"Kesombonganmu tidak berarti ketika tubuhmu menua dan lemah."
***
Joni selesai dengan semua yang ia beli. Masker dan obat-obatan, meskipun perlu usaha yang cukup besar, karena kebanyakan apotek kehabisan obat flu. Jauh di dalam hati dan pikirannya, jujur saja, ia ingin berpikir jernih. Ia ingin berpikir dan beranggapan kalau apa yang ia lihat saat ini, kenyataan tentang orang-orang yang sedang menunjukkan gejala flu, adalah orang-orang yang memang terkena penyakit flu ringan seperti biasanya, tapi karena akhir-akhir ini banyak keganjilan yang ditimbulkan dan berkaitan dengan ST Tower, Joni merasa berpikir demikian tidak bisa dilakukan.
Ia tidak bisa lari begitu saja dari pemikiran yang saat ini ia yakini. Ia tak mau memaksakan diri untuk berpikir bahwa tak ada apa-apa.
Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, Joni berhati-hati dengan siapa pun yang ia temui. Ia mengenakan maskernya dengan cukup erat dan menjaga jarak. Membatasi interaksi dengan siapa pun.
Ia menunggu bus dan melihat sekeliling. Sudah malam hari. Kakaknya sedang apa di rumah? Tadi ia berbohong kepada Aul tentang akan menemui sang kakak di tempat kerjanya. Kakaknya sebenarnya hari ini bekerja di rumah, sebab dua hari yang lalu, kakinya terkilir di kamar mandi. Joni percaya kakaknya tidak mungkin berpergian dalam keadaan seperti itu. Akan tetapi, untuk berjaga-jaga, ia akan menelepon sang kakak.
"Halo," ucap kakaknya di seberang sana. Joni menarik napas panjang. Cukup lega.
"Kenapa? Kenapa belum pulang? Apa ada jam pelajaran tambahan? Kau sudah bersemangat lagi, ya. Kakak kira kau akan bolos, mengingat akhir-akhir ini terlihat aneh saat berangkat ke kampus."
Untuk sesaat, Joni hanya ingin mendengar ocehan sang kakak.
"Hei, halo? Joni?"
"Ya. Aku sedang menunggu bus. Aku akan segera pulang. Kakak jangan ke mana-mana."
"Apa kau bercanda? Kakak sedang tidak bisa berjalan dengan benar. Ke kamar mandi saja malas sekali rasanya."
"Ah, bagus."
"Bagus? Kau mengejek Kakak, ya."
"Saat ini, di luar, banyak orang yang sakit. Mereka sepertinya terkena flu. Jadi, akan sangat benar jika Kakak berdiam diri di rumah. Itu adalah pilihan paling tepat. Setidaknya, untuk saat ini."
"Hanya flu?"
"Bukan hanya. Apa pun penyakitnya, kita perlu waspada. Sekecil apa pun hal yang akan membuat kita sakit, kita harus mewaspadainya. Benar, kan?"
"Terserah saja. Hati-hati di jalan, ya. Nanti kita masak mie kalau kau sudah di rumah."
"Oke."
Joni menutup telepon. Dan tak lama setelah itu, bus yang ia tunggu sedari tadi pun datang. Joni masuk dan mencoba mengambil bangku yang jauh dari penumpang lainnya. Bangku paling belakang.
Ia pergi ke sana dan berhati-hati sekali dalam berjalan. Ia bahkan tak mau sampai bersentuhan dengan penumpang lain. Setelah ia duduk, ia memperhatikan. Hampir semua orang terlihat pucat dan sakit. Itu membuatnya merasa takut sekali. Joni membenarkan maskernya dan bersamaan dengan itu, rupanya ada seorang lelaki paruh baya yang baik juga ke dalam bus.
Ia berbeda. Lelaki paruh baya itu tampak sehat, tetapi tentu saja Joni tetap merasa harus waspada. Dan sialnya, ia duduk di samping Joni. Lelaki itu tersenyum, Joni enggan, tapi mana mungkin ia menampik keramahan seseorang. Sekalipun ia ingin cepat-cepat sampai saja rasanya.
Joni berinisiatif. Ia mengambil masker dari tasnya dan ia berikan kepada lelaki itu.
"Ah, karena flu? Baik. Aku akan pakai. Padahal sebenarnya, seumur hidupku, aku hampir tidak pernah sakit."
Lelaki itu akhirnya mengenakan masker yang Joni berikan. Barulah Joni berbicara.
"Tidak ada yang salah dengan berjaga-jaga. Apa pun penyakitnya, ringan atau berat, kita tetap harus mewaspadainya. Itu akan lebih baik."
Lelaki itu mengangguk. Untuk sesaat, sepertinya jiwa mereka tertukar. Joni terdengar seperti orang tua yang tengah menasehati seorang remaja tanggung.
"Oke. Tapi itu hanya flu."
Seorang bocah tua yang merengek rupanya, pikir Joni.
"Tetap saja. Kita harus berhati-hati."
Lelaki itu tertawa. Ia menatap Joni. "Aku tidak pernah sakit."
"Kesombonganmu tidak berarti ketika tubuhmu menua dan lemah."
"Aku tidak begitu. Hei, kau tidak sopan, Nak. Sepertinya kau bukan penduduk kota ini. Aku baru pertama kalinya melihatmu."
Giliran Joni yang tertawa sekarang. Memangnya, laki-laki di sampingnya itu harus tahu semua anak di kota? Sekalipun sudah hidup lebih lama darinya, mustahil jika ada yang benar-benar ingat semua anak di kota ini. Tanpa kecuali.
"Aku pindahan. Tapi, kenapa kau merasa akan tahu semua orang di kota? Itu tidak mungkin."
"Karena aku lebih tua dan hidup lebih lama darimu."
"Tetap saja, memangnya apa pekerjaanmu? Setiap hari berkeliling kota?"
Lelaki itu mengangguk. "Aku bekerja di dinas pengambilan sampah."
Joni pun mengerti sekarang. "Ah, begitu. Tetap tidak masuk akal jika merasa tahu semua orang."
"Haha. Terserah saja. Siapa namamu?" tanya lelaki itu.
"Aku Joni."
"Joni. Nama yang bagus. Ini kartu namaku. Kalau kau butuh pengangkut sampah datang lebih cepat dan tentunya mau membayar lebih besar, aku akan datang."
Lelaki paruh baya itu menyerahkan kartu nama. Joni menerimanya dengan agak malas. "Oke. Terima kasih."
Ia memasukkan kartu nama itu ke dalam saku tasnya. Entah sepertinya akan berguna atau tidak, ia tidak tahu.
Lelaki itu turun sebelum Joni. Ia bahkan melambaikan tangan sebelum bus benar-benar pergi. Joni abai dan berpura-pura tidak melihatnya. Apa-apaan, pikirnya. Satu yang pasti, pikir Joni. Lelaki paruh baya itu cukup beruntung, karena tidak terkena flu seperti orang kota kebanyakan.
Tak lama, bus kembali berhenti. Joni turun dan bergegas untuk pergi ke rumah Aul terlebih dahulu.
Malam sudah mulai beranjak. Cukup lama bagi ibunya Aul untuk membukakan pintu. "Joni?" Ibunya Aul agak terkejut.
"Iya, Bu. Ini, aku ... ada yang ingin aku bicarakan dengan Aul."
Ibunya menampilkan wajah sedih. "Dia pingsan."
"A-apa?"
"Di baru siuman tadi. Kau bisa melihatnya. Eh, apa yang kau bawa itu?" Ibunya Aul menunjuk ke kantung kresek besar yang Joni bawa.
"Ah, ini. Sebentar. Boleh aku masuk?"
"Oh, iya. Boleh-boleh."
Joni masuk dan ia pun membongkar isi kreseknya. "Ini masker dan obat."
"Sebanyak ini?" Ibu dan ayah Aul terkejut.
"Ini untuk kalian dan sisanya untuk aku dan kakakku."
Ibunya Aul sedikit heran. Aul dan Joni jelas bersikap berlebihan.
"Ada apa sebenarnya?" tanya ibunya Aul dengan penuh selidik.
"Nanti, aku dan Aul akan jelaskan. Boleh aku bicara dengannya dulu?"
Ibunya Aul mengangguk. "Boleh. Di kamar."
Joni segera masuk ke kamar Joni. Ia masih mengenakan maskernya sejak tadi.
"Hei! Kenapa lama sekali mengobrolnya? Sial. Aku hampir mati karena penasaran! Sebenarnya, apa yang kau lakukan?" tanya Aul.
"Ssst. Kenapa kau pingsan?"
"Ini hanya pura-pura. Cepat katakan! Ke mana kau dari tadi? Dan ada apa sebenarnya?"
"Dengar. Ini baru dugaanku, tapi sepertinya memang ada yang sedang tidak beres. Hampir di seluruh kota, semua orang terkena flu. Tapi aku pikir, itu bukan flu biasa. Kita harus pergi dari sini. Secepatnya."
"Ya ampun."
Aul mencoba mencerna kata-kata Joni. "Apa sekarang, kita harus lari lagi?"
Joni mengangguk. "Demi tetap hidup, kita harus lari. Bedanya, sekarang kita punya banyak orang yang bersama kita. Dan kita semua, harus selamat."