Mencari Kesempatan

1689 Words
"Jangan melemparkan tatapan rendah seperti itu, bahkan kepada seorang pembunuh. Kalian tidak berhak." Aul dan Joni berjalan terus menelusuri lorong. Mereka mencari sel yang tak jauh dari Besi. Ada sel yang kosong. Benar-benar kosong, tanpa alas dan benar-benar becek. "Kau yakin?" Aul melihat dengan perasaan yang tidak nyaman ke arah sel. Luar biasa, lupakan tempat tidur yang hangat. "Ul, tidak ada pilihan lain lagi. Sebaiknya kita masuk sekarang. Apa yang mereka katakan tentang tahanan gila yang berekeliaran, bisa saja memang benar." "Kau tidak percaya?" Aul berusaha mencari tempat yang kering di sudut. "Entah, mereka terlihat baik, terlihat aneh, terlihat tidak waras, terlihat bijak, terlihat berantakan, tapi tak ada pilihan lain kalau ingin tetap hidup, iya, kan? Kita harus beradaptasi di manapun kita berada. Itulah salah satu cara agar kita bisa tetap bertahan hidup," ucap Joni. "Semuanya ada pada diri mereka. Aku meyakini sesuatu, bahwa tak ada kebohongan di setiap ucapan mereka. Mereka semua mengatakan kebenaran." "Tapi kau tidak percaya?" tanya Aul lagi. "Aku ingin percaya. Meski semuanya terasa fiksi." "Mungkin kita akan benar-benar percaya, kalau kita benar-benar sudah melihatnya," pungkas Aul sambil memejamkan mata. Ia yakin, ini masih pagi, atau sudah agak siang, tapi tubuhnya lelah. Pikirannya lelah. Ia ingin tidur sekarang. "Kau yakin kita bisa keluar dengan selamat?" Aul kembali membuka mata. "Tidak, tapi aku ingin yakin. Bagaimana denganmu?" "Jika kita bisa meyakinkan Besi, aku yakin kita bisa mencapai jalan keluar." "Hatinya sudah tertutup, tidak mempan dibujuk." Kembali, Aul memejamkan matanya. "Sejak datang kemari, kita bahkan belum minum seteguk air pun. Aku ragu di sini ada air, selain air hujan. Ini gila." Aul tak menanggapi. Ia masih berusaha tidur. Mungkin dengan begitu, rasa pusingnya bisa sedikit hilang. *** Suara gebrakan di tepi sel membangunkan Aul. Siapa itu? "Kalian baik-baik, saja?" rupanya itu adalah Bang Joe dan Ipang. "Aku lupa tentang baju yang kering, tapi kalian ternyata sudah berganti pakaian." Ipang dan Bang Joe masuk ke dalam sel. Mereka duduk begitu saja tanpa ragu. "Apa kami terlihat baik-baik saja?" tanya Aul ketus. Ia rupanya tidak kapok memulai perdebatan dengan Bang Joe. "Aku tidak ingin memulai lagi." Tatapan Bang Joe tajam. Aul malah menatap balik ke arah Bang Joe. Joni yang baru terbangun, langsung saja bicara, "Kalian masih peduli pada kami? Bang Joe? Ipang?" "Aku masih peduli, setidaknya padamu," ujar Bang Joe. Joni melihat ke arah Aul. Ia paham, bagaimana hubungan Aul dan Bang Joe. "Sudah Bang Joe, jangan lagi. Mereka anak muda yang malang, dua mahluk langit yang kehilangan arah, kita sebagai mahluk bumi, harus berbaik hati, haha." Ipang berkata sambil tertawa, tawa yang begitu lantang. Pikiran Bang Joe seketika langsung saja, teralihkan. "Baiklah, aku juga peduli padamu, Nak," ujar Bang Joe. Dengan tawa yang masih mengudara, menepuk pundak Aul. Aul hanya tersenyum kecut. Mereka berempat masih berada di sel yang sama. Kemudian, tambah satu orang lagi, tak lain adalah Dollar. Dollar merasa sedikit terganggu dengan gema suara tawa. Ia yang akhirnya kembali bergabung. Bahkan, ia membawa beberapa makanan kecil yang masih tersisa di selnya. "Kalian terlihat membutuhkan air." Dollar menyodorkan sebotol air mineral. Hanya sebotol saja. Air bening yang membuat Aul dan Joni seketika menelan ludah. Namun botol itu, segera saja disambar oleh Bang Joe. Meneguknya sedikit saja, dan menyerahkannya pada Aul. "Giliranmu." Aul menganga. Menatap botol itu dan memikirkan sesuatu yang lain yang menjijikan. "Kalau begitu ...." sebelum Bang Joe menyelesaikan kalimatnya dan menyerahkan botol itu ke arah Joni, segera saja Aul mengambil dan meneguknya. Menyisakan hanya sedikit saja. "Hei!" teriak Joni ketika melihat isi botol itu hampir habis. Tak apa, meskipun hanya sedikit. Lebih baik daripada tidak. "Apa yang kalian lakukan selama ini? Untuk sekadar menghabiskan waktu?" Aul membuka percakapan. "Apa lebih baik, kita memanggil Besi terlebih dulu? Ia punya banyak cerita yang bisa dibagi." Mereka semua diam mendengar kalimat Dollar. "Aku yang akan memanggilnya." Segera ia beranjak keluar sel. Kata-kata Dollar seperti menekankan bahwa ia memiliki keyakinan untuk bisa membujuk orang itu. Beberapa saat hanya keheningan yang aneh. Bersatu dengan suara-suara yang entah berasal dari mana. Terkadang gemuruh kecil atau gema tawa. Mungkin berasal dari sel yang jauh atau berasal dari atas. "Apa, tidak ada orang selain Besi yang tahu jalan keluar?" tanya Joni memecah kebisuan. "Mungkin ada, tapi hanya Besi yang kami tahu," Ipang menjawab sambil mengambil sepotong kue kering yang telah hilang kerenyahannya. Terbungkus plastik bening yang warnanya sudah sedikit cokelat. "Kalian, mau?" tanyanya lagi. Sambil menyimpan bungkusan itu di tengah-tengah. Seakan diperuntukkan bagi siapa saja yang ingin. Dan Joni, juga Aul, yang merasa kelaparan, langsung saja mengambil beberapa. Rasa kuenya aneh, tapi tak ada yang berani mengeluh. Sekali lagi, ini lebih baik daripada tidak. Dua pasang kaki yang melangkah terdengar seirama datang ke arah sel mereka. Itu Dollar dan Besi. Mereka masuk dan langsung bergabung. "Dia sudah tidak marah," Bang Joe langsung menyambut Besi dengan tepukan di bahu. "Kapan aku marah? Aku hanya tidak suka membicarakan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan." "Seperti keluar dari penjara ini?" pertanyaan Aul segera saja membuat Joni memukul temannya itu. "Aw!" teriak Aul. "Anggap temanku tak bertanya." "Akan kuanggap dia tidak ada di sini." "Anggap saja begitu," Bang Joe menambahkan." "Baiklah, apa yang kalian ingin tahu dariku?" "Bagaimana orang-orang di sini menghabiskan waktu? Selama ini?" Joni mengulang pertanyaan Aul yang kini memilih untuk bungkam. "Aku menghabiskan waktu untuk berpikir. Kurasa, setiap orang di sini memang lebih banyak berpikir daripada melakukan beberapa hal." "Sampai melewati titik jenuh?" "Bahkan sudah sangat lewat. Kadang, apa yang kulakukan, aku merasa tidak berarti apa-apa. Sudah lama, tujuanku dihancurkan oleh mereka." "Para sipir? Kucing-kucing penakut?" Aul merasa perlu memperjelas siapa yang dimaksud 'mereka' dalam kalimat Besi. Besi mengangguk. "Lagipula, kami mungkin hanya menunggu kematian datang." Bang Joe berkata sambil mengambil sepotong kue kering yang rasanya aneh itu. "Dollar, aku selalu percaya kepadanya. Bahwa ada jalan keluar dari masalah kami semua. Ya, pada awalnya seperti itu. Saat tahanan-tahanan itu dibawa satu persatu dan tidak kunjung kembali, kupikir, itu sebuah keanehan." "Aku dan mungkin semua tahanan lain yang masih tersisa, kerap mendengar suara-suara mengerikan. Seperti teriakan kesakitan dan sebagainya." Dollar mengangguk-ngangguk. Wajahnya tertunduk. Seperti enggan, mengingat kembali masa-masa itu. "Dari situ, aku dan Dollar, berusaha untuk kabur. Hampir berhasil dan tentu saja, aku dan Dollar tidak pernah benar-benar bisa keluar." "Tapi kau jadi tahu semuanya, kan? Tahu setiap jalan dan bahkan sangat detail tentang penjara ini," ucap Ipang. "Benar, Ipang, tapi kautahu betapa terkadang, aku menyesalinya. Tahanan-tahanan yang ingin kabur juga, bertanya padaku tentang lokasi jalan keluar. Dengan senang hati, aku menjelaskan, tapi tak ada yang pernah berhasil. Bahkan, mereka tidak kembali lagi kemari. Entah dijadikan bahan uji coba dan mati, atau apa. Aku tidak tahu, yang pasti, mereka tidak benar-benar keluar." "Tahu dari mana, bahwa mereka tidak keluar? Siapa tahu, mereka memang berhasil kan?" "Aku mendengar bincang-bincang para sipir yang terus saja berbicara tentang teman-temanku. Tentang bagaimana mereka senang telah berhasil menggagalkan rencana tahanan-tahanan yang kusebutkan tadi. Aku bertanya pada para sipir tentang di mana para tahanan yang gagal kabur, yang kudapat hanya suara tawa saja." "Dari situ, sudah dapat disimpulkan bahwa teman-temanku, dijadikan bahan uji coba." "Sekarang, para sipir sudah tidak ada, kita bisa keluar, Besi, kita punya harapan untuk itu." Joni berkata mantap. Kalimat bernada meyakinkan, bukan kalimat tergesa. "Kenapa kau begitu yakin? Kau belum melihat tahanan gila, kan?" Joni menggeleng, "Ceritakan pada kami, bagaimana sebenarnya sosok tahanan gila itu." "Tahanan gila, adalah orang-orang yang sudah tidak bisa disebut manusia. Mereka tidak bisa mengendalikan emosi. Mengamuk dan mengamuk, mereka juga menyukai cahaya terang. Mereka bertempat di sekitar jalan keluar. Itu yang kutahu, tapi beberapa tahanan di selatan, pernah melihat beberapa tahanan gila berkeliaran. Jadi kupikir, mereka juga bisa saja sampai kepada kita." "Bagaimana dengan penampilan atau wajahnya?" tanya Joni lagi. "Menyeramkan. Wajah mereka sulit dikenali lagi. Warnanya seputih mayat dan matanya hampir keluar," suara Besi mengisyaratkan kengerian. "Apa kalian sebegitu takutnya menghadapi para tahanan gila?" Dengan santai Aul bertanya. "Kau tidak akan berkata begitu Aul, jika saja kau sudah melihat bagaimana mereka." Aul diam. Sama dengan Joni. "Ipang, Bang Joe, Dollar, apa kalian tak memiliki keinginan yang sama dengan kami?" Yang ditanya oleh Joni tak menyahut. "Besi, kau juga? Tak ingin mencoba lagi?" Besi diam saja. Ia bahkan sudah ingin beranjak dari sana. "Aku ingin mencoba," suara Ipang terdengar ragu. "Baik, ada satu orang yang ingin mencoba. Aku, Aul, dan Ipang." "Sudah, aku tidak ingin bicarakan lagi." Besi hampir pergi, tapi Dollar menghentikan langkahnya. "Aku juga ingin mencoba. Tapi keinginanku tak berarti tanpa petunjuk darimu." "Tidak Dollar, sekalipun kau memohon sampai berlutut, aku tak akan ikut." "Mari mencoba lagi. Tak ada bedanya, kita menunggu atau pergi dari sini. Kita akan mati, bukan?" "Apa kita seorang pejuang, Dollar? Atau tentara yang dibanggakan rakyat? Tidak. Kita hanya tahanan. Kita tak perlu berjuang untuk menemui kematian." "Sekali ini saja." Ipang kembali bicara. "Aku ingin pergi. Aku ingin mencoba keluar dari sini," lanjutnya. "Apa alasan terbaik kenapa aku harus ikut kalian? Apa jaminannya kita bisa selamat setelah menempuh perjalanan ini?" "Aku tak punya alasan terbaik, tapi mereka berdua punya, mereka, anak-anak muda yang ingin kembali kepada orang-orang tercinta." "Apa jaminannya?" kalimat Besi penuh dengan penekanan. Meminta jawaban Ipang. "Aku tidak punya." "Apa mereka berdua punya?" tanya Besi ke arah Aul dan Joni. Tak ada suara dalam beberapa saat. "Aku punya. Aku jamin, kita akan selamat." "Kita semua? Tak terkecuali?" "Aku jamin," suara Joni mantap. Membuat semua orang merasa lebih percaya lagi." "Akan aku pikirkan lagi," Besi berlalu, melangkah pergi. Semua orang kecewa. "Tak perlu! Kita tak memerlukan pembunuh dalam kelompok ini!" Suara Ipang lantang. Segera saja, Besi kembali membuka pintu sel dengan kasar, memukul Ipang berkali-kali. Bang Joe dan Dollar segera memisahkan keduanya. Aul dan Joni menyingkir, kaget dengan apa yang baru saja terjadi. Suara napas yang memburu dan erangan Ipang mengudara. Aul dan Joni menatap Besi yang matanya masih sarat kebencian. "Jangan melemparkan tatapan rendah seperti itu, bahkan kepada seorang pembunuh. Kalian, tidak berhak." Segera saja, Aul seperti mendapat celah untuk memojokkan Besi. "Tidak akan kami ulangi. Bahkan, seorang pembunuh pun, bisa berbuat baik, bukan?" Besi segera melayangkan pukulan kepada Aul, namun ditepis oleh Joni. "Hentikan!" aku ingat seseorang, pernah berkata, bahwa selalu ada jawaban dari pertanyaan mengapa. Mengapa kau membunuh, aku yakin, kau punya jawaban untuk itu." Aku yakin, kau punya jawaban untuk itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD