Chapter 1 - 1

2482 Words
“Mbak Kian, antarkan surat ini ke Dokter Mario. Minta beliau koreksi dulu ini sudah benar atau belum.” Suasana syahdu yang dihiasi suara ketukan jemari di keyboard dan mouse itu tiba-tiba terpecah. Senin pagi yang sudah menyebalkan kini semakin terasa menyebalkan ketika Kian mendengar suara itu. Sang Ratu alias kepala Instalasi bagian Kian bekerja tiba-tiba saja menghampiri mejanya dan menyerahkan sebuah folder berwarna kuning berisi sebuah visum et repertum milik salah satu pasien. Kian yang sedang sibuk di depan komputernya mendongak. “Sekarang, ya?” ucap Sang Ratu dengan senyum mematikan andalannya. “Udah ditunggu di lantai tiga.” Mau tak mau, Kian mengangguk dan menerima berkas itu. Dengan senyum puas, sang ratu kembali ke singgasananya, membuat Kian memutar mata. Dengan gemas ia membenarkan rambutnya yang berantakan dan sedikit mengembang agar terlihat lebih manusiawi. Paling tidak ia masih terlihat sebagai pegawai rumah sakit, bukan pasien rumah sakit jiwa yang sedang kabur dan menyamar. Ana yang berada di sebelahnya terkikik. “Untung gue bukan anak emas Kanjeng Ratu.” Kian berdecih mendengarnya. Kalau bisa memilih, ia sebenarnya juga tak mau. Lebih baik jadi pegawai biasa saja yang bekerja dengan aman, nyaman, dan tentram. Tapi apa daya, dirinya seorang kacung, bukan presiden. Dengan berat, Kian melangkahkan kakinya menuju ruang diskusi di lantai tiga, tempat dimana Dokter Mario berada. Ketika tiba di depan pintu, Kian menyempatkan untuk membenahi seragamnya terlebih dahulu dan berdeham. Dalam detik ke tiga, ia mengetuk pintu dan masuk ke dalam ruangan. Dilihatnya beberapa dokter muda sedang duduk mengelilingi meja besar dengan seorang dokter paruh baya berada di kepala meja. Tak ingin berlama-lama, Kian segera menyerahkan folder yang ia bawa pada Dokter Mario dan izin untuk undur diri setelah menyampaikan pesan dari Kanjeng Ratu. “Eh, tunggu. Mau kemana?” panggil Dokter Mario ketika Kian berbalik. “Teleponkan dokter Indah dulu. Pakai telpon yang di pojok.” Sebelum kembali menghadap Dokter Mario, Kian masih menyempatkan untuk memutar mata. Selama beberapa menit ke depan, rasanya Kian merasa disorientasi atas identitasnya sendiri karena terpaksa melakukan perintah Dokter Menyebalkan itu. Dirinya siapa? Apa yang sedang ia kerjakan disini? Padahal ia hanya ditugaskan untuk mengantar dokumen, tapi kenapa ia juga yang disuruh-suruh seperti babu? Bahkan dari sudut matanya ia bisa melihat dokter-dokter muda itu sedang menahan tawa di bibir mereka. Apa yang mereka tertawakan? Dirinya? Kian berdecih. Ingin rasanya ia mengumpat saja. Kenapa dokter-dokter ini selalu semaunya sendiri? For God sake, dunia tidak berada dalam genggaman mereka. Ketika hal-hal seperti ini terjadi, Ia jadi teringat awal mula dirinya menyimpan rasa dendam pada dokter. “Eh, kamu, mahasiswa! Mau ke mana?” Bentak seorang dokter IGD saat itu. Kian hanya diam sambil memandangnya bingung. “Kasih ke perawatnya, Mbak. Jangan cuma ditaruh di meja! Kalau berkasnya hilang, mau tanggung jawab?” Dokter yang baru saja datang itu langsung menegur ketika Kian meletakkan dua berkas pasien IGD itu di meja. Kian yang hendak pergi setelah mengantarkan berkas ke IGD sontak mengernyit. Apa salahnya? pikir Kian ketika dokter itu menahannya. Dipikir Kian ini pegawai tidak bertanggung jawab, begitu? “Perawatnya kan lagi melayani pasien? Tadi saya disuruh menaruh berkasnya dulu di meja,” jawab Kian tidak terima karena ia disalahkan begitu saja. Siapa juga yang asal meletakkan berkasnya di atas meja? Padahal dirinya melakukan hal itu atas ‘deal’ dengan seorang perawat IGD yang duduk tak jauh dari meja. Tidak tahu duduk perkara, tapi dokter itu langsung nyolot begitu saja. “Siapa yang nyuruh? Ambil lagi dan kasih ke perawatnya.” Kian mengerutkan dahinya semakin dalam. Tanpa pikir panjang, Kian mengambil dan menyerahkannya ke seorang perawat yang memandangnya kasihan, lalu keluar begitu saja dari IGD dengan langkah lebar. Meninggalkan dokter sok yang bahkan namanya saja Kian tak tahu. Bukan satu dua kali dokter-dokter itu berlaku seenaknya, ingin menang sendiri, dan kadang-kadang sok tau. Sudah cukup Kian diperlakukan semena-mena, ia muak. Ketika Dokter Mario memperbolehkan Kian pergi dari ruangannya, Kian langsung melangkah pergi begitu saja. Dalam hati ia kembali mengumpat karena kesal. Ia tidak habis pikir. Apa yang ada di pikiran dokter-dokter itu ketika mereka selalu saja menyuruh orang lain seenak jidatnya sendiri? Kian menghempaskan tubuhnya di atas kursi kerjanya. Berurusan dengan dokter benar-benar selalu membuat moodnya tak bagus. Ia sangat ingin cuti dan menghindar sejenak dari pekerja berjas putih yang setiap hari berseliweran di depan matanya. Haaahh 2 tahun lagi, dan semuanya akan tercapai... Pikir Kian. Ia menyelonjorkan kakinya ke bawah meja, merentangkan tangannya lemas, dan mendongakkan wajahnya menatap langit-langit ruang kerjanya. Pikirannya masih melayang, mencari cara agar ia dapat menghasilkan uang banyak dengan cepat. Ia ingin mewujudkan mimpinya untuk travelling ke Eropa. Melihat pria-pria berkulit putih tentu lebih menyenangkan daripada melihat pria berjas putih, kan? Tapi dengan pekerjaan sebagai pegawai rumah sakit biasa, tentu punya banyak uang akan membutuhkan waktu yang sangat lama. Bahkan terlihat tidak mungkin. Gajinya terlalu sedikit. Tak sebanding dengan pekerjaan yang tak kalah sibuk, berkutat dengan berkas-berkas rekam medis pasien rumah sakit yang setiap harinya dikunjungi ribuan orang. "Mbak Kian, ini berkas dari IGD. Tolong segera input datanya ya!" Bu Sumarni ganti datang dengan wajah sumringah menghampiri meja kian. Di tangannya terdapat setumpuk berkas rekam medis milik pasien IGD yang datang sejak semalam. "Eh, Bu Sumarni. Ngagetin saya aja, Bu," balas Kian sambil meringis pada Bu Sumarni. Bu Sumarni ini Jawa tulen, bicaranya medhok. Banyak huruf 'h'-nya dan kadang sedikit muncrat di sana sini. Tubuh gempalnya menambah pancaran aura keibuan beliau miliki. "Taruh di sini saja, Bu. Nanti saya input setelah berkas dari Klinik Anak selesai. Sudah dianalisis kan, Bu?" Bu Sumarni mengangguk. Kian hendak meneruskan pekerjaannya ketika mengira Bu Sumarni akan pergi. "Eh, mbak Kian, ini sekalian ada undangan dari Dokter Anjas untuk pegawai di ruangan ini. Anaknya menikah." Bu Sumarni mengobok-obok isi tasnya sebelum kemudian menyerahkan beberapa undangan berwarna perak ke arahnya. ‘Yudis dan Mahira’. Begitu tulisan di atasnya, lengkap dengan sulur-sulur indah yang membuatnya terlihat elegan. "Anaknya Dokter Anjas menikah, Bu? Yang ganteng itu?" Kian bertanya pada Bu Sumarni. Ia pernah bertemu dengan anak Dokter Anjas yang beberapa saat lalu sempat bekerja sebagai dokter di sini. Menjadi bahan bincangan harian seluruh rumah sakit karena kebaikan hati dan kebaikan parasnya. "Iya, mbak. Sayang sekali ya?" kata Bu Sumarni sambil tertawa cekikikan, tapi tawanya tiba-tiba berhenti berganti dengan senyum malu-malu. "Eh? Lha kok saya jadi begini? Kalau suami saya tahu, bisa cemburu buta ini. Ya sudah mbak, saya mau ke depan lagi ngawasi mahasiswa PKL ngisi KIUP." (Baca: PKL : Praktik Kuliah Lapangan, KIUP: Kartu Indeks Utama Pasien) "Iya, Bu. Silahkan," jawab Kian. Bu Sumarni pun berjalan pergi meninggalkan mejanya. "Apa nih, Ki?" Ana yang baru saja kembali dari kamar kecil menghampiri meja Kian.  Kian mengenal Ana saat mulai kuliah. Awalnya mereka tidak terlalu dekat saat masa perkuliahan. Namun, karena sekarang memiliki meja kerja yang bersebelahan di bagian coding, mau tak mau keduanya menjadi dekat juga. Ana menarik undangan yang tertulis namanya. Setelah membuka undangan yang ia pegang, ia terpekik sendiri karena terkejut. "WHAT!! Ini dokter Yudis yang itu? Yang ganteng itu? Ya ampun, patah hati gue, Kiii.." sahut Ana hiperbolis sambil memegangi dadanya. "Sini gue siap nyembuhin. Hahaha…" Tiyo, pegawai bagian reporting yang baru kembali dari istirahat makan siang, datang dengan tertawa-tawa. Kemudian ia ikut mampir di meja kerja Kian untuk mencari tahu penyebab Ana menjadi histeris. "Najis banget lo mas!” ucap Ana sambil menepukkan undangan itu ke lengan Tiyo. "Nggak usah lebay deh, Na. Biasa aja. Emang udah waktunya nikah dia. Ganteng-ganteng gitu masa jomblo terus," jawab Kian santai menanggapi Ana yang sudah terkenal lebay sejak jaman kuliah dulu. Ia kembali meneruskan pekerjaannya yang tertunda akibat kedatangan Bu Sumarni dan perintah Kanjeng ratu tadi. "Tapi kan harusnya nikah sama gue, Ki." Ana yang terduduk di kursinya, merenungi nasib mirisnya akan cinta tak terbalas. Bahkan tidak akan pernah terbalas. "Ngimpi, lo! Mau di kemanain si Doni?" balas Tiyo sambil tertawa-tawa. Ia mengambil undangan miliknya sebelum ngacir ke meja kerjanya sendiri. Ana memang sudah berhubungan dengan Doni, teman kuliah Tiyo. Mereka berpacaran hampir dua tahun lamanya. Kian juga ikut tertawa, tapi tiba-tiba ia terdiam, teringat akan dimana posisi mobilnya sekarang. "By the way, tebengin gue ke nikahan mas Yudis, ya?" "Oke. No Problem. VW lo ke mana, emang?" Ana bertanya, pandangannya tetap pada komputer di depannya untuk menginput data dari bagian Obgyn. "Gue jual, udah nggak sanggup ngrawatnya. Buat tambah-tambah tabungan gue juga lah." Ana menjawabnya dengan anggukan setuju. *** "Sudah, pak! Berhenti di depan situ saja," sahut Kian. Ia sedang berboncengan mesra dengan tukang ojek, berduaan menaiki motor membelah jalanan. Ketika tukang ojek itu menepikan motornya dan berhenti, Kian melompat turun dari motor. Sesaat ia merogoh-rogoh tasnya, mencari uang dan menyerahkannya pada tukang ojek tersebut. "Makasih ya, neng," sahut tukang ojek tersebut sebelum melajukan motornya kembali. Kian melangkahkan kakinya, menyusuri trotoar terjal. Di pinggirnya berdiri beberapa café, restoran, dan tempat makan. Namun, tujuannya di wilayah ini hanya satu. ‘TeCo Bar’ Begitulah tulisan yang terpampang di depan café yang Kian masuki. Tempat itu menjual banyak sekali jenis teh dan kopi. Dari yang mahal hingga yang paling murah ada di sana. Tempat itu juga yang menjadi favorit Kian semenjak ia datang merantau di kota ini. "Hai, Jo," sapa Kian setelah memarkirkan tubuhnya di dekat meja bar. Bentuk tempat ini sudah seperti pub, lengkap dengan bar dan kursi-kursi tinggi, juga beberapa meja dan kursi. Bedanya, di sini tidak akan bisa menemukan beer ataupun minuman keras lainnya, tapi hanya teh dan kopi. Lengkap dengan dekorasi grinder lawas dan koleksi cangkir-cangkir antik. Dan pastinya, FREE WI-FI. "Hmm.. Kalau gue liat dari ekspresi lo, lo mau kopi. Double Shot Espresso?" tebak Joshua yang nyengir melihat kedatangan salah satu pelanggan setianya itu, setengah menggoda Kian yang terlihat suntuk. Kian menggeleng-gelengkan kepalanya. "Gue chrysanthemum hari ini, pakai madu." "Tumben." Joshua menaikkan alisnya. "Tunggu sebentar." Joshua dengan cekatan meracik teh pesanan Kian. Mengira-ngira ketepatan suhu air yang ia tuang dan menyerahkannya pada Kian. Ia kemudian memberikan Kian satu sachet gula, sudah hafal dengan selera Kian. "Gue ke meja pojok, ya Josh," pamit Kian sambil membawa teko kecil berisi teh pesanannya yang mengepul beserta set cangkirnya. Namun, seseorang menabrak Kian yang sedang membawa teh panasnya ketika Kian hendak berbalik mencari tempat duduk. Teko teh yang dibawanya terbalik, dan seluruh isinya sukses meluncur ke tangan dan kaki Kian. Cangkir teh bening beserta tatakannya juga ikut jatuh berkeping-keping di lantai. Kian meringis, rasa panas membakar kulit di beberapa bagian tubuhnya. Ditatapnya seseorang yang menabraknya itu dengan kesal. Pria itu berpotongan cepak dengan muka merengut hingga kedua alisnya menyatu. "Maaf, saya buru-buru," kata pria yang menubruk Kian tadi. Ia dengan cepat mengeluarkan dua lembar kertas merah bergambar mantan presiden dan melengos begitu saja, pergi. Kian hanya melongo, menatap kepergian laki-laki itu dan uang yang ditinggalkannya bergantian. Bah! Uang. Menyenangkan sekali jadi orang kaya kalau begitu caranya. Laki-laki kok tidak punya unggah-ungguh. "Woi!! Woi Mas! Saya nggak butuh duitnyaa!" teriak Kian tepat saat laki-laki itu keluar. Entah pura-pura tidak dengar atau memang tidak mendengar, Kian tidak tahu. Hal itu membuat Kian misuh-misuh sendiri di dalam hatinya. "Songong banget!" "Lo nggak papa?" tanya Joshua panik. Ia segera menyuruh Derek, baristanya, untuk mengambil salep luka bakar di kotak P3K. "Nggak. Cuma perih dikit tangan gue," jawab Kian. Riko dengan sigap memberi Kian handuk dingin dan membersihkan pecahan cangkir dan teh yang tumpah. Para pengunjung yang kaget melongok-longok ingin tahu. Setelah berbisik-bisik sebentar, mereka kembali lagi ke aktivitas mereka sebelumnya. "Sini, disalepin dulu mbak tangannya." Derek datang tergopoh-gopoh, di genggamannya terdapat salep dengan kemasan berwarna putih. Ia memberikannya pada Kian. "Makasih, ya," ucap Kian. Ia berjalan ke kamar mandi yang terletak di ujung ruangan. Di oleskannya salep tersebut ke punggung tangannya. Dan beberapa lagi ke kakinya yang terkena tumpahan teh. Sial sekali nasibnya hari ini. "Simpan aja itu duit, Josh. Kembaliin kalo orang itu nanti ke sini. Atau lo ambil saja untuk ganti rugi cangkir yang pecah." Kian kembali dari kamar mandi. Ia memungut jaket yang di tinggalkannya di meja bar dan memakai tas selempangnya. "Gue pulang dulu." "loh? nggak jadi minum?" tanya Joshua. "Nggak deh, hari ini. Besok-besok gue mampir lagi." Kian melambaikan tangannya pada Joshua sebelumnya bersikeras menolak uang tagihan teh yang dibayarnya. Mood-nya untuk bermanja-manja dengan tehnya sudah hilang sempurna. Senin yang menyebalkan. *** "Pagi, Mbak Kian," sahut seorang bapak-bapak berbadan gembul yang kebetulan berjalan di belakang Kian. Pakaiannya rapi, licin tanpa kerutan. Ia menenteng tas kerja berwarna hitam, sama warnanya dengan sepatu mengkilat yang dipakainya. Wangi dan rambutnya juga disisir rapi. "Eh, pagi juga, Dok," jawab Kian kikuk. Dokter Anjas adalah satu-satunya dokter yang Kian bisa sukai. Oh, anaknya juga, jangan lupa. "Loh, itu kenapa tangannya merah sekali? Luka bakar?" tanya dokter Anjas yang tak sengaja melihat luka di tangan Kian. "Sudah diobati?" "Ini tersiram air panas, Dok. Pagi ini belum, soalnya kemarin salep di apotek habis." Kian jadi ikut memperhatikan tangannya yang sedikit bengkak dan kemerahan. "Beli salep di apotik saja, ah, ke ruangan saya saja dulu lah," putus dokter Anjas. Mau tidak mau, Kian pun menurut. Lagipula, kapan lagi dia bisa mendapat pengobatan gratis seperti ini. Kesempatan pasti tidak datang dua kali, kan? Dokter Anjas meletakkan tasnya di meja kerjanya, kemudian menyapa perawat yang membantu Dokter Anjas di ruang prakteknya. "Selamat pagi." "Pagi, Dok," jawab mbak Ine, perawat yang bekerja dengan dokter Anjas, tak kalah sumringah. Kemudian ia memandang Kian yang berdiri di belakang Dokter Anjas dengan pandangan sedikit bertanya-tanya. Tidak biasanya Kian berada di sini pagi-pagi dan berdiri di sana dengan senyum sungkan yang agak memaksa. "Eh, Kian? Ada perlu apa?" "Oh, Mbak Kian tangannya kena air panas. Mau saya lihat dulu. Siapin blanko resep aja ya, mbak,"  pinta Dokter Anjas sambil meletakkan tasnya. "Baik, Dok." Mbak Ine mengangguk pada dokter Anjas dan menyuruh Kian masuk ke ruang periksa. "Terimakasih banyak, Dok, Mbak Ine. Maaf merepotkan." Kian mengucapkannya ketika dokter Anjas memberinya resep. "Halah, cuma begini jangan dipikirkan, Kian. Betul tidak, Dok?" jawab Mbak Ine sambil membereskan beberapa alat yang tadi di pakainya. Seandainya ada semua dokter di dunia ini baik hati seperti dokter Anjas, dan perawatnya seperti Mbak Ine, pasti damai sehat sentosa dunia ini. "Kalau begitu saya mau kembali ke ruangan saya, Dok, Mbak. Pasiennya sudah banyak yang datang," pamit Kian pada Dokter Anjas dan Mbak Ine. "Ngomong-ngomong, bagian rekam medis sudah terima undangan pernikahan anak saya, kan?" tanya Dokter Anjas ketika Kian hendak membuka pintu untuk keluar. Kian menganggukkan kepalanya dan menggumamkan kata 'sudah' sebagai jawaban. "Kalau begitu, jangan sampai tidak datang, ya." Kian mengangguk lagi. Ia melenggang keluar ruangan klinik bedah, tempat Dokter Anjas bekerja. Kian tersenyum mengingat Dokter Anjas. Beliau memang dokter, tapi hatinya baik sekali. Mulai dari tukang kebun rumah sakit hingga direktur, beliau mengenal seluruh pegawai di rumah sakit di rumah sakit ini. Kalau pun tidak kenal, ia tidak segan berkenalan. Tidak seperti kebanyakan dokter yang sombong, hanya mau mengenal orang-orang di lingkungannya saja. Dokter Anjas pula yang meredakan kebencian Kian pada dokter, membuat Kian berpikir bahwa masih ada dokter yang baik seperti dokter Anjas. Walaupun Kian belum menemukan selain Dokter Anjas dan anaknya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD