Bergegas

1058 Words
Semuanya terkena flu, tapi tak kunjung sembuh. *** Percakapan dengan Besi sudah berakhir dan Joni kembali menghadapi tantangan yang serupa, seperti sebelumnya. Meyakinkan sang kakak. Tak lupa, mungkin juga ia harus berusaha meyakinkan Aul. Dan Aul pasti akan kesulitan juga untuk meyakinkan kedua orang tuanya untuk pergi. Permasalahan yang berputar dan itu-itu saja. Joni menatap ponselnya lama-lama. Ia lalu mencari kontak Aul dan tersambung dengan begitu cepat. "Bagaimana?" tanya Aul, langsung kepada intinya. "Aku baru selesai bicara dengan Besi." "Ah, iya. Bagus. Kalau begitu, kalian berdua sudah memikirkan solusinya? Apa yang sebenarnya terjadi? Apa Besi juga memiliki pemikiran yang sama? Apa dia pikir flu ini berbahaya?" "Semuanya, benar. Tapi soal solusinya, ini akan agak sulit. Kita berdua harus berusaha untuk solusi yang satu ini." "Serius? Sesulit apa memang? Jangan katakan kalau aku harus menahan orang tuaku lagi. Itu tidak akan mempan. Mereka sudah kadung percaya kepada pemerintah." Joni tak menjawab. "s**t! Jadi harus begitu?" "Heemh. Tidak ada pilihan lain. Bagaimanapun caranya, kau harus membuat orang tuamu yakin untuk pergi dari kota ini. Aku juga akan berusaha meyakinkan kakakku sekali lagi. Cobalah cek tiket kereta api. Kita benar-benar harus bersiap. Besi yakin kalau keadaan kota sedang tidak aman." Setelah percakapan mereka usai, Aul berdecih. Ia bahkan merasa sangat kesal. Malas sekali rasanya untuk kembali berbicara dengan kedua orang tuanya. Apalagi meyakinkan mereka, itu adalah tantangan yang paling sulit. Sungguh. Tapi, tidak ada cara lain. Ia tetap harus melakukannya. Besi saja sudah yakin kalau ada yang tidak beres di kota ini. Jadi, apa boleh buat. Dengan malas, Aul kembali ke ruang tengah. Ayahnya sedang bersiap untuk pergi ke tempat kerja. Lalu ibunya, sepertinya masih berkutat dengan cucian dan segala macamnya. Aul duduk di sofa dan memperhatikan semua itu. Apa yang harus ia lakukan? Pingsan lagi? Rasa-rasanya kalau pun itu berhasil, ayahnya pasti akan tetap pergi ke tempat kerja. Karena ia tahu bahwa itu bukanlah sesuatu yang parah. Aul rasanya ingin berteriak saja. Ia benar-benar buntu. Tidak ada ide untuk menghalangi sang ayah pergi. "Ayah ...." "Ya?" jawab ayahnya dengan cepat. "Apa sebaiknya Ayah istirahat saja hari ini?" tanya Aul. Sungguh ia tak punya pertanyaan yang lebih bagus daripada itu. "Ayah sudah istirahat kemarin. Karena kau pingsan. Jadi, mana bisa Ayah libur lagi. Kita juga perlu makan, bukan? Nanti Ayah bawakan buku kesukaanmu." "Buku? Aku sudah jarang baca buku." "Ya, maka dari itu, Ayah akan bawakan semua buku yang kamu suka. Supaya, kamu mau membaca buku lagi. Percayalah, stres yang kamu rasakan, bisa saja dapat perlahan menghilang setelah kembali memiliki kebiasaan membaca buku." "Ya, oke. Tapi, ehm begini ...." Ayahnya sudah hampir membuka pintu. "Ayah! Sebentar!" Teriakan Aul tentu membuat sang ayah berhenti. "Ada apa?" "Begini ...." Tepat ketika itu, telepon ayahnya berbunyi. "Ya, halo?" Sang ayah menerima telepon sambil memberi isyarat dengan tangannya, kepada Aul agar anaknya itu diam dulu. Ayah Aul seperti berbicara serius dengan seseorang di telepon. Sesekali ia mengangguk dan mengiyakan. Entah apa yang mereka bicarakan. Sesaat setelah ayahnya selesai bertelepon, ayahnya itu melihat ke arah Aul. "Ayah tidak akan berangkat kerja hari ini." Aul terdiam sesaat, lalu menyadari betapa bagusnya kenyataan itu. "Bagus." "Apanya yang bagus? Ayah harus diam seharian?" tanya ayahnya terdengar sedikit kesal. Ibunya yang mungkin sadar kalau suaminya itu belum berangkat, akhirnya melongok juga dari dapur. "Apa apa? Kenapa Ayah belum berangkat?" "Ayah disuruh libur." Aul juga menyimak, ingin tahu kenapa sang ayah disuruh libur. "Sepertinya virus flu memang sedang cukup tinggi di kota." Aul mengangguk-angguk dan tersenyum. Sepertinya, ada titik terang baginya. "Jadi, Ayah tidak akan berangkat, karena virus flu semakin merebak?" tanya Aul. Ayahnya mengangguk. "Ya, betul." "Oke." Aul beranjak dan pergi ke kamar. Ia hendak menelepon Joni. *** "Iya? Bagaimana?" tanya Joni. Joni sudah selesai dengan sang kakak. Karena kenyataan di internet yang mulai menampilkan banyak keresahan para warga soal virus flu yang semakin lama semakin meresahkan. "Ayahku tidak jadi pergi ke tempat kerja." "Kenapa?" "Dia disuruh diam di rumah." "Serius?" "Ya. Itulah yang terjadi. Bosnya bilang, virus yang tengah menyebar sudah menjangkit banyak orang." "Benar. Coba kau lihat di media sosial. Ada banyak postingan yang mengulas soal virus flu yang sedang terjadi di kota kita ini." "Benarkah?" "Ya. Coba saja nanti cek. Tapi, sebelum itu, kita harus menyusun rencana, seperti yang sudah Besi sarankan." "Oke. Ini tantangan lagi." "Ya. Tapi cobalah meyakinkan orang tuamu dengan memperlihatkan kekacauan yang terjadi, lewat tayangan di media sosial. Agar kita semua bisa segera pergi. Aku dan kakakku sedang bersiap-siap. Cari juga tiket." Aul terdiam mendengarnya. "Lalu? Memangnya, kita akan pergi ke mana?" "Ke kota yang dua kali lipat lebih jauh. Intinya, jangan kota yang dekat dengan kota ini. Aku akan beritahu kota mana tepatnya setelah aku dan kakakku selesai bersiap. Ah, iya. Gunakan saja uang di dalam koper." "A-apa?" "Uang." "Tidak." "Kalau memang kau sudah tidak punya cadangan, gunakan saja." "Entahlah. Aku akan simpan saja. Orang tuaku masih mampu untuk beli tiket. Aku juga tahu kalau ibuku punya tabungan." "Oke, bagus kalau begitu. Dengar, kita juga harus memikirkan kemungkinan terburuk. Bisa saja, kita tidak akan kembali ke kota ini." Aul mengela napas. Pusing rasanya. Ia harus kembali berhadapan dengan orang tuanya. "Jon, kau tidak tahu, ya. Betapa sulitnya orang tuaku mempercayai apa yang kukatakan. Mereka masih berpikir jiwaku terganggu." "Hmmm. Ya, pasti begitu. Tapi cobalah menghasut mereka." "Menghasut? Terdengar jahat." "Tidak ada cara lain. Lakukan saja. Nanti aku dan kakakku akan segera ke rumahmu. Semoga saat itu tiba, kau dan orang tuamu sudah siap." "Oke. Akan kucoba." Setelah sambungan telepon berakhir, Aul berkutat dengan berbagai aplikasi media sosial ya. Dan benar saja, ia menemukan beberapa postingan yang mengabarkan kepanikan warga. Virus flu yang sedang merebak, sepertinya sudah diyakini tidak sebiasa yang pemerintah katakan sebelumnya. Aul beranjak dan .... "Ada apa?" Aul heran. Ibunya sedang berkemas. "Bersiaplah," kata ibunya. Tunggu. "Bersiap?" "Kita harus pergi." Ayahnya juga terlihat mondar-mandir. "Kita harus pergi dari kota?" tanya Aul lagi, memastikan. Ibunya menjawab dengan anggukan. Aul terdiam. Jadi, ia tak perlu repot-repot? "Ayahmu disuruh oleh bosnya untuk segera pergi dari kota. Bukan hanya kita, ada banyak orang yang juga akan pergi dari kota. Virus ini mungkin tidak berbahaya, tapi, teman ibu yang bekerja di rumah sakit, katanya kewalahan, karena banyak pasien dengan gejala serupa. Semuanya terkena flu, tapi tak kunjung sembuh. Ya ampun. Aul segera bergegas membereskan barang-barangnya. "Cepat, pasti akan ada lebih banyak orang yang hendak pergi dari kota. Dan itu akan menyulitkan kita," ucap sang ayah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD