Berpikir negatif itu melelahkan, bukan?
***
Joni terbangun dengan perasaan was-was. Ia mimpi buruk. Diusapnya berkali-kali wajahnya itu. Ia kemudian melongok ke ruang tengah. Ada suara televisi yang begitu keras terdengar. Rupanya sang kakak tengah menonton televisi dengan sangat serius. Joni kembali merebahkan dirinya dan menarik napas panjang. Mimpi buruknya membuatnya merasa sudah melewati malam panjang yang begitu melelahkan.
Di dalam mimpinya, sang kakak mendapatkan kecelakaan. Itu membuatnya merasa sangat hancur. Sekali lagi, Joni bangun dan memeriksa sang kakak.
"Hei, kau sudah bangun?" Kakaknya menyadari kalau Joni sudah bangun.
"Iya."
"Kemarilah. Kau tak ingin melihat berita di televisi?"
"Berita?"
Kakaknya mengangguk. "Dan ini, aku membuat nasi goreng."
Joni menatap sepiring nasi goreng di depannya. "Kakak memasak? Dengan kaki itu?"
"Berhentilah berpikir bahwa kakakmu ini anak kecil yang hobi merengek. Kaki kakakmu ini, sekuat baja. Sungguh."
Joni tersenyum dan menyendok nasi goreng di depannya.
"Lihatlah. Beritanya."
Televisi yang sedang mereka tonton rupanya sedang menayangkan kabar ekslusif dari pihak pemerintah. Tak tanggung-tanggung yang memberi pernyataan adalah wali kota. Ia menyatakan bahwa apa yang sedang terjadi bukanlah virus flu yang mematikan atau berbahaya. Ia juga sudah bekerja sama penuh dengan ST Tower dan sudah menemukan obat serta vaksin demi mengatasi virus flu akut yang tengah menyebar. Semua warga boleh beraktivitas seperti biasanya.
"Tidak."
"Hmmm? Tidak? Tidak apanya?" Kakaknya tidak mengerti dengan perkataan Joni.
"Tidak bisa. Kita harus segera keluar dari kota ini."
"Keluar? Tapi katanya, kita tidak perlu khawatir, Jon. Kita bisa beraktivitas seperti biasanya, itu berarti tidak ada masalah yang serius, bukan?"
"Kenapa pemerintah sampai mengumumkan hal ini di TV nasional? Kenapa mereka sampai sepanik ini? Hanya karena flu? Tidakkah Kakak merasa itu aneh?"
"Jon, begini ...."
"Percaya padaku, Kak. Ini tidak benar. Ada yang salah di kota ini. Ada yang salah dengan kota ini. Percayalah."
Kakaknya mengangguk. "Oke Kakak percaya. Makanlah. Kakak akan buang sampah ke depan."
"Tidak. Biar aku yang buang."
Joni segera beranjak. Sebelum ia keluar, ia memakai masker terlebih dahulu. Melihat itu, kakaknya hanya bisa menghela napas.
Joni berlebihan, pikirnya.
Sementara itu, Joni yang keluar untuk membuang sampah, melihat-lihat sekitar. Suasana di sekeliling rumahnya tampak sepi. Itu bagus. Ia tak perlu repot-repot menghindari orang.
Selesai membuang sampah, ia kembali menghadapi nasi gorengnya.
"Untuk saat ini, cobalah tenangkan dirimu. Setidaknya, kita masih tak terkena penyakit apa pun," ucap sang kakak.
Joni memang sudah lebih tenang sekarang, setelah ia mengisi perutnya dengan beberapa suapan nasi goreng.
"Apa Kakak tidak curiga?"
"Curiga?"
"Ya. Mungkin pengumumannya dan juga penyakit flu ini, memang cukup bisa dicurigai, tapi, menjadi panik juga bukan hal yang benar. Kita tidak boleh panik ketika berhadapan dengan situasi apa pun."
Joni mengangguk. "Ya, maaf."
"Tidak perlu meminta maaf. Kakak mengerti. Ini mungkin karena kamu sudah melewati banyak kesulitan. Jika mau, kau boleh bercerita apa saja tentang itu."
Joni menggeleng. "Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja."
"Ya sudah. Isi perutmu sampai kenyang. Karena dengan begitu, kau tidak akan berpikir macam-macam. Berpikir negatif itu melelahkan, bukan?"
Joni mengangguk lagi. Ia tersenyum dan melahap kembali nasi goreng di depannya.
Tak beda jauh dengan apa yang terjadi dengan Aul. Ayah dan ibunya pun menonton televisi dan menonton pernyataan dari pihak pemerintah yang menyuruh semua orang tetap tenang.
"Berikan uang kepada Joni sebagai ganti masker dan obat-obatan yang dia beri," ucap sang ayah. Ibunya mengangguk. "Tentu."
Aul terdiam. Suasana agak aneh tercipta di antara mereka. "Ayah, Ibu, dengar ...."
"Tidak lagi, Aul. Tidak lagi. Kita sudah melihat apa yang dikatakan oleh pemerintah. Apa kita tidak boleh mempercayai mereka?"
"Ayah, bukan begitu. Ini tentang sesuatu yang lain."
"Apa kau pikir Ayah tidak mengerti? Ayah paham. Kau cemas dan takut, tapi berhentilah berspekulasi yang bukan-bukan. Oh iya. Jadwalmu? Menemui psikiater?"
Aul menghela napas. "Ya, nanti. Aku akan segera kembali menemuinya."
"Biar Ayah yang antar nanti."
"Tidak perlu. Ada Joni."
"Dia juga tidak benar."
"Tidak benar?" tanya Aul. Nada pertanyaannya sedikit meninggi.
"Maksud ayahmu, kalian berdua mirip. Sama saja. Jadi, mungkin ...."
"Mungkin apa?" Aul memotong perkataan ibunya.
"Mungkin, kau jangan diantar ke sana oleh Joni."
"Jadi, Ayah dan Ibu sudah tidak percaya lagi padanya?"
"Bukan begitu ...." ucap sang ayah. "Ayah hanya takut terjadi hal buruk dengan kalian. Karena pemikiran kalian yang hampir sama itu. Apalagi ketika menghadapi situasi tertentu."
Aul mencoba memahami kekhawatiran sang ayah. Bergantian ia melihat ayahnya dan ibunya, dan ia menyadari bahwa mereka mungkin hanya cemas. Tidak bermaksud buruk.
"Ya, nanti aku akan ke sana dengan Ayah."
"Bagus. Kapan jadwalnya? Masih minggu depan, kan?"
"Iya. Masih banyak waktu."
"Bagus. Sekarang, jangan pikirkan hal lain. Pemerintah sudah mengumumkan bahwa tidak ada masalah yang harus ditakuti. Semuanya aman-aman saja. Oke. Kalian mau sarapan apa? Hari ini, aku akan buat masakan spesial."
Aul tersenyum. Senyum yang agak dipaksakan. "Apa saja. Makanan buatan Ibu, semuanya enak."
Sekilas Aul melirik ke arah sang ayah. Pasti ayahnya itu akan kembali berangkat ke tempat kerja. Ah, membuatnya frustasi saja.
***
Setelah selesai sarapan dan memastikan kakaknya itu kembali bekerja di rumah, Joni kembali ke kamarnya. Bukan waktu yang tepat untuk berkuliah. Ia juga sudah saling berkirim pesan dengan Aul dan sahabatnya juga sama, tidak akan masuk kuliah.
Joni yang masih tak bisa tenang segera menghubungi Besi. Ia berharap Besi dapat memberikannya titik terang.
"Ya, halo?" tanya Besi di seberang sana.
"Aku yakin kau tahu situasi akhir-akhir ini. Betapa kacaunya."
"Benar. Aku juga sudah lihat berita di TV. Wali kota terlihat seperti orang yang tidak tahu apa pun."
"Entahlah. Tapi bukan itu yang penting. Yang penting adalah, apakah kita akan baik-baik saja di sini? Di kota ini?"
"Aku tidak tahu."
"Sialan memang. Ke mana kita pergi, rasanya tidak aman."
"Tidak akan ada yang berbeda di kota lainnya juga. ST Tower dibangun di mana-mana."
"Hei-hei, aku tidak menyinggung ST Tower sama sekali."
Terdengar suara tawa Besi yang cukup keras. "Aku yakin kau juga menduga mereka dalang di balik ini semua."
"Ya. Memang. Jadi, apa kau sudah bosan mencoba jadi orang biasa? Ini terserahmu. Aku tidak akan ke mana-mana kalau kau bilang semuanya masih cukup terkendali."
"Tidak. Tidak sama sekali. Kita harus pergi. Itu. Tidak ada pilihan lain. Yakinkan orang-orang yang kau sayangi. Keluargamu, atau siapa pun itu, untuk segera pergi dari kota ini. Mungkin kita harus memesan tiket ke kota yang dua kali jaraknya lebih jauh dari kota ini."
"Oke. Aku akan mencoba meyakinkan mereka."
"Baik. Aku akan melakukan hal yang sama."