Keesokan harinya, yang pertama kali membuka mata adalah Aul. Ia memang yang pertama kali juga tidur malam tadi. Saat hendak mengambil air minum, ia melihat Pak Tua yang sedang bersiap-siap.
"Kau mau berangkat?" tanya Aul. Pak Tua pun mengangguk. "Ya. Kenapa kau sudah bangun? Dua temanmu itu sepertinya masih tidur."
"Haha. Ya, mereka mungkin tidur larut. Kau mau mengangkut sampah?"
"Iya. Aku ada beberapa panggilan dari perumahan. Jadi, aku harus segera datang dan mengangkut semua sampah itu."
"Sepertinya, menyenangkan. Berpergian ketika pagi-pagi sekali."
"Sebenarnya, tidak juga. Aku masih ingin tidur, tapi karena aku butuh uang, tidak mungkin kan kalau aku tidak berangkat."
Aul tersenyum. Itu mengingatkan Aul kepada ayahnya yang selalu suka bekerja.
"Boleh aku ikut?" tanya Aul. Pak Tua itu menggeleng.
"Kau akan dimarahi oleh dua orang yang sedang tidur itu."
"Mereka kan tidak tahu."
"Kalau mereka bangun dan kita berdua tidak ada? Mereka akan berpikir yang macam-macam. Tunggulah di sini. Aku akan kembali setelah bekerja. Tidak akan lama."
Aul mengangguk. Ia pun kembali ke ruang tengah. Sementara Pak Tua keluar dari rumah lewat pintu belakang.
Di ruang tengah, Aul yang bingung harus berbuat apa, pada akhirnya hanya melihat-lihat deretan foto di dinding. Semua foto-foto Pak Tua itu, ia melihatnya satu demi satu. Banyak foto yang menarik baginya, sebab foto-foto itu diambil di berbagai tempat dan si Pak Tua pun berfoto dengan berbagai macam orang.
Ketika masih sedang melihat-lihat itu, rupanya Joni dan Besi mulai terbangun.
"Ini sudah siang," ucap Aul mengejek kedua orang itu.
"Kau bangun duluan?" Terdengar suara Joni. Sementara Besi, kembali memejamkan mata. Seolah ia tidak peduli dengan apa yang dibicarakan Aul dan Joni.
"Ya. Aku bangun lebih awal dan kau tahu? Aku bahkan melihat Pak Tua bersiap-siap pergi bekerja."
"Kau melihatnya? Apa yang ia katakan?" Joni beranjak.
"Tidak ada. Kami hanya berbasa-basi dan dia bilang kalau dia tidak akan lama."
"Hei, kau sudah melihat semua foto-foto ini, bukan? Kau merasa ada yang aneh, kan?"
"Aneh? Apanya yang aneh? Kualitas fotonya? Menurutku, ini sudah bagus. Dan sebenarnya, agak aneh soal mengoleksi foto ini. Bukannya orang-orang di masa kini akan lebih memilih untuk menyimpan semua foto di komputer atau ponsel?"
"Itu dia. Itu dia yang kumaksud. Selain fakta bahwa di zaman ini mengoleksi foto versi cetak adalah hal yang sudah jarang, ada beberapa fakta aneh juga soal Pak Tua itu."
Aul terdiam dan berpikir. "Apa yang aneh? Ini masih bisa diterima. Mungkin Pak Tua itu termasuk orang yang kolot."
"Bukan soal itu. Tapi, lihatlah. Semua foto ini. Pak Tua itu, tidak bertambah tua. Masih saja terlihat sama.
"Benarkah?" Aul kembali memperhatikan semua foto di dinding dan menilik-nilik. Setelah ia melihat semuanya dengan lebih seksama dan hati-hati, ya. Ia melihat hampir di semua foto itu, Pak Tua itu masih sama.
"Ini gila," ucapnya.
"Sudah kubilang. Dia aneh."
"Kau tahu, Jon? Tadi aku hampir saja ikut dengannya untuk mengangkut sampah. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kalau aku benar-benar ikut dengannya tadi. Jangan-jangan, aku akan dibawa dan dibunuh."
Joni tertawa dengan kehaluan Aul. "Kau ini kenapa? Jangan terlalu mengarang."
"Aku hanya menduga-duga. Jangan-jangan, Pak Tua itu bukan manusia."
"Tepat! Itu yang kupikirkan. Kalau pun ia manusia, ia pasti bukan manusia biasa."
Joni dan Aul berpikir keras. Pak Tua itu memang terlihat tidak biasa.
"Dan, apa ada alasan yang melatarbelakanginya untuk membantu kita? Coba pikirkan, Ul," ucap Joni lagi. Ia menambahkan argumen soal Pak Tua yang bukan manusia biasa itu menjadi semakin kuat.
"Kalian ini, sudahlah. Mari cari makanan untuk sarapan dan kabur dari sini."
Ucapan Besi membuat Joni dan Aul mendapat sedikit pencerahan. Benar juga. Ketiadaan si Pak Tua itu memberi mereka celah.
"Jadi, sebaiknya kita kabur saja?" tanya Aul.
"Ya. Tapi, mari cari sarapan dulu. Maksudku, pasti di sini ada makanan. Dan daripada kita mati kelaparan, kita harus makan dulu sebelum menyusun rencana selanjutnya. Kalau sudah makan, kita pasti bisa memikirkan rencana lainnya dengan baik."
Besi beranjak ke dapur dan mencari-cari makanan, disusul oleh Joni dan Aul. Aul memeriksa kulkas dan menemukan beberapa makanan instan. "Hanya ada mie."
"Aku menemukan telur," ucap Joni.
"Di sini ada roti," timpal Besi.
"Baiklah, semua bahan yang kita temukan, cukup untuk membuat sarapan. Kalian duduk sajalah. Daripada merepotkan."
Aul diam saja, ia terfokus kepada kresek hitam yang cukup besar di bagian paling bawah kulkas.
"Ada apa?" tanya Joni, membuyarkan lamunan Aul.
"Lihat kantung itu. Apa isinya?" tanya Aul.
"Ehm, apa, ya?" Joni menendang-nendang kantung kresek itu dan ikut penasaran.
"Sudah, pergilah kalian ke ruang tengah. Aku akan siapkan sarapan."
Aul dan Joni pun menyingkir. Mereka berdua masih menyimpan rasa penasaran.
"Jangan-jangan, isinya potongan tubuh manusia," ucap Aul.
"Entahlah. Sudah. Jangan bicara yang aneh-aneh. Kita tunggu makanan saja."
"Oke."
Joni dan Aul pun hanya diam. Tak lama, Aul teringat akan sesuatu.
"Jon."
"Iya?"
"Kira-kira kakakmu dan orang tuaku bagaimana keadaannya sekarang, ya? Apa mereka ketakutan? Mereka sepertinya cemas."
"Ya. Sudah pasti. Mereka pasti cemas. Kita tidak sempat mengabari."
"Ya ampun. Aku tidak bisa kalau begini. Aku ingin menelepon mereka."
"Jangan. Itu berbahaya. Kita berdoa saja. Semoga mereka baik-baik saja. Aku yakin mereka baik-baik saja. Orang tuamu dan kakakku."
"Oke."
Tak lama setelah itu, Besi sudah selesai menyiapkan sarapan untuk mereka. Entah apa yang ia buat, tapi kelihatannya agak berantakan.
Aul dan Joni ragu-ragu untuk menyantap sarapan buatan Besi itu.
"Kenapa?" tanya Besi. Ia menatap heran kepada dua anak muda di sampingnya yang sepertinya enggan mulai makan.
"Makanlah. Aku tidak menambahkan racun atau apa pun ke dalamnya. Setelah ini, kita harus segera kabur."
"Kabur ke mana?" tanya Joni. Ia mulai mencicipi masakan Besi.
"Ke mana saja. Aku belum menerima kabar apa pun dari Rai, tapi tidak apa-apa. Asalkan kita bisa segera pergi dan mencari tempat yang aman, meskipun akan sulit, tapi daripada kita berdiam diri di sini? Bersama Pak Tua yang kita ragukan kemanusiaannya. Iya, kan?"
Aul dan Joni mengangguk. Mereka segera menghabiskan sarapan dan bersiap untuk pergi.
"Pakai masker dan topi. Lihat, aku menemukan beberapa topi lama. Kita mungkin akan terlihat seperti orang tua," ucap Besi. Aul dan Joni pun menyamarkan penampilan mereka.
Setelah siap, mereka pun keluar dengan hati-hati, akan tetapi, tepat ketika itu, mobil Pak Tua terlihat kembali.
"Sial. Apa dia sudah selesai?" tanya Besi.
"Ya. Sepertinya. Dia bilang, dia tidak akan lama.