Demi Seseorang yang Kau Cintai

1037 Words
Dia sepertinya hidup dengan baik. Dan aku jadi semakin benci dengan kota ini, dengan dunia ini. *** Para petugas kepolisian itu menyuruh semua calon penumpang untuk kembali ke rumah masing-masing. Para petugas itu mengenakan masker khusus dan juga membawa senjata. Mereka sangat bersiaga, seolah siapa pun yang melawan perintah, maka nyawa taruhannya. Besi yang baru datang cukup terkejut melihat suasana menegangkan di stasiun. Suara riuh yang semula terdengar, langsung saja senyap. Tingkah para petugas itu telah menciptakan ketakutan di hati setiap orang. "SEMUANYA! BERBARIS DAN PULANG! SEMUA JALAN YANG MENGARAH KE STASIUN AKAN DIBLOKADE. SEMUA YANG MELAWAN, TIDAK AKAN DIBERIKAN TOLERANSI. CEPAT!" Suara salah satu petugas nyaring terdengar. Semuanya pun tak punya pilihan lain, selain menurut. Aul, Besi, dan Joni pun kembali pulang. Sementara Ayah Joni pergi sebentar untuk membawa mobil yang sempat dititipkan dan ibu Aul serta kakaknya Joni pergi ke toilet, Besi, Aul, dan Joni menjaga barang bawaan. Untuk beberapa saat, tak ada suara apa-apa di antara mereka. Sepertinya, tidak ada satu pun dari mereka yang berselera untuk mendiskusikan apa yang terjadi. Namun, itu tak lama. Besi memulai sebuah percakapan juga akhirnya. "Kalian tahu, sepertinya, sebaiknya aku membeli mobil dari uang itu. Sulit sekali pergi ke mana-mana tanpa kendaraan." Joni mendengus kesal. "Terserah sajalah. Aku tidak peduli. Itu uangmu dan kau juga setuju untuk menerimanya. Lagi pula, kita tidak tahu apakah kita akan tetap hidup selama beberapa hari ke depan, atau justru akan segera menemui kematian." Aul tertawa. "Benar juga. Maka sebelum mati, kita harus pergunakan uang itu?" Besi mengangguk untuk pertanyaan Aul. "Ya sudah. Kau belikan saja mobil atau apa pun. Melihat keadaan di sini, sepertinya kita sudah tak memiliki harapan yang besar untuk dapat melarikan diri. Kita terjebak. Bedanya, sekarang hampir seluruh penduduk kota ikut terjebak dengan kita," ucap Aul lagi. "Apa itu terdengar buruk?" Besi bertanya seolah ia tidak tahu apa pun. "Itu dia. Entahlah. Aku merasa ini tidak seburuk dengan apa yang kita alami sebelumnya. Bukankah sebelumnya kita hanya berlima? Kita juga terjebak di sebuah tempat yang lebih menakutkan. Virus yang kita hadapi juga bukan virus flu. Tapi virus yang membuat manusia jadi aneh dan mengerikan," jelas Aul lagi. "Sudah, hentikan. Apa pun yang terjadi di masa lalu, atau yang terjadi nanti, nyatanya saat ini kita masih hidup. Iya, kan?" Joni sepertinya berubah pikiran. Giliran Besi yang tertawa. "Kau berubah pikiran, Jon? Bukannya kau yang paling berkata soal kematian tadi?" "Ah! Aku ingin berteriak saja rasanya!" Teriakan Joni membuat beberapa mata menoleh kepada mereka bertiga. "Diamlah. Jangan bertingkah. Polisi mungkin akan tertarik pada kita," ucap Besi. "Aku hanya merasa stres saja," jawab Joni. "Kita semua memang akan hampir gila. Setelah semua yang terjadi, tetap waras bagi kita semua adalah keajaiban, bukan? Jadi, mari tetap seperti ini." Aul dan Joni tak lagi menanggapi. Mobil ayahnya Aul sudah datang. Ibu dan kakaknya Joni juga selesai dari toilet. Besi yang melihat mobil ayahnya Aul, hanya tersenyum. Ia tidak akan bisa ikut menumpang. Jadilah ia berpamitan kepada semuanya dan memutuskan untuk mencari kendaraan lain. "Kau yakin? Mungkin tidak ada angkutan umum yang beroperasi," ucap Joni. "Entahlah. Aku bisa jalan kaki." "Belilah mobil." "Ya, sudah kukatakan bukan? Aku akan segera membelinya." Setelah mereka semua berangkat untuk kembali ke rumah, Besi masih berada di staisun. Ia membetulkan posisi masker yang dikenakannya dan mulai mencari-cari agen penjualan mobil yang masih buka. Kota ini, belum sepenuhnya kacau, pikir Besi. Ia masih melihat satu atau dua orang yang berjualan atau bahkan berkendara, bukan untuk pergi dari kota, tapi untuk sekadar ke supermarket atau membeli kebutuhan lainnya. Ia menelepon salah satu agen penjualan mobil yang sepertinya sangat bersemangat sekali ketika mendapat telepon dari Besi. Setelahnya, tak butuh waktu lama. Besi menyuruh agen tersebut untuk ke rumahnya. Lalu, Besi sendiri pulang dengan kendaraan online. Di tengah perjalanan, sempat sedikit ada pembicaraan mengenai keadaan kota dari si supir, tapi sebenarnya Besi tak terlalu ingin berbincang. Ia hanya menanggapi sesekali apa yang dikatakan oleh sang supir. "Sepertinya, akan lebih baik kalau kota ini memang berakhir," ucap si supir. Besi tak mau bicara, sungguh. Ia hanya ingin segera sampai rumah dan menerima kunci mobilnya. Mungkin setelah itu, ia baru akan bisa berpikir tentang rencana apa yang harus ia susun selanjutnya. "Sebentar lagi, mungkin kota ini akan sama saja dengan Jakarta. Meskipun tidak ada Jakarta Underground." Besi terkejut mendengar itu. Meskipun Jakarta Underground mungkin saja memang diketahui sebagian orang, tapi seorang supir? "Memangnya, kenapa? Apa apa dengan penjara bawah tanah itu?" "Ah, haha. Rupanya kau tahu juga, ya." Besi mulai bersikap waspada. Ia perhatikan penampilan si supir, tapi tak ada yang aneh sepertinya. "Ya, aku tahu soal itu. Ada banyak orang yang tahu juga. Jakarta Underground bukan sesuatu yang asing bagi seseorang." "Begitu, ya." "Emh, kenapa kau sangat sedikit harapan untuk kota ini?" tanya Besi. Ia mulai tertarik berbincang dengan si supir. "Karena memang begitulah seharusnya." "Begitu? Seharusnya? Kau tidak takut?" Si supir menggeleng. Supir itu masih muda, tapi kenapa ia seperti tak memiliki banyak harapan bagi kehidupan di kota atau bahkan mungkin kehidupannya sendiri. "Apa ada sesuatu yang menyebalkan di kota ini?" tanya Besi lagi, setelah sebelumnya pertanyaannya itu hanya dijawab oleh gelengan kepala saja. "Tentu. Di dunia ini, ada beberapa hal yang sangat menyebalkan dan aku benar-benar tidak menyukainya." "Apa itu?" "Orang-orang yang berkuasa." Besi tersenyum. Merasa miris. Mungkin saja, ada banyak orang seperti dirinya, seperti Aul, seperti Joni, seperti korban di Jakarta Underground yang membenci pihak-pihak berkuasa yang melakukan segala sesuatu seenaknya. Tanpa memikirkan dampak apa yang akan dihadapi oleh masyarakat. Mereka yang berdiri, berjalan, dengan gagah dan terlihat berwibawa. Menyembunyikan segala kebusukan lewat kata-kata manis dan wajah yang penuh kepalsuan. Jika saja semua orang di kota adalah orang yang seperti itu, tentu saja Besi setuju jika kota ini harus hancur juga. Menghancurkan orang-orang berkuasa. Tapi, Besi ingin hidup. Demi Vanes. "Setuju. Aku juga membencinya," pungkas Besi. Mobil berhenti. Percakapan mereka juga berakhir. Besi segera masuk ke dalam rumah. Ia mempersiapkan uang yang hendak dibayarkan untuk mobilnya yang mungkin akan segera sampai. *** Si supir tadi, terdiam sesaat. Ia tak langsung melajukan mobilnya. Ia mengingat semua percakapan dengan Besi tadi. Lalu, pandangannya tertuju pada sebuah foto. Dua orang. Salah satunya adalah Besi. "Aku bertemu temanmu, Bang. Dia sepertinya hidup dengan baik. Dan aku jadi semakin benci dengan kota ini, dengan dunia ini. Sungguh."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD