Karena pada dasarnya, selalu ada jawaban dari pertanyaan mengapa.
"Bang Joe!" suara Ipang lantang, menggema memecah sunyi.
"Hei, siapa ini?"
"Aku membawa mangsa, haha!"
Aul dan Joni tersenyum paksa. Bang Joe yang dimaksud, berbeda sekali dengan Ipang. Perawakaannya besar dan memiliki codet di wajahnya. Benar-benar khas tahanan.
"Mereka jatuh dari langit, terjebak di bumi, haha!"
"Mahluk yang turun dari langit, sayang bukan bidadari, haha."
Mendengar keduanya melantur, Aul dan Joni hanya terkekeh. Sejujurnya, tak ada yang lucu. Mereka lebih terlihat seperti dua orang yang sakit jiwa.
"Kemana para sipir?" tanya Aul.
"Sipir? Kucing-kucing penakut itu?"
"Mereka sudah kabur. Baru mendengar suara hujan saja, mereka ketakutan setengah mati, haha!"
"Ini serius, Pak!" teriak Joni. Tak ingin terus menerus terlibat percakapan yang aneh.
"Jangan panggil aku dengan sebutan Pak. Namaku Joe!"
"Panggil dia Bang Joe, Joni." Ipang menepuk pundak Joni.
"Bang Joe, Ipang, dan semua tahanan di sini, sudah ditinggalkan?" tanya Aul.
"Anggap saja seperti itu. Lagipula, bagi orang-orang di luar sana, mungkin kami ini hanyalah sampah saja. Malah, aku bersyukur ditinggalkan. Karena jika kami dibawa oleh mereka, kami juga akan mati. Tak ada bedanya."
"Setidaknya, di sini, kita bisa bebas walau barang sebentar, iya kan, Bang Joe?" sahut Ipang.
"Benar."
Aul menghela napas. Bertemu dua orang itu, benar-benar sebuah kemalangan.
"Berbeda dengan kalian, kami ini, ingin keluar. Kami punya keluarga yang sedang menunggu," kata Aul.
"Keluarga? Lalu, kami tidak?"
Hening sejenak.
"Kami, juga punya keluarga, tapi kami sudah tak peduli lagi. Sudah lama, tidak ada yang mengunjungi." Bang Joe menatap tajam ke arah Aul.
"Lebih tepatnya, tak diijinkan berkunjung, Bang."
Kalimat Ipang membuat suasana sedikit mencair. "Haha, benar, itu maksudku!"
"Eh, apa kalian mau bertemu seseorang? Mungkin setelah kalian keluar dari sini, itu juga jika kalian bisa keluar dari sini. Ada seseorang. Namanya Dollar. Dia jago menangkap ikan besar."
Aul dan Joni terheran. Menangkap ikan?
Bang Joe dan Ipang saling berpandangan, "Ipang, mereka benar-benar jatuh dari langit! Mereka tidak tahu apa itu menangkap ikan yang besar."
"Maksudmu, mencuri atau semacamnya?"
"Ya, tepat Joni! Aku suka orang sepertimu! Menangkap ikan besar, artinya mencuri sesuatu yang nilainya besar. Jika Dollar sedang berada di sel, maka itu adalah keuntungan untuk kalian. Ada banyak ilmu yang bisa diberikan."
"Ilmu mencuri?"
"Benar Ul, sepertinya ini akan sedikit menyenangkan," ucap Joni.
"Gila," bisik Aul.
"Ingat, kita sedang ada di mana. Berbaur, beradaptasi, itu kuncinya, Ul. Tenang, jangan terlalu buru-buru."
"Baik, kita lihat siapa lagi yang akan kita temui." Aul menyerah.
Kini, ada empat orang yang berjalan di lorong Jakarta Underground. Rincik hujan sudah tak lagi terdengar. Hanya derap langkah mereka yang begitu jelas.
Mereka berhenti di depan sebuah sel. Di sana, ada seseorang yang kurus sekali. Pakaiannya lusuh.
"Dollar, kita punya dua orang yang ingin belajar padamu."
"Dua orang ini? Berasal dari mana?" tanya tahanan itu.
"Mereka terjebak, mungkin karena tanah bergerak yang terjadi, mobil mereka jatuh," Ipang bercerita.
Belajar? Kami ingin keluar dari sini! Bukan belajar mencuri!
"Tidak ada yang gratis di dunia ini, tapi karena aku sedang berbaik hati, maka kalian boleh duduk. Silakan."
Laki-laki yang disebut Dollar itu mempersilakan Aul dan Joni. Seperti seorang pribumi yang sedang menyambut tamu. Selnya seolah dianggap sebuah rumah.
Ipang dan Bang Joe duduk, sedangkan Aul merasa ragu. Tak ada tempat yang kering, lantainya becek. Joni kemudian segera menyusul dua tahanan tadi. Duduk bersila tanpa ragu.
"Kau tidak mau duduk?" sebuah tatapan maut dari Bang Joe seketika melayang.
Aul segera duduk.
"Kalian, aku yakin, tidak akan pernah mendapatkan pelajaran ini, dimana pun."
"Ajarkan kami sesuatu yang baru." Ipang sangat bersemangat.
"Tentu, Ipang."
Dollar menghela napas. Ia lihat satu demi satu orang yang berada di hadapannya.
"Ada banyak alasan mengapa orang mencuri. Karena pada dasarnya, selalu ada jawaban dari pertanyaan mengapa. Maka, aku juga punya alasan. Setiap orang punya."
"Kita lewatkan kata pengantarnya saja, Dollar. Dua anak muda ini, mungkin sangat ingin mendengar cara-cara mencuri yang baik dan benar. Betul?" tanya Bang Joe menatap ke arah Aul dan Joni.
Aul menggeleng, berdiri dan berkata, "Tidak. Kami tidak ingin dengar apa-apa. Semua hal tentang cara mencuri, itu salah. Kami ingin keluar dari sini. Bukan belajar."
Joni terkejut. "Haha, temanku ini bergurau, lanjutkan saja pelajarannya."
"Kalau kalian tidak ingin mendengarkan, tidak apa-apa. Lagipula, kalian masih terlalu muda."
Bang Joe menatap Aul sinis. "Seharusnya, seseorang tidak menolak kebaikan orang lain. Itu buruk."
Aul menatap balik Bang Joe. Ia sangat ingin bicara.
Ilmu mencuri disebut sebagai sebuah kebaikan? Itu konyol, Tuan.
"Ipang, kalau mereka bersikeras ingin keluar dari sini, kenapa tidak kita temui Besi? Kita temui laki-laki paling jenius di sini."
"Aku berpikir untuk memberi mereka sebuah hiburan, itu saja. Sudah lama, aku tidak bertemu orang lain selain kalian dan tahanan-tahanan busuk."
"Benar, tapi sepertinya, mereka menolak," kata-kata Bang Joe masih dibalut nada sinis.
Kau tidak tahu, betapa takutnya kami saat ini.
"Ayo jalan, kita akan bertemu Besi," Dollar mengajak semua untuk keluar dari sel. Setiap orang berjalan dengan baju yang lusuh dan basah. Para tahanan mungkin sudah terbiasa, tapi tidak dengan Aul dan Joni.
"Kalian kedinginan, kita akan cari baju."
Suara Bang Joe yang melunak tiba-tiba, membuat rasa kesal Aul berkurang.
"Tapi jangan harap baju baru yang bagus. Terpenting hangat dan mencegah kalian terkena flu."
"Jangan bersikap ketus lagi kepada mereka," ujar Dollar yang langsung disambut senyum tipis dari Bang Joe.
"Lihatlah, orang dewasa, harusnya seperti Joe, tidak marah berlama-lama," lanjut Dollar lagi.
"Ya, aku minta maaf. Aku dan Joni sebenarnya, merasa takut."
"Aku tidak takut, Ul, tidak pernah. Selama masih ada orang yang bisa dimintai bantuan," sanggah Joni.
"Baiklah, aku saja yang takut, puas?"
Joni hanya tersenyum. Merasa telah menang.
"Ada banyak tahanan yang bersikap aneh," suara Joni pelan.
"Ya, mereka tidak bergerak sama sekali."
"Mungkin mereka tidur?" tanya Joni.
"Entah."
Tiga tahanan yang berjalan di depan tidak peduli dengan bisik-bisik anak muda di belakang mereka. Mereka lebih banyak diam dan berjalan terus tanpa menengok kanan-kiri. Bagi mereka, itu pemandangan yang tidak asing sekaligus menyakitkan.
"Itu Besi," kata Dollar.
"Apa yang sedang dia lakukan?" Ipang keheranan melihat seseorang yang disebut Besi itu tengah menatap langit-langit.
"Kau, masih waras?" tanya Bang Joe.
"Hampir mendekati gila," jawabnya sambil kemudian melihat ke arah Aul dan Joni.
"Sedang apa? Apa ada yang akan jatuh dari langit? Selain dua anak muda ini?" tanya Bang Joe lagi.
"Aku melihat ke atas, karena sepertinya penjara gagah ini akan hancur sebentar lagi."
"Apa ada yang salah?"
"Air yang menyebabkan itu semua." Aul tiba-tiba bicara.
"Kau benar, sekokoh apa pun tempat ini, air pasti akan mampu menghancurkannya, apakah mereka berasal dari langit?" tanya Besi kepada Bang Joe.
"Haha, aku berpikir begitu. Mereka terjebak."
"Akibat tanah yang bergerak," ujar Ipang untuk ke sekian kali.
"Kalian beruntung, masih hidup, tapi kupikir, tak ada bedanya," ujar Besi lagi.
"Benar, itu yang kupikirkan juga." Bang Joe menimpali.
"Maksudnya?" Joni bertanya heran.
"Apakah ini berkaitan dengan apa yang terjadi pada para tahanan lain? Kulihat mereka seperti tak bergerak sedikit pun." Aul melihat ke sekeliling. Mengerikan.
"Benar, ada sebuah percobaan yang dilakukan oleh orang-orang militer kepada kami. Entah apa yang sedang mereka kembangkan, tapi hasilnya, lihat, orang-orang di sini jadi depresi bahkan ada yang hampir sekarat."
"Mereka yang gagal, kalian lihat, sel-sel yang kosong tadi?"
Aul dan Joni mengangguk.
"Tahanan gila hasil eksperimen telah berkeliaran mencari apa yang mereka sukai."
"Mereka? Tahanan gila?" Joni tak mengerti apa yang dimaksud oleh Besi.
"Tahanan gila yang sudah bukan manusia lagi. Mereka yang mengamuk dan tak memiliki kendali atas emosi mereka sendiri."
"Seperti Zombie." Bang Joe berkata, kemudian menatap salah satu sel yang kosong.
"Ada banyak yang seperti itu, kami tak pernah benar-benar merasa tenang, meskipun aku belum melihatnya secara langsung." Ipang ikut bersuara.
"Lalu, apa yang mereka cari? Apa yang mereka sukai?" tanya Joni lagi.
"Cahaya. Cahaya terang."
"Dan jalan keluar, dipenuhi cahaya terang. Lampu besar."
"Kita akan mati," ucap Joni tanpa ekspresi. Wajah datar itu sebenarnya tak mengisyaratkan ketakutan sama sekali.
"Tempat ini seperti kuburan. Kuburan masal," lanjut Besi.
Mendengar kalimat itu, Joni diam saja. Benar, mereka jatuh ke tempat yang salah, tapi tetap saja, ia merasa lebih baik. Joni merasa orang-orang di depannya, tidak berbahaya. Dan itu membuatnya merasa lebih baik dibandingkan saat pertama kali jatuh.
"Lalu, kenapa kalian dibiarkan? Mengangkut semua tahanan untuk dipindahkan, itu bukan pekerjaan sulit, mengingat banyak petugas di kota. Iya, kan?" Aul bertanya lagi.
"Mengangkut kami? Yang tersisa dari kami, kebanyakan sudah gila dan hampir mati. Entah berapa yang masih waras, bahkan aku meragukan kewarasanku sendiri," jawab Besi.
"Jadi, tak akan datang petugas lagi?"
Besi menggeleng. Dan satu gelengan itu, mampu membuat harapan Aul memudar.
"Kami ingin keluar, itu saja. Siapa saja, tolong tunjukkan," bujuk Aul.
"Hanya Besi yang tahu jalan keluar dari penjara ini. Kami datang kemari, dengan mata yang tertutup. Sedangkan Besi, ia pernah kabur dari sini, meskipun gagal." Dollar menjelaskan. Besi hanya diam, ia tak ingin pergi kemana-mana. Dan dua anak muda di depannya, ia yakin sekali, pasti sedang berharap bantuan darinya.
"Aku tidak bisa mengatakan apa-apa lagi, kalau kalian sudah selesai, sebaiknya kalian pergi, aku ingin tidur."
"Jakarta akan tenggelam!" teriak Aul.
Semua orang menatap ke arahnya.
Kami semua tahu itu, tapi kami tidak peduli.
"Kaupikir, kami tidak tahu? Lalu, alasan kucing-kucing penakut itu, pergi, memangnya untuk apa? Mereka semua takut mati."
Aul tersenyum kecut. "Lalu, apa kau tidak takut mati? Kau merasa telah siap untuk itu?"
Besi tak menjawab.
"Sudah, hentikan." Ipang berusaha melerai.
"Aku takut. Memangnya, siapa yang tidak? Tapi aku sudah tidak peduli lagi. Itulah sebabnya aku memilih untuk diam saja."
Besi berlalu, tapi sebelum itu, ia bicara di depan semuanya, "Mereka tidak peduli kepada kami, sama seperti aku tidak peduli kepada kalian."
Tidak ada yang bicara lagi.
"Sekali lagi, kau melakukan kesalahan," Bang Joe berkata pelan.
"Apa semua orang dewasa di sini suka marah? Hanya karena sebuah pertanyaan atau sebuah pendapat yang berbeda?" Aul bertanya lagi.
"Sudah, Ul. Jangan mulai lagi."
"Tidak Jon, aku menginginkan jawaban."
Bang Joe mendelik, sementara yang lain telah berlalu kembali ke sel masing-masing.
"Kami tidak hidup normal seperti kalian. Kaupikir kami adalah orang-orang yang sabar dalam sebuah perdebatan atau diskusi? Tidak Aul, Joni, kalian salah besar. Berapa lama kita tidak berbaur di masyarakat? Berapa lama kita tidak jadi bagian dari kehidupan yang normal?"
"Kalian harus paham tentang ini, kami terkadang tak memiliki kendali yang baik terhadap emosi kami sendiri."
Bang Joe kemudian melakukan hal yang sama. Berlalu begitu saja. Tinggal Aul dan Joni. Berdiri di depan sel laki-laki bernama Besi.
"Benar-benar, orang-orang ini, sulit ditebak."
"Bukankah semua orang memang seperti itu, Ul?" Joni berjongkok, kakinya pegal sekarang. Belum lagi hawa dingin yang kian menusuk kulit.
"Semua orang? Tidak Jon, aku selalu bisa menebak karakter orang-orang sebelumnya. Bahkan di kampus, aku tahu banyak karakter dan selalu bisa menyesuaikan diri dengan mereka."
"Perlu beberapa waktu, Ul. Tidak dalam beberapa jam saja."
Aul ikut berjongkok. Di belakang mereka, sel yang dihuni Besi. Di depan mereka, sel yang dihuni tahanan lain. Tahanan yang matanya tak berkedip sama sekali. Menatap lurus ke arah mereka.
"Apa dia menatap kita? Apa ada yang salah?" tanya Joni heran.
"Dia sudah gila, Jon."
"Ya, kupikir juga begitu. Apa dia masih hidup?"
"Entah, matanya aneh."
"Mungkin salah satu dari tahanan yang kena uji coba."
"Ya, mungkin sebentar lagi, matanya keluar, darah mengucur lewat lubang matanya."
"Badannya kurus, apa dia bernapas?"
Mereka berdua memperhatikan dengan seksama tahanan itu. Tahanan yang tubuhnya kurus dan matanya tak berkedip. Terlihat bernapas dengan berat.
"Dia masih bernapas." Joni berkata pelan.
"Napasnya hampir habis, kasihan."
"Apa kau kedinginan, Jon?" Aul bertanya sambil melihat raut muka Joni yang pucat.
"Kau juga."
"Mungkin kita akan mati segera. Mati lebih cepat dari tahanan itu," suara Joni lirih.
Tepat setelah Joni berkata, seseorang yang menghuni sel di belakang mereka, yaitu, Besi, membuka pintunya.
"Kalian berisik sekali, aku tidak bisa tidur!" teriaknya sambil melemparkan dua kaus berwarna hitam bertuliskan tahanan.
"Kau mau kami memakai kaus ini?" tanya Aul. Rasanya, ia tak mau.
"Kau tidak mau, Ul? Aku akan pakai, ini dingin sekali."
Joni membuka baju. Hawa dingin segera saja membuatnya buru-buru mengganti bajunya. Sekarang, ia terlihat sama dengan orang-orang di sini.
"Kalau kau tidak mau, berikan padaku!" teriak Besi lagi.
Aul membuka baju dan mengganti. Sama seperti yang dilakukan oleh Joni.
Besi kemudian kembali masuk ke dalam del. Membaringkan tubuhnya dan memejamkan mata.
"Ini lebih baik, kan?" Joni merasa nyaman sekarang.
"Ssst!"
"Aku tidak peduli, dia seharusnya tidak marah dan membantu kita," lanjut Joni lagi.
"Diam, Jon, kita bisa mati saat ini juga."
"Orang dewasa, harusnya tidak marah berlama-lama!" sengaja, Joni berteriak hingga suaranya menggema, membangunkan semua tahanan.
"Joni!"
"Biar dia dengar."
"Berisik! Benar-benar gaduh!" suara Besi lebih keras. Ia membuka sel denga kasar, Aul dan Joni berdiri.
"Aku tidak marah pada kalian," suara Besi lebih pelan."
"Tunjukkan pada kami, jalan keluar."
"Tidak, sekali lagi, tidak. Pergilah ke sel lain yang kosong. Tinggal di sana seperti kami. Anggap rumah sendiri."
Rumah? Kami tak pernah membayangkan ini seperti rumah.
Besi kemudian kembali tidur. Lebih tepatnya, pura-pura tidur. Sebab sebenarnya, ia hanya melihat ke sekeliling, matanya menatap ke atap. Meyakini bahwa sebentar lagi, apa yang ia lihat akan roboh. Mungkin menimpa semua orang.
"Aku bisa tidur dimana saja. Bahkan di tempat yang terkena air, aku yakin tidak dengan kalian, carilah sel yang bagus. Beberapa ada alasnya."
Besi masih bicara, karena ia tahu, Aul dan Joni, bahkan tak bergerak sedikitpun dari tempat mereka.
"Kami akan pergi. Tidur saja," ucap Joni.
"Kalau perlu, jangan pernah bangun lagi," suara Aul pelan. Pelan sekali. Joni tertawa tertahan.
Mereka masih bisa tertawa.