapa malah dia yang mengomel? Kalo jalan pake mata? emang ada yang jalan pake mata apa? di mana-mana, orang itu jalan pake KAKI!” Dina meniup wajahnya yang terasa panas. Tatapannya lalu tertuju pada bubur kacang ijo yang kini mengalir pelan di aspal. “Hah... kenapa tadi aku malah bengong seperti orang bodoh menghadapi dia?” Dina merutuki dirinya sendiri. Ia menghela napas, menggenggam tali ranselnya dan bersiap untuk melangkah kembali. “Ya sudahlah... nggak apa-apa. Aku memaafkan dia karena dia itu good looking,” bisik Dina kemudian. ** Suasana kelas menjadi gaduh saat bu Rini membagikan hasil ulangan harian murid-murid di kelas XI IPA satu. Wajah-wajah siswa berubah kusut. Ada yang menggerutu, ada yang menggaruk kepala, ada yang menatap sedih dan ada juga yang acuh tak acuh, memegang prinsip bahwa dunia akan tetap baik-baik saja sekalipun nilai ulangan harian sangat mengenaskan. “Nah, bagi kalian yang tidak lulus alias nilainya dibawah KKM, mohon segera persiapkan diri kalian untuk mengikuti remedial ya,” tukas bu Rini seraya berjalan keluar kelas. “Yaaah... Ibuuuk!” “AAAAA....!!!” “Duh, diulang beribu kali pun nilai gue tetep aja bakalan anjlok.” “Remedial hanyalah ajang bunuh diri yang paling disengaja.” Berbagai komentar langsung terdengar. Mereka semua menyuarakan isi hati. Bahwasanya matematika tetaplah sebuah mata pelajaran yang paling ditakuti. Salah satu mata pelajaran paling sakral dan memiliki banyak musuh sepanjang eksistensisnya. Para siswa dikelas itu masih heboh. Mereka saling mentertawakan, saling mengadu nasib nilai siapa yang paling mengenaskan. Dan kemudian semua pun mulai sibuk menerka-nerka. Mereka sibuk mencari siapa yang berhasil menundukkan ulangan matematika saat ini. “Lah... kok rereta pada remedi semua? Yang aman siapa dong?” “Yang tidak remedial angkat tangan coba!” Mereka masih sibuk mencari. Dina yang duduk di bangkunya hanya menghela napas panjang seraya menatap kertas ulangannya itu. “Dina pasti aman!” “Palingan Cuma Dina yang nggak remedial seperti ulangan yang kemarin.” “YAKIN DEH! Si Dina doang yang nilainya bagus, mah.” Nama Dina mulai disebut-sebut. Anak-anak itu pun kemudian dengan cepat mengerubungi meja Dina. Mereka penasaran dengan nilai Dina yang memang dikenal sebagai murid terpintar di SMA Jaya Nusa itu. “Din... lo pasti lulus, kan?” “Nilai ulangan kamu diatas KKM, kan?” “Nggak perlu diragukan. Si Dina udah pasti aman.” Dina hanya mendesah pelan. Anak-anak yang lain pun kini coba menerka-nerka dari raut wajah Dina yang terlihat lesu. “Guys... kayaknya Dina juga remedial, deh!” “Iya, nih. Lo kenapa lesu?” “Ulangan kali ini bener-bener susah banget, sih.” Seorang siswa berkacamata kemudian merunduk, melipat lengannya di depan meja Dina untuk menyelidiki lebih lanjut. “Lo remedial juga, kan?” tebaknya. Dina mendesah. “Aku bete karena nggak ada progress.” “Progress? Progress apa?” “Nilai aku stuck. Nggak pernah bisa lebih lagi,” jawab Dina. “Hehehe. Emang nilai lo berapa?” tanya siswa laki-laki itu lagi. Semua orang pun menanti jawaban. Dina berdehem dan menyodorkan kertas ulangannya itu. Siswa lelaki itu memperbaiki posisi kacamatanya terlebih dahulu agar bisa melihat lebih jelas. Matanya pun tersentak ketika melihat angka dengan tinta warna merah yang tertera di sana. Deg. “Nilainya berapa?” “Emang stuck di angka berapa?” Pertanyaan kepo kembali terdengar. Siswa bernama Ardi itu menghela napas terlebih dahulu, baru kemudian menjawab dengan suara lirih. “Seratus... nilai ulangannya seratus.” Eh. Semua orang melotot. “SERATUS...!?” Kertas ulangan Dina pun langsung menjadi rebutan. Mereka semua ingin memastikannya dengan mata kepala mereka sendiri dan nilai Dina benar-benar seratus. Dia mendapatkan nilai ulangan harian yang sempurna. “Kalau udah dapet nilai seratus ya mentok dong! emang ada nilai seratus dua puluh? Seratus dua lima?” “Si Dina ngeselin anjir.” “Lo tambahin aja nolnya, Din! biar sekalian nilai lo jadi seribu.” Suara embusan napas gusar murid-murid itu pun kemudian terdengar silih berganti. Mereka semua kemudian membubarkan diri dari bangku Dina dengan wajah dongkol. Meninggalkan Dina yang tetap tenang dengan wajah tanpa dosanya. ** “LO ITU EMANG NGESELIN!” seorang siswi dengan rambut yang di kepang dua dan memakai baju olahraga duduk di sebelah Dina seraya menyodorkan teh es dengan kantong plastik yang dibeli dari kantin. Dina mengambilnya, lalu menatap sengit. “Kenapa aku yang ngeselin coba?” “Ya iyalah... ngapai lo ber-statement seperti itu coba? Nilai lo udah mentok. Sempurna... lo bikin anak-anak kelas jadi bete.” “Emang nilai aku stuck kan... aku bosen tau.” Dina menyeruput teh esnya. Siswa yang duduk di sebelahnya itu tersenyum. Ia terlihat manis dengan gigi gingsulnya. Namanya Rianti Dwiyani. Gadis periang yang juga sedikit tomboi itu adalah sahabat Dina sejak tali pusar mereka sama-sama dipotong. Kenapa bisa? Konon menurut sejarah, saat itu Dina dan Rianti sama-sama lahir di saat yang sama dengan satu bidan yang sama pula. Kedua ibu mereka berada di satu ruangan, hanya ada pembatas dari kain yang menghalangi keduanya. Saat itu sang bidan pun cukup kewalahan karena harus menangani dua pasien sekaligus. Ibu Dina memekik, ibu Rianti juga sudah menjerit. Gaduh sekali. Sang bidan kerepotan berlarian ke sana dan ke mari. Bolak-balik di antara dua ibu yang siap untuk melahirkan. Malam yang panjang dan melelahkan itu akhirnya menetaskan duo mahluk yang sepertinya hanya akan menjadi beban hidup di keluarga mereka masing-masing. Dan entah takdir atau bagaimana, setelahnya ibu Rianti juga pindah ke sebelah rumah kontrakan yang ditempati oleh Dina dan ibunya. Setelah itu keduanya tumbuh bersama. Sekolah di taman kanak-kanak, sekolah dasar, SMP hingga saat ini keduanya bersekolah di SMA yang sama pula. “Hah... capek banget,” Rianti menyeka peluh yang masih melekat di keningnya. “Emang Kompetisi Olahraga Siswa Nasionalnya kapan di mulai sih?” tanya Dina. “Bulan depan.” Rianti terpilih sebagai wakil sekolahnya untuk cabang olahraga lompat tinggi. Dia sebenarnya tidak begitu berminat. Tetapi menjadi wakil sekolah terasa sangat menyenangkan karena ia bisa membolos jam pelajaran dan hanya perlu berlatih dan bermain di luar. Motivasinya pun bukan untuk menang, tapi untuk mencari jodoh karena nantinya dia akan bertemu dengan pesertadari sekolah yang lain. Tapi meskipun begitu kemampuan Rianti dalam cabang olahraga lompat tinggi memang bukan kaleng-kaleng. Dengan tinggi 175 cm di usianya yang baru 17 tahun, Rianti mencatatkan dirinya sebagai siswi paling tinggi di sekolah. Oh ya, ketika Rianti bepergian atau mengunjungi tempat yang ramai, akan ada banyak sekali orang-orang dari agensi model yang menghampirinya. Menawarkan Rianti sebuah karir yang cemerlang, popularitas, pekerjaan yang keren dan modis, akan tetapi... Rianti sama sekali tidak tertarik. Dia malah memiliki cita-cita sederhana yang mulia. Yaitu menjadi ibu rumah tangga yang baik untuk keluarganya kelak. “Gimana?” tanya Rianti kemudian. Dina mengernyit bingung. “Gimana apanya?” “Gimana kehidupan lo di sana? di rumah bokap baru lo?” Dina mendesah panjang. Akan sangat panjang dan rumit untuk diceritakan bagaimana perubahan kehidupan yang kini ia alami. “Ada baiknya, ada nggaknya,” jawab Dina. “Lo nggak mau cerita sama gue?” Rianti memancingnya. Dina tersenyum. “Nggak ada yang menarik buat diceritain kok. Yang jelas adik sambung gue itu ngeselin banget.” “Yang badannya gede kayak gentong air itu, ya? yang waktu pernikahan nyokap lo dia nangis-nangis karena kencing di celana?” Rianti mengingatnya. Dina tergelak mengingatnya. Saat itu Varrel si adik sambungnya itu menangis histeris. Tepat saat ijab kabul tengah berlangsung. Kejadian itu bahkan membuat prosesi sakral itu terhenti sebentar. Varrel rupanya sudah terlalu lama menahan pipis dan akhirnya jebol dengan sendirinya. Hari itu si kecil Varrel menggunakan setelan jas yang agak semoitdi badannya dengan sebuah dasi kupu-kupu berwarna merah. Sebenarnya dia anak yang lucu. Badannya gembul dan menggemaskan. Pipinya seperti dua buntelan bakpau yang enak diremas-remas. Tapi kemudian sikapnya berubah menyebalkan ketika ibu Dina mulai memanjakannya. Rianti masih nyinyir membicarakan adik sambung Dina. Dia bahkan menyebut bocah lelaki itu sebagai jelmaan ‘babi’ ia memanggilnya si babi dan Dina sejujurnya cukup terhibur dengan segala celotehan Rianti. Hingga kemudian obrolan itu terhenti ketika ada seorang siswa yang berjalan mendekati mereka. Dina tidak menyadarinya, tapi Rianti melihat lelaki itu. “Ya udah gue cabut duluan ya. Suami masa depan lo udah nongol tuh!” Rianti mengangkat dagunyanya. Dia menoleh dan sosok siswa dengan penampilan keren itu pun tersenyum padanya. “Halo, Cinta....” Panggilan itu membuat Dina tersenyum dan kemudian lelaki itu duduk di sampingnya. “Halo juga!” Dina balik menyapa ramah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD