Nanti kita bertemu lagi.
***
Joni dan kakaknya sudah bersiap. Mereka datang ke rumah Aul untuk berangkat bersama-sama. Tiket dan barang-barang juga sudah tersedia. Aul dan Joni membelinya secara online.
Di tempat lain, Besi juga sudah siap, tapi ia tidak bisa pergi begitu saja. Ia ingat Vanes, putrinya. Beberapa kali menelepon nomor Rai, Rai tak kunjung mengangkatnya. Besi menyuruh agar Aul dan Joni pergi lebih dulu ke stasiun. Ia masih belum bisa menyusul kalau belum memastikan putrinya aman.
Karena Rai tak juga mengangkat telepon, Besi bergegas untuk pergi ke rumah mereka. Ia memesan kendaraan online dan tanpa ba-bi-bu langsung berangkat ke sana.
Di dalam perjalanan, Besi masih terus mencoba menghubungi Rai. Akan lebih baik kalau Rai tahu secepat mungkin. Atau, mungkinkah ia sudah mengetahui ada yang tidak beres?
Besi berharap demikian. Lagi pula, mustahil rasanya jika seseorang yang bekerja di ST Tower tidak mengetahui soal kekacauan ini. Besi juga ingin mengetahui pandangan Rai soal apa yang tengah terjadi. Agar ia bisa lebih baik menghadapinya.
"Halo?" jawab seseorang dari seberang. Itu Rai. Akhirnya telepon Besi tersambung.
"Ya, halo. Maaf aku baru bisa mengangkat teleponmu."
"Rai, aku ingin menanyakan sesuatu yang penting. Kau tahu, kota sedang kacau, bukan?"
Terdengar seperti Rai menghela napas berat. "Ya, aku tahu. Kota memang sedang kacau. Dan aku juga tahu soal kisruh yang saat ini ada di masyarakat. Aku juga tahu kalau ... tetap tenang di saat seperti ini adalah sesuatu yang mustahil."
Besi mengangguk-angguk. "Oke. Jadi, bagaimana Vanes? Itu yang ingin kuketahui."
"Dia akan pergi. Dia dan Karina akan segera pergi."
"Bagus kalah begitu. Tadinya aku hendak ke sana, untuk mengecek kalian. Aku belum bisa tenang kalau belum mendengar kabar soal Vanes."
"Dia dan Karin sejauh ini, baik-baik saja. Aku akan mengantar mereka."
"Ya."
"Kau akan datang?"
"Boleh? Aku juga ingin melihat Vanes pergi."
"Kau tidak akan pergi?"
"Aku akan naik kereta. Mereka akan ke kota lain dengan apa?"
"Pesawat."
"Bagus."
"Ke sini saja."
"Aku sudah di depan rumahmu."
Ya, Besi sudah sampai, tapi ia tidak berniat turun.
"Kau akan mampir?"
"Tidak. Masuklah ke mobil. Aku akan mengikuti kalian dari belakang."
Terlihat dari luar kaca mobil, Vanes, Karina, dan Rai masuk ke dalam mobil berwarna silver. Sepertinya Rai yang mengemudi.
Melihat Vanes yang sudah beranjak remaja, hati Besi bergetar. Ia sangat merindukan putrinya itu. Ia ingin ke sana dan mungkin memeluknya, tapi ia bahkan tidak tahu harus berkata apa nanti. Ia terlalu takut. Ia takut Vanes membencinya.
Besi hanya melihat dari kaca jendela mobil.
"Apa tidak mau keluar? Bukan di sini tujuannya?" tanya si supir dengan resah.
"Bukan. Ikuti saja mobil di depan."
"Emh, baik. Tapi, ini bukan kegiatan ilegal, kan?"
"Bukan. Ikuti saja."
"Ah, baik," ucap si supir agak ragu.
Setelah beberapa saat, mobil silver di depan mereka melaju. Mobil yang ditumpangi Besi pun mengikuti dari belakang. Sesekali, Besi melihat ponselnya. Siapa tahu Joni menelepon.
"Emh, istri saya menelepon, sepertinya ia panik dengan keadaan kota. Saya tidak bisa mengantar Anda lebih lama."
Besi menghela napas. "Antar saja sampai bandara. Setelah itu,
"Ah, baik."
Sambil melihat suasana di tengah kota, lewat kaca jendela mobil, Besi mulai memikirkan bagaimana perasaan orang-orang di seluruh kota saat ini. Mungkin sebagian dari mereka ada yang memilih untuk tetap tinggal dan mempercayai pihak pemerintah kota. Dan sebagain lainnya, mungkin tengah panik dan bersiap-siap untuk segera berangkat, pergi ke kota lain.
Akhirnya mereka sampai. Besi menyuruh supir untuk memberi jarak. Ia ingin bertemu dengan putrinya lebih dulu, tapi ia juga ingin menyiapkan beberapa kalimat agar nantinya sang putri bisa langsung menerimanya.
Setelah turun dari mobil, berkali-kali Besi menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan, berusaha untuk tetap tenang.
Di bandara, sudah ada banyak orang yang hendak melakukan penerbangan. Rai melambaikan tangannya kepada Besi. Besi melangkah. Ia bisa melihat, Karina dan Vanes memandang ke arahnya.
Besi berjalan perlahan. Ia mendekat dan terlihatlah senyuman Vanes yang manis. Di situ, Besi hanya bisa diam.
"Ehem. Mereka akan segera berangkat. Kau dan Vanes mau bicara?"
Besi mengangguk. "Ah, iya. Bolehkah? Sebentar saja?"
Karina mengangguk.
Besi menuntun Vanes ke sudut lain di bandara. Tidak terlalu jauh dari Rai dan Karina.
"Ehm, maaf."
"Tidak apa-apa, Ayah."
"Ah, apa?" Besi terkejut.
Vanes tertawa. "Santai saja, Yah. Aku yang harusnya meminta maaf."
Besi pun menyadari ia sudah memiliki ketakutan berlebihan sebelum ini. Nyatanya, Vanes menunjukkan sikap yang sangat berbeda. Ia sebenarnya tidak tahu harus merasa senang atau bagaimana.
"Tidak, aku yang ... ah, maksudku, Ayah yang harus meminta maaf."
"Vanes juga. Maaf, ya. Ibu sering menceritakan Ayah. Tapi, karena aku lupa, jadi, aku tidak bisa mengenalimu dengan baik. Ayahku bilang, ah, maaf. Ayahku yang satunya lagi bilang, kalian sempat berbicara beberapa waktu lalu. Ayah mau menemuiku, bukan?"
Besi mengangguk. Menyadari betapa Vanes sudah tumbuh dengan baik, menyadari betapa lembut dan ceria putrinya itu, ia jadi merasa kagum. Karina sudah mendidiknya dengan sangat luar biasa. Besi tak melihat setitik pun kebencian di mata Vanes. Tidak sama sekali. Putrinya itu menyambutnya dengan sangat baik.
Besi menatap Vanes yang masih tersenyum.
"Boleh aku, emh maksudku, boleh Ayah memelukmu?"
"Ya, boleh saja."
Lalu, keduanya berpelukan. Besi sedikit canggung dan merasa aneh, tapi Vanes menepuk-nepuk punggungnya dan itu membuat Besi ingin menangis. Besi segera melepaskan pelukan.
"Kau dan ibumu harus berangkat. Berhati-hatilah."
Vanes mengangguk. "Oke. Ayah juga. Hati-hati, ya. Nanti kita bertemu lagi."
Besi mengangguk. "Ya, kita harus bertemu lagi."
Karina dan Vanes bersiap untuk keberangkatan mereka. Sementara itu, Besi dan Rai terdiam di sudut lain.
"Kau tidak ikut?" tanya Besi. Rai menggeleng.
"Kenapa?"
"Sebenarnya ... aku bahkan tidak boleh membuat Karina dan Vanes pergi. Aku sudah melanggar. Aku sedang berusaha agar apa yang kulakukan tidak ketahuan dan aku harus segera kembali ke ST Tower."
Besi terdiam. Ya, benar. Tidak seharusnya Rai pergi, karena pastinya semua yang berhubungan dengan ST Tower, itu juga berhubungan dengan pemerintah.
"Dan kau? Kenapa tidak pergi?" tanya Rai. "Mau aku pesankan tiket?"
Besi menggeleng. "Sudah kubilang, aku akan pergi dengan kereta. Dan aku akan berangkat dengan teman yang lain."
"Baik. Bagus kalau begitu."
"Tapi, aku ada masalah."
"Masalah?"
Besi mengangguk.
"Aku butuh tumpangan. Apa aku boleh menumpang? Tidak apa-apa, sampai ST Tower saja. Nanti aku akan cari cara lain untuk pulang ke rumah."
Rai tertawa. "Santai saja. Aku akan antar ke rumahmu."
"Tidak perlu. Sampai ST Tower saja."
"Tidak. Aku akan antar sampai ke rumahmu. Santai saja."
Besi pun memilih tak menanggapi lagi dan masuk ke dalam mobil milik Rai.