Babak Baru

1079 Words
Siapa pun yang melanggar kode etik, jika ketahuan, ya, pasti dapat hukuman. *** Sepulangnya dari stasiun, Joni dan kakaknya kembali ke rumah. Aul dan keluarganya juga sama. Mereka dengan wajah lelah kembali ke tempat masing-masing. Ayahnya Aul menyuruh Aul untuk beristirahat, sementara itu, ia menyalakan TV. Mereka disambut dengan sebuah berita dari wali kota. Aul yang mendengar itu, tak jadi masuk ke dalam kamar. Ia, ibunya, dan ayahnya pun menyimak berita yang sedang ditayangkan di depan televisi. Berita tersebut menayangkan tentang wali kota yang mengumumkan agar masyarakat tidak panik dan tidak pergi ke mana-mana, sebab jika semuanya panik dan bersikeras untuk pergi dari kota, maka mungkin ada banyak kecelakaan yang terjadi atau bisa saja kriminalitas nantinya akan menyebar di seluruh kota, karena banyak rumah yang ditinggalkan. Setelah itu, wali kota juga mengumumkan tentang rencana kerja sama yang akan secepatnya dilakukan. Kerja sama itu akan dilakukan dengan pihak ST Tower yang katanya dengan cepat sudah mengetahui dan membuat vaksin untuk pencegahan virus flu berat yang tengah melanda kota. Pihak ST Tower juga sudah membuat sebuah obat yang diperuntukkan kepada para warga yang sudah terserang virus tersebut. Besok, obat itu sudah akan dibagikan dan vaksin akan dilakukan merata. Juru bicara wali kota juga menambahkan bahwa, baik itu vaksin atau obat sudah teruji keberhasilan dan kelayakannya, jadi tidak perlu khawatir. Ia juga mengatakan bahwa virus flu berat yang sedang terjadi itu memang mirip dengan yang terjadi di salah satu negara lain. Maka dari itulah pihak ST Tower dapat dengan cepat dan mudah menciptakan vaksin serta obatnya. Karena mereka sudah menerima sampel virus jauh-jauh hari. Aul tak menanggapi berita itu. Ia juga tak punya keinginan untuk menonton lebih lanjut, sehingga ia pun beranjak pergi ke kamar dan merebahkan diri. Melelahkan sekali hari ini, pikirnya. Setidaknya, ia bisa tidur. Ya, tidur dengan baik, mungkin. Ketika lelah dan sudah banyak beraktivitas, akan mudah baginya untuk mendapatkan tidur nyenyak. Dibandingkan jika ia tak melakukan apa-apa. Ia akan kesulitan untuk tidur tanpa bermimpi buruk. *** Kakaknya dan Joni juga menonton hal yang sama. "Aih, ini menyebalkan! ucap sang kakak. Joni menatap kakak satu-satunya itu. "Kenapa menyebalkan?" "Kakiku. Kakak sudah mengeluarkan banyak energi dan tenaga untuk hari ini, tetapi rupanya kita tidak benar-benar bisa pergi dari kota. Menyebalkan." "Ya, aku juga sebal." "Dan lilhatlah di televisi. Apa semua ini hanya sebuah trik?" "Trik?" "Ya, trik. Lebih tepatnya strategi." "Strategi untuk apa?" "Untuk apa lagi? Untuk membuat ST Tower semakin dikenal dan semakin terdepan. Bukannya nantinya akan banyak orang yang berinvestasi di sana? Vaksin dan obat itu pasti dibeli kan? Pemerintah yang membelinya? Uang pajak kita juga sebagian dipakai untuk itu, mungkin." Joni mengangguk-angguk. Apa yang kakaknya pikirkan, mungkin ada benarnya. Tapi, yang Joni takutkan sebenarnya, jauh lebih dari itu. "Ya, sudah. Kau istirahatlah. Sepertinya, kita akan menghadapi hal yang lebih berat besok." "Lebih berat?" "Ya, kau tidak menonton? Vaksinasi?" "Ah, oke. Lalu, apa Kakak tidak akan tidur?" "Kakak harus membereskan barang-barang. Memangnya kita mau tinggal dengan barang-barang yang ada di dalam tas?" "Besok juga masih bisa, kan?" "Ya, memang. Tapi Kakak tidak akan tahan. Kakak harus membereskannya sebelum pergi tidur. Kakak tidak bisa tidur dengan kenyataan kalau ada yang belum dibereskan." "Ah, oke. Biar aku bantu." "Tidak perlu." "Sungguh. Aku ingin." Kakaknya menatap Joni, lalu tersenyum? "Kenapa? Kakak terlihat mengerikan jika tersenyum seperti itu." "Hei! Kakak hanya terharu." "Terharu?" "Ya. Sepulangnya dari Jakarta, setelah kau melalui hal yang mungkin tidak menyenangkan di sana, terjebak berhari-hari, kau kembali dengan kedewasaan yang bertambah." "Ya ampun. Kukira kenapa." "Ayah dan Ibu pasti bangga. Ah, baiklah! Ayo kita beres-beres lalu pergi tidur. Besok kita harus siap untuk diberi vaksin." Joni tersenyum. Dengan semua ketakutan yang ada, yang ia rasakan saat ini, semuanya tidak terlalu menakutkan karena ada kakaknya. Keesokan harinya, dari luar rumah sudah terdengar mobil-mobil petugas yang berseliweran. Kakak Joni bilang itu adalah para petugas medis yang akan datang ke rumah-rumah seluruh penduduk kota. Jadi, tidak perlu repot-repot untuk pergi ke suatu tempat untuk melakukan pengobatan atau pencegahan. "Apa ini benar-benar aman?" tanya Joni. Ia bahkan merasa takut karena rasanya terlalu cepat ST Tower menemukan obat dan pencegahannya. "Kalau menurut Kakak, aman-aman saja. Mereka kan bilang kalau virus ini sudah ada sejak lama, dan pernah terjadi di negara yang jauh dari kita. Maka dari itu, pengembangannya pun tidak perlu waktu lama." Joni mengangguk. "Iya, benar juga. Mungkin karena itulah pengembangan obatnya pun tak terlalu lama. Tapi tetap saja." Kakaknya memberi Joni senyum mengejek. "Kau takut jarum suntik atau bagaimana?" "Hei, bukan seperti itu. Ini tidak ada kaitannya dengan jarumnya. Aku malah lebih takut dengan apa yang mungkin mereka suntikkan nantinya." Kakaknya mengelus kepala Joni, tapi Joni segera menyingkir, seolah merasa risi. "Berhentilah over thinking, Sobat! Sudah. Mari buat sarapan. Kau mau apa?" "Hei, kaki Kakak sudah terasa lebih baik?" Sang kakak mengangguk. "Tepat! Aku tidak perlu lagi menyeret kakiku lagi. Sudah tidak terlalu sakit." "Ah, baguslah. Aku jadi tidak perlu repot-repot terus melakukan pekerjaan rumah." "Enak saja. Tetap. Kau harus tetap melakukannya, Joni. Ingat, dibagi dua! Kalau kau tidak mau melakukan pekerjaan rumah, setidaknya bersemangatlah dalam hal kuliah. Itu akan membuat Kakak merasa lebih baik. Atau, kau mau pindah lagi?" "Tidak perlu. Lagi pula, kenapa kita harus membicarakan kuliah? Rasanya bukan waktu yang tepat untuk membicarakan itu." "Ini agar kau tidak terlalu tegang. Ayolah ... ini dia sarapannya!" Kakak Joni menghidangkan roti dan telur. "Sudah, ini yang paling mudah dibuat. Kita menonton TV, ya. Sambil menunggu petugas datang. "Tidak ada yang menarik dari acara TV." "Kecuali berita, iya, kan?" sahut sang kakak. Joni tak menjawab. Ia sibuk melahap sarapannya. Tak lama setelah itu, benar saja. Ada beberapa orang yang memperkenalkan diri sebagai petugas medis dan meminta kesediaan Joni dan kakaknya untuk diberikan pencegahan. Ketika sedang diberikan suntikan itu, Joni sedikit berbincang dengan petugasnya. Ia hanya bertanya iseng saja. "Apa benar kalau seorang dokter atau petugas medis, punya sumpah yang tak boleh dilanggar?" Petugasnya tersenyum. "Ya, tentu saja." "Apa yang akan terjadi kalau mereka melanggar?" "Ehm, kalau melanggar kode etik? Mereka akan diberhentikan." "Hanya itu?" "Tentu saja tidak. Tergantung pelanggaran apa yang mereka lakukan." Joni mengangguk-angguk. Kakaknya hanya menatap Joni dengan datar. Kegiatan itu pun tak berlangsung lama. Setelah selesai, para petugas segera meninggalkan rumah. "Kenapa kau bertanya begitu? Padahal, kau sudah tahu, kan? Siapa pun yang melanggar kode etik, jika ketahuan, ya, pasti dapat hukuman," ujar kakaknya. "Ya, aku tahu, Kak. Aku hanya ingin tahu mereka jujur atau tidak." "Memangnya kau bisa menebaknya?" "Aku merasa bisa. Dan mereka sepertinya jujur-jujur saja." Kakaknya Joni pun tersenyum. "Kita akan baik-baik saja, sungguh. Tenanglah."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD