Ch.04 Mengenai Ranjang

1932 Words
Masih belum hilang rasa kaget karena melihat suaminya memberi makan ikan piranha dengan potongan tubuh manusia, Zalma kembali terkejut karena dipanggil Princess. “Jangan panggil aku seperti itu!” desisnya sambil menggeleng dan memicingkan mata. Dantheo mengepulkan asap putih dari bibir, “Bukankah kamu memang Princess, hmm?” “Ayah kandungmu adalah bangsawan London, benar? Dia meninggal dan ibumu menikah dengan Mikhail Yan. Situasi yang menjelaskan kenapa kamu Goldie sendiri sementara saudara dan ayah ibumu tidak seperti itu,” ungkapnya tenang, dingin. Mendengar satu kata yang ditujukan untuknya -Goldie- rasa sesak menyerang. Satu kata itu adalah bagaimana sang mantan tunangan memanggilnya selama delapan tahun kebersamaan. Mendengar orang lain menyebut dirinya dengan panggilan yang sama, kepedihan atas perpisahan menghampiri sekali lagi. “Jangan panggil aku Princess, apalagi Goldie!” lirih Zalma, memalingkan wajah. “Aku akan tetap memanggilmu Princess meski kamu tidak suka,” tandas Dantheo mengulas senyum kecil yang datar di ujung bibir. Ia memasukkan sebuah korek api ke dalam saku. Zalma sekilas melihat benda kotak yang terbuat dari kulit dengan ukiran gambar serigala salju di bagian depan. Sesuai nama keluarga lelaki itu, Lycan atau Lycenzo. Setelah menghisap rokoknya dalam, ia lanjut berucap, “Sekarang, mari berbicara tentang rumah tangga kita.” “Apa yang mau dibicarakan? Ini bukan rumah tangga! Lebih tepatnya ini rumah jebakan!" desis Zalma melirik sinis. Tertawa singkat, Dantheo mengangguk. “Benar! Kamu dan aku terjebak dalam situasi ini. Oleh karena itu, mari kita buat kesepakatan supaya bisa melalui ini semua dengan baik.” Mata biru Nona Muda Yan menatap bingung, “Kesepakatan?” “Hmm, perjanjian. Hanya dengan begitu kita bisa melewati satu tahun ke depan dengan selamat. Bukankah begitu? Aku yakin ayahmu juga tidak mau hartanya berpindah ke keluargaku.” Zalma tertawa satir, “Hartaku berpindah ke keluargamu? Yeah, right! Aku tidak sebodoh itu untuk membiarkanmu menang di pertarungan ini! Aku tidak suka kalah, ingat itu!” “Hmm,” gumam Dantheo hanya memberi senyum dingin sebagai tanggapan atas pernyataan istrinya. Suara beratnya kembali terdengar, “Perhatikan baik-baik, Princess.” “Berhenti memanggilku Princess!” bentak Zalma. “f**k! Aku bukan Cinderella atau Rapunzel meski rambutku pirang seperti mereka!” Akan tetapi, Dantheo tak terlihat peduli atas keberatan atau makian padanya. Ia teta lanjut menegaskan, “Satu, marilah kita tidak saling mengurusi urusan satu sama lain.” “Aku punya duniaku, kamu punya duniamu. Meski kita terjebak di sini bersama, tapi kita tidak perlu saling masuk ke dunia satu sama lain.” Usulan pertama ini menarik perhatian Zalma. Ia menyimak sambil berucap, “Lanjutkan ….” Sejujurnya, dia juga tidak mau mereka saling terlibat dalam dunia satu sama lain. “Dua, ibuku dan ibumu menginginkan kita tetap menikah, bahkan menginginkan kita bisa saling …,” henti Dantheo, lalu menggigit bibir bawahnya sesaat untuk menahan rasa ingin tertawa jengah. Ketika ia menggigit bibir bawahnya seperti ini, lelaki itu terlihat sungguh tampan sekaligus seksi. Akan tetapi, sepertinya hanya kita yang bisa mengerti betapa menggoda wajah Dantheo dalam gaya seperti itu. Zalma sama sekali tidak tergoda atau pun tertarik. Ia lebih tertarik dengan menanti kalimat selanjutnya, tak sabar menunggu apa yang suaminya hendak ucapkan. "Mereka ingin kita saling apa? Cepat katakan!” “Mereka ingin kita saling jatuh cinta.” “f**k what?” geleng Zalma, menolak ucapan tersebut. Padahal, dari pembicaraannya bersama sang bunda sebelum ini jelas terlihat keinginan itu di ibunya. Mata biru menatap tajam, “Aku tidak akan jatuh cinta denganmu, oke? Kamu bukan tipe lelaki yang kuidamkan!” Kaki kekar berotot sang pria mendadak maju dengan ekspresi wajah yang berubah, gelap. Suaranya pun tak lagi terdengar sama, jauh lebih berat. “Dengarkan aku, Princess.” Satu langkah maju Dantheo menjadi satu langkah mundur bagi Zalma dan ia bersiap untuk mengambil Glock di belakang punggung. Setelah melihat potongan tubuh manusia diberikan kepada piranha, ia berpikir entah apa yang bisa dilakukan sang suami padanya. Namun, baru dua langkah mundur punggungnya sudah menyentuh tembok. Tangan sudah menyentuh gagang Glock, siap menarik pistol itu kapan pun dibutuhkan. Wajah Dantheo ada persis di depan wajahnya. Ia bisa merasakan embusan panas beraroma tembakau dari bibir dan hidung sang lelaki. “Mari kita lanjutkan kesepakatan tadi, shall we? Dan biarkan Glock-mu berada di tempatnya.” seringai Tuan Muda Lycenzo. Zalma terhenyak kaget, ternyata Dantheo tahu dia sedang bersiap meraih Glock dan menodongkan ke arah sang suami. Akan tetapi, kenapa tidak ada gores ketakutan apa pun di wajah lelaki itu? Dan Tuan Muda Lycenzo juga tidak terlihat ingin menodongkan senjata pula pada istrinya. Yang terjadi justru terkesan lelaki itu tidak peduli, tidak mau ambil pusing meski Zalma memegang senjata siap ditodongkan kepadanya. “Pertama, jangan campuri urusan satu sama lain,” ucap Dantheo mengulang singkat peraturan di awal. “Kedua, keluarga kita saling mengenal dengan baik. Bahkan, ibu kita ingin agar kita saling jatuh cinta,” engahnya tersenyum getir. “Dan meski kita bukanlah suami istri sungguhan seperti yang mereka inginkan, aku mau kamu bersikap baik serta menghargai keluargaku.” “Dengan begitu, aku pun akan menghargai serta bersikap baik pada keluargamu. Tidak ada alasan bagi kita untuk berbuat sebaliknya, mengerti?” Zalma mulai merasa terintimidasi oleh suara Dantheo serta gerakan tubuh sang lelaki yang kini perlahan mengurung dirinya di tengah. Mata melirik ke kanan serta kiri di mana ada lengan kekar sedang terjulur lurus menyentuh tembok. Akan tetapi, jemarinya yang memegang Glock sejak tadi tidak bereaksi. Ia hanya memegang dan tidak segera mengeluarkan, padahal sudah dipepet dengan jarak sedekat ini. “Tiga,” desis Dantheo lanjut berucap. “Kita dipaksa untuk hidup bersama satu kamar, yaitu kamarku! Jadi, jangan sentuh apalagi mengubah apa pun di sini! Aku akan membuat space sendiri untuk barang-barangmu. Stay off dari barang-barangku.” “That’s all! Itu saja yang aku ingin sepakati denganmu! Apa kamu ada hal lain yang ingin kamu sepakati denganku?” Zalma menarik napas panjang, lalu mengangguk dan bertanya dengan seringai tak ramah. “Bagaimana dengan ranjang? Aku hanya melihat satu ranjang di sini. Jangan harap aku mau tidur di sofa, mengerti?” desisnya. Dantheo terkekeh nakal. Suara beratnya mendayu bersama tatap lekat seorang cassanova. “Kamu suka sisi ranjang bagian mana? Kanan atau kiri? Atau … kamu ingin tidur dalam pelukanku, hmm?” “Jangan besar kepala, you f**k! Tidur dalam pelukanmu? Haha! Sudah kukatakan aku tidak akan pernah jatuh cinta denganmu kecuali matahari terbit dari Selatan!” tegas Zalma memaki, menutupi kegugupannya. “Aku mengambil sisi kanan di ranjang! Dan kita akan membuat batas wilayah! Membuat pemisah ranjang masing-masing dengan sangat jelas!” lanjut Zalma cepat, lalu tersenyum dingin sebagai balasan atas tatap casanova dan kekeh nakal yang dilontarkan padanya barusan. Nona Muda Yan sejak tadi merasa diintimidasi. Kini, saatnya menunjukkan bahwa dia tidak bisa diintimidasi. Ia akan menunjukkan ketangguhan dirinwalau tanpa menggunakan pistol di balik punggung. “Dan jika kamu melanggar batas pemisah ranjang, jika kamu menyentuhku sedikit saja saat tidur malam, you f**k! Maka, aku bersumpah akan memberi makan piranha di teras dengan potongan jari-jarimu!” ancamnya menyeringai sinis. Tawa geli dan tatap smirk angkuh terlihat di wajah Dantheo. “Sure, aku ingin lihat bagaimana usahamu untuk memotong jariku dan diberikan pada piranha di teras.” “Kamu tak bisa membuatku takut, Zalma Yan,” desisnya mengembus, berbisik panas. “Adalah kamu yang seharusnya takut berada di ruangan yang sama denganku!” engah Tuan Muda Lycenzo menyeringai kejam, membiarkan Zalma melihat semua aura kegelapan dalam dirinya. “Kamu tidak tahu sejauh mana aku bisa berbuat ….” “Dan ingatlah, kalau kamu yang melanggar batas pemisah ranjang, jika kamu yang menyentuhku sedikit saja, jangan salahkan aku bila kemudian aku melucuti seluruh pakaianmu, Princess,” kekehnya menusuk dengan pandangan tajam. Wajah Dantheo maju mendekat dan Zalma semakin mendelik karena merasakan embusan napas mendekati telinga. Apalagi, saat ada suara berat serak berdesis …. “Bukankah selama satu tahun ke depan kita dilarang tidur dengan orang lain? Ouch! Sesuatu yang sangat berat untuk dilakukan, bukan? Menahan semua gairah itu, semua gejolak itu … craving for that particular desire ….” “Jadi, pastikan kamu tidak menyentuhku saat malam, atau aku akan membuat itu menjadi malam terpanas bagimu, Princess. And trust me, kamu tidak akan pernah melupakannya!” Selesai mengatakan itu semua dengan vibe gelap menggairahkannya, tubuh tinggi maskulin sang lelaki mundur begitu saja menjauh dari Zalma. Mereka kembali saling berhadapan dengan jarak yang cukup lebar. Zalma setengah mati menahan engah agar tidak terlihat gugup, gerah, terengah! Nyaris tak percaya dengan apa yang dia dengar. Part melucuti pakaian dan malam panas kenapa membuatnya pusing seketika? Delapan tahun hanya dengan satu orang lelaki, dan … uhm, mantan tunangannya sama sekali tidak seperti Dantheo dengan segala sisi gelapnya. “Sekali lagi kamu berbicara begitu padaku, jangan salahkan aku kalau Glock di punggungku sungguh keluar dan meledakkan kepalamu!” engah Zalma memandang cadas dengan mata birunya. Dantheo tersenyum cuek, tak menanggapi ancaman istri cantiknya. Mata biru itu justru ia tatap lekat dan kembali tertarik dengan keindahannya. Ia mulai berjalan mundur sambil mengepulkan asap putih terakhir dari rokok yang sudah habis terbakar. “Aku akan mandi karena badanku penuh dengan darah b*****t yang sudah mengacau perdagangan keluargaku. Silakan kamu lakukan apa yang kamu, asal jangan sentuh barang-barangku!” “Kita bertemu di ruang keluarga sebentar lagi. Ingat semua kesepakatan yang barusan sudah kita sepakati,” kekehnya kembali menampilkan wajah angkuh, lalu berbalik dan menghilang di balik pintu kamar mandi. Zalma masih berdiri tegak dengan punggung menyentuh dinding. Saat Dantheo sudah tidak terlihat baru ia mengijinkan napas tersengal. Ia menggeleng sambil terengah-engah. ‘f**k! Apa yang terjadi barusan?’ erangnya tanpa suara. “The f**k was that! Kenapa tidak aku masukkan saja ujung Glock ke dalam mulutnya saat dia bilang mau melucuti pakaianku!’ Mata hanya terus memandangi pintu kamar mandi di mana suami mafia kejamnya sedang membersihkan diri. Berpikir kenapa ia membeku tak mampu bergerak saat Dantheo mengurungnya di dinding dengan dua lengan kekar. Zalma Victoria Yan, putri seorang mafia terkejam di benua Eropa. Dunia gelap memilih untuk tidak berususan dengannya. Dikenal dengan sifat keras, pemarah, mudah melakukan kekerasan saat dia murka, tetapi barusan …. Ia menampar pelan kedua pipinya sendiri sambil menggeleng kencang. ‘Ini tidak boleh terjadi lagi! Aku tidak boleh diam tertegun dan membeku seperti barusan! Aku seperti orang bodoh!’ ‘Ya, aku tidak boleh membiarkan dia mendekatiku lagi seperti itu!’ *** Malam ini yang seharusnya menjadi malam pengantin mereka tentu tidak terjadi apa-apa. Dantheo sedang berada di klub malamnya. Baru saja bertemu dengan rekan bisnis dunia bawah tanah. Tepat saat ia hendak pulang, saat ia sedang berjalan menuju kendaraan dengan diiringi oleh beberapa bodyguard, ponselnya berbunyi. Ada sebuah chat masuk dari nomor asing. Kening mengerut karena hampir tak pernah menerima chat dari nomor asing. Tak banyak yang tahu nomor ponselnya. [Selamat malam, Dantheo. Apa kabarmu?] Ia tak menjawab. Nomor asing tersebut tak memiliki profile picture. Benak tengah mengira-ngira siapa orang ini saat kemudian sebuah chat lain masuk. [Masih menyimpan pemantik korek api bergambar serigala salju dariku?] Langkah Dantheo terhenti mendadak saat membaca chat tersebut. Ia segera tahu siapa yang menghubungi. Seseorang yang menghilang dari hidupnya hampir empat tahun lalu. Orang itu yang memberinya sebuah korek api kotak berbahan kulit dengan ukiran gambar serigala salju di bagian depannya. Korek yang selalu ia bawa ke mana pun diri melangkah. Seseorang yang meninggalkan sebuah luka lebar di dalam hati, di dalam jiwa. Luka yang entah sudah sembuh atau belum hingga saat ini. “Eva ….” Ia bergumam sendiri menyebut nama seorang wanita. Masuk lagi sebuah chat ke dalam ponselnya. [Bisa kita bertemu? Aku ingin menatap wajahmu seperti dulu, ingin juga mendengar suaramu secara langsung.] [Dan aku ingin meminta maaf padamu.] Terengah hebat, mata cokelat gelap sang lelaki memandangi layar dengan kegamangan luar biasa. Haruskah ia mengiyakan pertemuan ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD