Keanehan Pak Tua

1031 Words
Tapi manusia itu mahluk yang kompleks. Mereka bisa saja berubah dalam waktu yang teramat singkat. *** Aul terbangun dan mendapati dirinya sendirian di dalam mobil. Ia celingukan sebentar, untuk kemudian segera masuk ke dalam rumah milik si Pak Tua. Terlihatlah Joni dan Besi yang sedang makan. "Kalian. Kalian meninggalkanku di dalam mobil? Bagaimana kalau polisi menemukanku di sana?" "Lalu, apa kami harus menggendongmu?" tanya Joni dengan cueknya. "Sudah, duduk dan makanlah." Besi mencoba menengahi. "Kami sudah berkali-kali membangunkanmu, tapi kau tidak merespon sama sekali." "Kau seperti mayat hidup," tambah Joni. Aul segera duduk dan melemparkan tatapan sinis. Di sisis lain, ada seseorang keluar dari dapur. Si Pak Tua. Ia tersenyum kala mendengar pertengkaran kecil antara Aul dan Joni. Pak Tua datang sambil menenteng sebuah piring. "Makanlah." Aul menerimanya dan mulai menyendok makanan. "Melihat kalian, sungguh membuatku ingat tentang masa mudaku dulu. Aku juga dulu punya banyak teman, dan lumayan populer di kalangan mahasiswa." Aul dan Joni tersenyum mendengar kata populer yang disebutkan si Pak Tua. "Aku dan Aul tidak terkenal di kampus. Di kampus yang sekarang atau bahkan yang sebelumnya," ujar Joni. "Ah, ya. Kalian kan pindahan dari Jakarta, ya. Oke. Kalian mungkin tidak tahu. Aku juga dulu pernah tinggal di kota itu." Joni hampir tersedak mendengarnya. Buru-buru ia meraih gelasnya. "Haha. Kenapa kau kaget?" "Ah, tidak. Aku hanya tidak mengerti. Kau bilang kalau kau sudah berada di kota ini sejak lama. Kau sudah tinggal lama di kota ini dan makanya kau hampir mengenal semua penduduknya. Apa itu hanya bualan?" Aul dan Besi sedikit kaget dengan perkataan Joni. Itu terkesan sangat tidak sopan jika disampaikan kepada seorang Pak Tua. Pak Tua itu tertawa mendengar pertanyaan Joni, seolah pertanyaan Joni itu adalah sesuatu yang menggembirakan baginya. "Bukan. Itu bukan bualan. Aku memang sudah hidup dalam waktu yang cukup lama, yang mungkin tidak pernah kalian bayangkan. Sudahlah. Makan saja. Tidak baik rasanya jika kita terus-menerus berbicara dan mengabaikan makanan enak di depan kita ini. Atau, apakah makanannya tidak enak?" Tiga orang itu menggeleng. Makanan yang disajikan si Pak Tua itu enak sekali, bahkan mereka sama sekali tidak ingat bahwa Pak Tua itu adalah tukang sampah. Setelah makan malam, si Pak Tua memutuskan untuk tidur cepat, dengan alasan bahwa ia harus bertugas pagi-pagi sekali. Aul, Besi, dan Joni tak masalah dengan itu, justru mereka sangat senang, karena mereka memiliki waktu yang lebih leluasa untuk sekadar mengobrol satu sama lain, tanpa harus Pak Tua itu ikut serta. Joni tidak bisa diam. Di saat Besi sedang mencari informasi dan melihat-lihat ponselnya, demi menunggu kabar dari seorang Rai, ia malah mencoba mencari tahu soal si Pak Tua lewat foto-foto yang terpajang di dinding rumah itu. Aul juga sedang bergelut dengan kantuk. Ia tak ingin tidur dulu, tapi sepertinya kantuknya itu sudah sedemikian besar, hingga ia terlihat begitu kesulitan menahan diri untuk terlelap. Ada banyak foto yang menempel di dinding dan kesemuanya menyertakan potret si Pak Tua, mungkin dengan orang-orang terdekatnya. Joni melihat satu demi satu foto tua itu. Awalnya, tidak ada yang aneh. Ya, ia merasa semua foto yang ia lihat itu adalah foto-foto yang biasa saja, wajar-wajar saja, tapi kemudian, saat ia melihat beberapa foto yang lain, ia merasa ada yang janggal. Pak Tua itu, memang sudah tua, tapi di beberapa foto, ia terlihat sama saja. Ia tidak bertambah tua lagi. Siapa sebenarnya sosok Pak Tua itu? Joni mulai bertanya-tanya. Ia kembali mengingat percakapan dengan Pak Tua di bus, ketika pertama kali mereka berkenalan. Pak Tua itu berkata bahwa ia tidak pernah sakit dan ia juga tahu hampir semua penduduk di kota. Saat itu, dua kalimat tersebut terdengar seperti kalimat-kalimat yang konyol tanpa arti, tapi sekarang, Joni mulai menyadari bahwa itu adalah hal yang tak biasa. Joni mulai berpikir, tentang Pak Tua yang mengaku tidak pernah sakit dan soal ia yang juga yang merasa mengenal pasti semua penduduk. "Besi ...." Joni berujar. Itu membuat Besi yang ternyata sudah mulai mengantuk, kembali terjaga. "Apa?" "Ada yang aneh." "Apanya?" "Dengan Pak Tua itu ...." Besi pun mendekat ke arah Joni yang masih berdiri. Pandangan Joni masih belum beralih dari foto-foto di dinding. "Apa yang aneh?" tanya Besi yang kini mulai memperhatikan satu demi satu foto itu. "Pak Tua itu, di beberapa foto, tidak bertambah tua. Lihatlah. Perempuan ini sepertinya orang yang sama. Di foto ini, dia masih umur belasan, mungkin. Di foto satunya lagi, sudah dewasa, tapi si Pak Tua tetap sama. Dia tidak berubah." Besi belum berpikir yang aneh-aneh. Ia masih mencoba menganalisis. Baginya, semuanya itu masih tampak wajar. "Kau tidak mengerti?" tanya Joni, karena reaksi Besi sepertinya datar-datar saja. Besi menggeleng. "Sudah kuduga." "Memangnya, kenapa? Dia tampak awet muda?" "Bukan sekedar awet muda, tapi aneh. Dia tidak berubah. Dan ya, dia memang sudah agak tua, tapi lihatlah. Kau bisa lihat, dia amat segar dan seolah memiliki tubuh seseorang yang berusia tiga puluhan. Masih segar bugar." "Lalu?" "Dia bukan manusia biasa. Itu yang kusimpulkan. Banyak pernyataan aneh yang mengarah ke sana." Besi mulai berpikir. "Dia bukan manusia, lalu dia itu apa? Di mataku, dia terlihat seperti manusia pada umumnya." "Ya, memang. Tapi aku yakin, ada sesuatu. Meskipun aku belum tahu apa itu." "Kita tanyakan saja besok. Tidurlah." Joni kecewa dengan tanggapan Besi. Mungkin karena Besi sudah kadung mengantuk, jadilah ia tak terlalu ingin mendalami apa yang menjadi kecurigaan Joni. Besi pun memilih merebahkan diri di sofa seadanya. Aul bahkan sudah sejak lama entah ke alam mana. Ia tak bergeming sedikit pun. Joni terdiam. Ia masih kesulitan jika harus berusaha tidur dalam keadaan dilanda rasa penasaran yang teramat. "Kau tidak bisa tidur?" tanya Besi. Ia belum benar-benar tidur rupanya. "Belum. Mana mungkin aku bisa tidur dengan perasaan yang seperti ini? Aneh sekali kau." "Sudah, lupakan saja. Nanti kita bicarakan lagi besok." "Bagaimana membicarakannya?" "Ya, kita tanyakan saja langsung kepada si Pak Tua. Kita tanyakan soal foto-fotonya dan kenapa dia tak juga bertambah tua." "Gila. Bisa saja dia akan berkelit dan mungkin menganggap pertanyaanku itu konyol. Atau, kalau pun tidak, dia mungkin akan marah." Besi menggeleng. "Dia tidak terlihat seperti orang yang suka marah-marah." "Sepakat. Tapi manusia itu mahluk yang kompleks. Mereka bisa saja berubah dalam waktu yang teramat singkat. Tidak bisa ditebak. Seperti Pak Tua yang menolong kita itu. Iya, kan?" Tak ada lagi jawaban. Besi sudah tidur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD