Ada Sesuatu yang Berbahaya

1015 Words
Ia ingat soal dulu, ketika kecil, ia sering menahan ayahnya pergi dari rumah. *** Sepertinya, kondisi dosen yang baru saja pingsan itu cukup serius. Ia terlihat pucat dan semua orang tentu saja panik. Aul dan Joni hampir mendekat, sebelum akhirnya Joni menyuruh Aul menghentikan langkah. Ada beberapa mahasiswa yang sedang berkerumun dan mereka menunjukkan satu gejala yang sama. Mereka terbatuk-batuk. "Kenapa?" tanya Aul, heran karena Joni berhenti. "Sebaiknya kita tidak ke sana." Aul ingin bertanya lebih lanjut, tapi Joni terlihat sangat serius memperhatikan sekitar. Jadilah, ia merasa lebih baik untuk menurut dan tidak bertanya lebih lanjut. "Kita pergi. Sekarang." "Ke mana?" tanya Aul heran. Joni tiba-tiba saja bertingkah aneh. Menurutnya. "Ke mana saja, jangan di sini." "Apa ada sesuatu yang berbahaya?" tanya Aul lagi. Ia belum menyerah untuk bertanya. "Aku belum tahu, tapi ini bukan sesuatu yang bagus." Joni dan Aul pun melangkah ke arah lain, menjauhi kerumunan dan suara ambulan mengiringi langkah mereka keluar dari kampus. Ada yang tidak beres. Itu firasat Joni. Sementara itu, di tempat lain, di salah satu rumah sakit di kota, ada banyak pasien yang terkena flu berat. Para medis gak begitu kewalahan awalnya, karena memang itu diduga hanyalah penyakit flu biasa, tapi mereka merasa khawatir sebab jumlah pasien setiap jamnya terus saja bertambah. Obat-obat diminta dikirim secepatnya, beberapa anak yang terkena flu bahkan mengalami sesak napas. Lansia, serta orang-orang yang memiliki penyakit berat, juga sama. Mereka kesulitan bernapas. *** "Kita ke kafe?" tanya Aul. Joni masih tak bisa tenang. Ia dengan langkahnya yang cepat, tapi tak berarah, membuat Aul jadi sangat penasaran. "Hei, ayolah!" "Kau pulang duluan. Aku harus berkeliling dulu." "Berkeliling? Untuk apa? Biar sama-sama saja." "Tidak, Ul. Aku mungkin harus menemui kakakku dulu." "Kakakmu? Dia bekerja? Di mana?" "Di dekat sini. Maaf. Kau pulang duluan saja." Ekspresi datar Joni membuat Aul kesal. Itu seperti Joni tahu sesuatu, tapi ia tak mau berbagi tentang itu dengan Aul, tapi mau bagaimana lagi? Aul tak akan memaksa. "Oke. Aku akan pulang dulu," ucap Aul. "Ya. Jangan ke mana-mana. Langsung pulang!" Aul tak menjawab. Bagi Aul, Joni kadang-kadang bertingkah seperti orang tua dan itu membuatnya sebal. Setelah Aul hilang dari pandangannya, Joni mencoba berjalan-jalan. Ke mana saja, ke tempat yang agak ramai. Di salah satu sudut jalan, sepertinya ada konser jalanan. Joni melihat dari kejauhan dan mendapati beberapa orang di antara mereka terlihat terbatuk-batuk. Ia merasa itu hal yang buruk. Mungkin hanya flu biasa, tapi bagaimana mungkin jika .... Ia berbalik dan melihat segerombol anak SD dalam kondisi yang sama. Terbatuk-batuk. Joni segera menghindar dan pergi agak jauh. Joni memiliki ide lain. Ia mengambil ponsel dari dalam tasnya dan menelepon salah satu temannya. "Halo, Sammy?" "Ah, kenapa, Jon?" "Emh, kenapa kau tidak kuliah hari ini?" "Ah, ya. Ehm, kenapa kau bertanya. Ini agak aneh." "Ah, tidak-tidak. Ini karena aku ingin bertanya soal pelajaran." "Ah, begitu. Aku tidak masuk. Keluargaku sedang di rumah sakit. Hampir semuanya terkena flu berat." "Apa? Flu berat?" "Ya. Oke, memangnya apa yang hendak kau tanyakan?" "Tidak. Lain kali saja. Sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat." "Oke." Joni menutup teleponnya. Ia kemudian terpikirkan sesuatu. Ia memeriksa dompetnya. Melihat ada berapa banyak uang yang tersisa dan setelah memastikan, ia pun pergi ke supermarket. Ia membeli banyak masker dan pergi ke apotek untuk membeli obat flu. "Maaf. Persediaan obat sudah habis. Coba ke apotek di depan." Itu kalimat yang Joni dapatkan di beberapa apotek. Bukan satu atau dua, tapi lima. "Kapan perkiraan obatnya datang lagi?" tanya Joni di apotek kelima. "Mungkin besok." Joni menghela napas berat. Ia duduk sebentar di kursi yang tersedia. Mengambil satu masker dan mengenakannya. Ia sampai lupa melindungi dirinya sendiri. Ia kembali meraih ponselnya. "Halo, Ul. Dengarkan aku. Keadaan sepertinya agak kurang baik. Aku sudah mencoba melihat di beberapa tempat dan sepertinya, kebanyakan dari mereka terkena sakit flu. Terdengar seperti sepele, tapi percayalah, ini buruk. Jangan biarkan siapa pun dari keluargamu keluar dari rumah." Yang menerima telepon terdiam cukup lama. Aul tengah berbaring di kasurnya dan enggan keluar dari kamar. "Jadi, ini yang ingin kau ketahui? Kau berkeliling hanya untuk mencari orang yang kena flu?" "Tolong. Turuti saja." "Oke. Tapi lain kali, katakan. Jelaskan semuanya, sebelum menyuruhku pulang duluan." "Oke. Lakukan sekarang." Aul menutup telepon dan beranjak ke ruang tamu. Sepertinya sang ayah baru selesai makan siang dan hendak bersiap-siap untuk kembali ke tempat kerjanya. Aul kebingungan. Bagaimana caranya agar sang ayah tidak keluar rumah? Itu sulit. Jadilah Aul hanya diam memandangi ayahnya untuk beberapa saat. Sang ayah yang kemudian menyadari keganjilan itu, akhirnya melontarkan pertanyaan, "Ada apa?" "Ehm, begini ... apa Ayah tidak mau di sini saja dulu?" "Di sini? Di rumah?" Aul mengangguk dan tersenyum. Senyum yang lebar. "Memangnya, kau mau apa? Ada acara apa, Sayang?" tanya sang ayah kepada istrinya, alias ibu Aul. "Tidak ada. Kenapa, Ul? Apa yang salah? Ayahmu harus bekerja lagi." "Ya, itu maksudku. Sebaiknya, hari ini Ayah bekerja setengah hari saja." Ayahnya menatap Aul dengan aneh. "Ada apa ini? Apa kau ingin Ayah tetap di rumah? Kau bukan anak kecil lagi, haha." Ayahnya tertawa. Aul juga ikut tertawa. Ia agak ingat soal dulu ketika kecil, ia sering menahan ayahnya pergi dari rumah. "Ya, anggap saja begitu." "Berhentilah bersikap tak jelas. Dan segera makan siang," ucap sang ibu sambil berjalan menuju meja dan menyajikan sepiring nasi serta sup untuk Aul. "Ibu pikir kau akan pulang sore." "Ah, tidak. Aku tadi, ada ... urusan. Dosennya pingsan. Itu maksudku." "Pingsan?" Ayah dan ibunya bertanya bersamaan. Aul mengangguk. "Ya, pingsan. Sepertinya sakit. Jadi, kami pulang." Sedetik setelah itu, Aul merasa konyol. Itu bukan alasan yang tepat. Di perkuliahan, tidak ada hal semacam itu. Di sekolah dasar mungkin ia pernah mengalami hal itu, tapi di kampus .... Ah, ya ampun. Ia sudah kehabisan kata-kata sekarang. "Baiklah," ucap sang ayah. Sejak tadi, Aul masih berdiri di depan pintu. Ia masih berpikir tentang bagaimana cara menahan sang ayah. Lalu, tiba-tiba saja ia terpikirkan sebuah ide. Ide yang menurutnya cukup cemerlang. Ia menjatuhkan dirinya sendiri, lalu bertingkah seolah-olah ia mengerang kesakitan. Ia memegangi kepalanya dan kemudian tak bergerak sama sekali. Ia bisa mendengar bagaimana ayah dan ibunya panik. Sangat kekanakan, tapi berhasil. Ayahnya tidak mungkin pergi bekerja.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD