"Jadi, ada apa dengan kota ini?" tanya Besi kepada Rai. Mereka sedang dalam perjalanan menuju rumah Besi.
"Seperti yang kau lihat. Keadaan kota tidaklah baik. Ada virus yang menyebar cepat dan tentu mengganggu aktivitas." Rai mengeluarkan masker. Ia sampai lupa memakainya.
"Ini. Pakai."
"Ah, terima kasih. Aku tidak ingat."
"Aku juga melupakan itu. Kau akan pergi setelah ini? Naik kereta?"
Besi mengangguk. "Ya."
"Baik. Kau akan pergi dengan teman-temanmu?"
"Iya. Kenapa? Apa kau mau bergabung dengan kami?"
Rai menggeleng. Matanya masih fokus ke jalanan. "Tidak bisa. Aku harus kembali ke ST Tower. Mereka pasti akan curiga. Entahlah. Bisa saja mereka sudah tahu kalau aku sudah mengirim Karina dan Vanes ke luar kota."
"Apa itu akan jadi masalah?"
"Tentu. Pihak ST Tower sudah mewanti-wanti agar semua pegawainya menurut, kita tidak boleh meninggalkan kota, sebab ST Tower akan ikut bertanggung jawab untuk apa yang sedang terjadi."
"Kalau mereka tahu kau membuat Karina dan Vanes bisa pergi, apa yang akan terjadi?"
"Entahlah. Pemotongan gaji, atau yang lebih buruk pemecatan. Itu saja."
"Kau tidak akan mati?" tanya Besi.
Rai menggeleng. "Apa maksudmu? Kita tidak mungkin dibunuh hanya karena melarikan seseorang."
"Begitu, ya."
"Iya."
Besi terdiam dan berpikir. Apa mungkin, Rai sama sekali tidak mengetahui apa pun tentang ilmuwan yang hilang, serta anak ilmuwan yang mati dengan penuh keganjilan? Atau, Rai pura-pura tidak tahu saja?
"Ehm, bagaimana menurutmu tentang kasus yang akhir-akhir ini terjadi?" tanya Besi. Ia mulai berusaha membuat Rai memperlihatkan dirinya yang sebenarnya.
"Tentang kasus flu yang tak biasa ini?"
"Emh, bukan."
"Lalu, apa? Yang mana?"
"Tentang ilmuwan yang hilang dan anaknya yang mati mengenaskan. Itu berkaitan dengan ST Tower bukan?"
"Ah, kasus Profesor Kendra rupanya."
"Oh, Kendra namanya, ya. Ya, itu."
"ST Tower sudah tidak lagi berkaitan dengan Profesor itu. Profesor Kendra sudah mundur dari project ST Tower. Beberapa waktu sebelum menghilang, dia sudah keluar dari ST Tower. Dan soal anaknya, polisi juga sudah menjelaskan kebenarannya. Anak itu depresi."
Pernyataan itu terdengar seperti pernyataan yang penuh keraguan. Besi ingin tertawa ketika mendengar pernyataan Rai.
"Begitu, ya. Aku yakin, kau tahu sesuatu, Rai."
Rai tak menjawab apa-apa.
"Tapi jika kau merasa lebih aman untuk tidak buka mulut, maka itu akan lebih baik. Kau ayah putriku sekarang dan kuakui, walaupun berbicara sebentar dengannya, tapi aku bisa melihat kau dan Karina sudah membesarkannya dengan baik. Kupikir, dia akan membenciku."
"Tidak ada alasan baginya untuk membencimu."
"Kau tahu kasusku?"
"Tahu."
Besi tersenyum. "Jadi, apa Vanes juga tahu?"
"Entah. Sepertinya, ibunya menjelaskannya dengan baik. Dia pernah bertanya tentangmu kepadaku. Tapi karena aku tidak bisa menjawab, aku bilang kalau kau pasti orang baik. Dan itu cukup membuatnya tak bertanya lagi."
"Ya, terima kasih."
"Tidak perlu. Ini rumahmu?"
"Ya. Terima kasih, ya. Kau akan ke ST Tower lagi?"
Rai mengangguk. "Ya. Aku akan ke sana lagi. Aku harus ke sana."
"Oke. Semoga tidak ada apa-apa."
"Ya, kuharap juga begitu. Terima kasih karena sudah ikut mengantar Karina dan Vanes."
Besi pun keluar dari mobil. Ia masuk tanpa menunggu mobil Rai melaju.
Setelahnya, Besi bersiap-siap. Ia mengemas semua barang-barangnya, lalu akan segera menghubungi Joni.
***
"Ah, kau akan menyusul saja?" tanya Joni. Ia baru saja mendapat telepon dari Besi.
"Iya. Aku akan menyusul. Agak sulit menemukan tumpangan, tapi aku melihat masih ada di sekitar sini yang mungkin sudi mengantarku untuk sampai ke stasiun. Memang agak mahal, tapi tidak apa-apa. Oh iya. Kau bawa uangmu?"
"Ya, aku bawa sebagian. Tapi Aul tidak mau membawanya sama sekali."
"Ya ampun. Oke, tidak masalah. Kita harus segera berangkat. Jangan buang-buang waktu. Kalian pergi sekarang juga."
"Oke. Aku akan menunggu dengan yang lainnya di sana. Pastikan kau segera datang, ya!"
Telepon berakhir.
Keluarga Aul dan Joni, serta kakaknya Joni sudah bersiap. Mereka ke sana dengan mobil milik ayah Aul dan akan dititipkan nanti ke salah satu rumah rekan ayahnya Aul yang juga akan berangkat ke luar kota.
"Jadi, bagaimana dengan Besi?" tanya Aul ketika mereka hampir sampai di stasiun.
"Dia akan menyusul," jawab Joni.
"Oke. Kita hampir sampai," ucap Aul.
Mobil yang mereka tumpangi berhenti di sebuah rumah. Ternyata rumah itu benar-benar dekat dengan stasiun. Mereka hanya perlu berjalan kaki sebentar demi sampai ke stasiun yang dituju.
Tapi, belum ada tanda-tanda kehadiran Besi.
Sesampainya di stasiun, Joni dan kakaknya, serta Aul dan keluarganya sedikit terkejut. Ada banyak sekali orang yang sedang berada di stasiun. Mereka semua rupanya juga ingin segera pergi dari kota.
"Ayah tidak menduga akan sebanyak ini," gumam ayahnya Aul. Joni yang memapah sang kakak, mencoba mencari tempat duduk yang kosong.
"Sebelah situ," ucap Joni. Mereka semua pun segera ke tempat yang ditunjuk Joni.
"Setengah jam lagi, kereta kita akan segera tiba. Untung saja, kita cepat memesan tiket. Jadi kita masih ada kesempatan untuk pergi," ucap ayahnya Aul lagi.
Setelah beberapa saat, Joni sedikit gelisah. Besi tak kunjung datang. Karena itulah, ia memutuskan untuk menelepon Besi.
"Kau di mana?" tanya Aul sesaat setelah teleponnya tersambung.
"Sebentar lagi sampai. Bagaimana keadaan di stasiun?"
"Entahlah. Aku tidak bisa menyimpulkan ini baik atau buruk. Mungkin setengah baik dan setengah buruk. Baiknya, mungkin kebanyakan orang tahu kalau ada wabah yang tak biasa di kota dan mereka memutuskan untuk pergi. Buruknya, penumpang membludak."
"Ya, ini cepat atau lambat pasti akan terjadi. Jangan sampai kau dan yang lainnya melepas masker."
"Tenang saja. Aku selalu memerhatikan soal itu. Cepatlah. Sebentar lagi kereta kita akan tiba."
"Ya, aku sudah akan sampai."
"Oke."
Joni melirik ke arah Aul.
"Bagaimana?" tanya Aul setelah mendekat.
"Dia akan segera sampai."
"Baguslah. Beberapa menit lagi."
"Iya."
Tak lama setelah mereka berbincang, beberapa petugas polisi terlihat datang.
"Ada apa itu?" tanya Aul penasaran.
"Entahlah. Mungkin mau mengamankan semua orang yang ada di sini?"
"Karena terlalu banyak orang?" tanya Aul lagi.
Joni mengangguk.
Setelahnya, ada pengumuman dari pihak stasiun.
"MOHON MAAF, SEMUANYA, PARA PENUMPANG YANG HENDAK BERANGKAT, INI MERUPAKAN PERINTAH LANGSUNG DARI WALIKOTA. PARA CALON PENUMANG SEMUANYA, DIHARAPKAN KEMBALI KE RUMAH MASING-MASING. INI DEMI KEAMANAN. SEMUANYA, SILAKAN KEMBALI KE RUMAH MASING-MASING."
Mendengar pengumuman itu, hampir semua calon penumpang yang sedang berada di stasiun bersorak. Beberapa bahkan ada yang berteriak, mencaci maki petugas stasiun.
Tepat saat itu juga, Besi datang.
"Kenapa?" tanya Besi ketika melihat raut wajah Aul dan Joni.
"Kita tidak bisa ke mana-mana sekarang," jawab Joni.
"Sial!"