Chapter 1 - 2

1619 Words
Sinar matahari pagi menelisik melalui sela-sela korden kamar Kian. Tak ada suara burung bercicit-cuit indah, namun yang terdengar malah alunan lagu band rock amerika yang menghentak-hentak. Tangannya bergerak-gerak mencari benda menyebalkan yang setiap hari mengganggu paginya itu. "Lima belas menit lagi..." gumamnya masih setengah tidur. Badannya bergerak-gerak mencari posisi nyaman untuk tidur lagi. Tapi entah kenapa, sepertinya tubuhnya menolak untuk tidur kembali. Matanya mengerjap, menyesuaikan dengan cahaya di kamarnya yang terang. Kian melirik jam kecil di atas nakasnya. "Jam berapa ini?" 09.10 Kian menyibakkan selimutnya dan bangun. Ia menyikat gigi, merapikan sedikit rambut merahnya yang mencuat kesana-kemari, dan mencuci mukanya sebelum keluar untuk membuat sesuatu yang bisa di makan. Lambungnya sudah meronta-ronta minta diisi. Kian menatap dapurnya dan tersenyum lebar. Inilah alasannya ia betah mengontrak di sini. Walaupun tidak ada meja pantry seperti yang dimimpi-mimpikan, tetapi setidaknya fasilitas dapurnya tercukupi. "Kiaaan!" Kian hampir melompat kaget. Siapa yang datang di hari minggu paginya yang menyenangkan ini? Bagi Kian, hari minggu sebelum jam 12 akan selalu menjadi waktu berharganya untuk bersantai-ria menikmati hidup. Tapi setelah jam 12? Hal itu menjadi tanda bahwa Senin suramnya akan tiba. "Kiaaaaann!" Kian tergagap, tersadar dari lamunannya dan segera berlari ke depan untuk membuka pintu. Dilihatnya Ana berdiri di depan kontrakannya dengan tatapan aneh. Kenapa? Lihatlah dari bawah ke atas. Wedges-nya, gaunnya, clutch-nya, rambutnya sudah ditata sedemikian rupa, hingga make-up-nya, sudah seperti ibu-ibu yang akan pergi.... Kondangan. ASTAGA!   *** Masih di bagian bumi yang sama, Ares menggeram, menggeliat, kemudian merentangkan kedua tangan dan kakinya. Badannya terasa remuk redam. Kepalanya terus saja berdenyut, efek dari sebotol red wine yang ia minum sendiri semalam. Dengan sempoyongan, ia berjalan menuju kamar mandi. Ia ingin mandi air dingin untuk menenangkan pikirannya, dan juga hatinya sebelum ia harus menghadapi kenyataan nanti. Bayang-bayang kenangan semasa kuliah dulu terus berputar, juga masa ketika ia menjadi intern di rumah sakit kecil di Nusa Tenggara bersama kedua sahabatnya. Sahabat terbaik dan cinta pertamanya yang saling mencintai. Sangat klise, bukan? Sial. Ares menunduk di bawah pancuran. Membiarkan air mengalir dari ujung kepala hingga ujung kakinya, membawa rasa sakit dan penyesalan yang bercokol di hatinya. "KENARES!! ARES!!" suara seorang perempuan menggema di apartemen Ares, beradu dengan ketukan sepatunya dengan lantai. Gaun coklat gemerlapnya melekat pas di tubuhnya yang ramping. Ares yang baru selesai mandi mendesah, buru-buru mengambil handuk untuk mengeringkan badannya. "Res, you okay?" tiba-tiba suara perempuan itu terdengar kembali dari balik pintu kamar mandinya. Beberapa kali gedoran keras ikut menyertai. "kamu nggak bunuh diri, kan?" Ares membuka pintu. "Telinga aku belum tuli, ta. Annoying, tau nggak!" Ares berdecak sebal kemudian berjalan melewati Sita yang memandangnya tak percaya. Bibir Sita berkedut-kedut menahan senyum. "Oh! jangan lupa lepas sepatu lo!" "Ups! Lupa! Sorry!" Sita menutup mulutnya dengan tangan dan meringis. Ia melepas sepatunya dan berjalan kembali ke depan pintu untuk menaruhnya. "Gue kan kuatir sama lo, res. Siapa yang mau tanggung jawab coba kalo lo akhirnya milih buat bunuh diri di hari pernikahan orang yang lo cinta setengah mati sama.." "Cukup, ta. Nggak usah ngingetin gue." "Sorry." Sita akhirnya menyerah. Ia memilih duduk di ranjang besar Ares yang sedikit berantakan. Memperhatikan Ares memakai kostum Best man-nya. Mungkin Ares terlihat tampan setelah mandi, lebih segar dan tentunya menggoda. Tapi Sita lebih tau kalau di dalam hatinya, Ares hancur. "Udah?" tanya Sita memperhatikan Ares yang baru saja keluar dari walk-in closet-nya dari atas ke bawah, lalu kembali ke atas lagi. Ares menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. "Let's go!" Sita menarik tangan Ares keluar dari kamarnya menuju ke parkiran bawah. Dengan tangan saling mengait, mereka tampak serasi seperti pasangan. "Kalo lo mau nangis, Res, lo bisa genggam tangan gue dan nangis sepuas lo," kata Sita sambil tersenyum jenaka pada Ares. "Sialan lo. Gue bukan banci." Sita tertawa-tawa sepanjang jalan menuju tempat parkir pribadi Ares. Setelah ini, ingatkan Ares untuk membalas kebaikan Sita karena telah membuatnya merasa lebih baik. *** Ares melirik jam tangannya. Jam masih menunjukkan pukul setengah 8. Masih ada setengah jam lagi sebelum janji suci itu diikrarkan. Ia menghela napas. "Man, lo terlihat... mengenaskan," jujur Ares melihat sahabatnya itu mondar-mandir tidak karuan sambil meremas-remas kedua tangannya. Yudis memandang Ares sebal, namun Ares tak mengacuhkannya. "Mendingan lo duduk sekarang." "Lo seharusnya juga nikah biar lo tau apa yang gue rasain." Yudis berdecak sebal. Ia akhirnya juga ikut duduk di dekat Ares, meneguk air mineral yang disiapkan di atas meja. Sejak tadi, ia berusaha menahan tangannya sendiri untuk tidak mengacak dan menghancurkan tatanan rambutnya yang sudah diberi gel dengan sempurna. "Lo mau Mahira nikah sama gue juga?" balas Ares. Ia tertawa kecil, menertawakan dirinya sendiri yang terlihat, entahlah... menyedihkan? Yudis mendelik mendengar kata-kata yang Ares ucapkan. "Don't you dare, Res." Ares semakin tertawa mendengar kata-kata Yudis. Sepenuhnya tertawa atas ketololannya yang tidak masuk akal ini. Ia memandang Yudis. Bagaimana jika seandainya ia menyatakan cintanya pada Mahira? Apakah semua ini akan berubah? Apakah Mahira akan berpaling kepadanya? Akankah tiga puluh menit ini merubah semuanya? "Ngapain lo ngliatin gue kaya gitu, Res? Jijik gue!" Yudis ikut tertawa sambil meninju bahu Ares. "Gue cinta sama Mahira," aku Ares sambil menunduk, matanya terpejam menanti pukulan yang akan Yudis layangkan kepadanya. Beberapa saat kemudian, matanya terbuka karena pukulannya tak kunjung datang. Tawa Yudis mereda, menyisakan seringaian tipis. Pandangannya sedikit menerawang ke arah meja. "Gue tahu," Apa? Ares berusaha untuk meyakinkan dirinya bahwa ia mungkin salah dengar. Ia mendongak kembali dan menatap Yudis tak percaya. "Apa?" "Gue tahu lo suka Mahira. Dan dulu gue juga tahu kalau Mahira suka sama lo. Tapi back then, lo terlalu tolol untuk menyadari semua itu." Yudis tersenyum miring. Mengingat segala pertemuan-pertemuan mereka dulu. Ia mengingat dengan jelas bagaimana Ares menatap Mahira dan Mahira balas menatapnya. Juga bagaimana ia mendengarkan curhatan Mahira soal Ares. Ia masih ingat dengan persis bagaimana perasaannya saat itu. "Gue juga cinta sama dia, res. Tapi gue bukan pria tolol kayak elo." Ares terdiam. Ia yakin sudah berusaha untuk mendengarkan perkataan Yudis dengan baik. Tapi, apa ini? Bukannya Yudis terkejut dengan perkataannya, tapi malah dirinya sendiri yang terkejut dengan perkataan Yudis. Mahira pernah mencintainya? Kenapa? Kapan? Ares baru menyadari kalau ia sebodoh ini. "So, gue rebut dia dari elo dan membuat dia cinta setengah mati sama gue." Yudis melanjutkan pengakuannya. "See? usaha gue selama ini nggak sia-sia." Ares menggeram sambil mengepalkan tangannya kuat-kuat, menahan diri untuk tidak menonjok Yudis saat itu juga. Ia masih menatap Yudis tak percaya. Tak percaya bahwa Yudis mengatakan semua ini tepat di hari pernikahannya. Tepat sebelum janji sehidup semati itu diucapkan. Sial. "Gue tau elo, Res. Lo nggak bakal bisa nonjok gue sekarang." Yudis menggeleng, ia tertawa kecil kemudian menatap Ares lagi. Bukan tertawa untuk menandakan kemenangannya dan merasakan dirinya di atas angin, namun ia tertawa karena ia merasa dirinya dan Ares benar-benar lucu dan tidak masuk akal. "Lo terlalu baik, Res. Di hari pernikahan gue, terlebih di hari pernikahan Mahira, nggak mungkin lo bikin gue babak belur dan bikin Mahira kaget. Sama kayak dulu. Lo menyimpan perasaan lo karena takut persahabatan kita hancur." Ares terdiam. Rahangnya mengeras, menahan geram. Ia mengembuskan napasnya keras-keras, kesal karena ia tak bisa menyangkal perkataan Yudis. Perkataan yang tepat mengenai hatinya. Tepat karena ia memang melakukan hal itu, dulu. "Bukan begitu?" lanjut Yudis. "Asshole…" Ares kembali menggeram, berusaha menahan amarahnya yang sudah di ubun-ubun. "Egois sedikit untuk mendapatkan kebahagiaan lo menurut gue bukan hal yang salah, Res. Lo harus tau itu. Gue pikir lo bakal nyimpen perasaan lo sampe akhir. Gue nggak nyangka akhirnya lo bisa jujur ke gue, terlebih ke diri lo sendiri." Yudis menghirup udara di sekitarnya perlahan. Ia merasa jauh lebih baik sekarang. Jauh lebih lega. Karena Yudis juga merasa bersalah telah merebut Mahira dari Ares. Seolah-olah rasanya ia sudah meminta izin untuk menikah dengan Mahira. Rahasia yang ia pikir akan ia bawa sampai mati, akhirnya bisa diungkapkan kepada Ares. "Tapi nggak ada yang bisa lo rubah, Res. Gue udah membuat Mahira mencintai gue karena gue juga cinta mencintai Mahira sepenuh hati gue. Sorry, bentar lagi dia jadi milik gue. Tick tock. Time still ticking." "Brengsek. Sialan, lo!" Ares mengepalkan tangannya erat. Ia meresapi rasa sakit yang ditimbulkan oleh kuku-kuku yang menancap pada telapak tangannya. Menyesal? Iya. Sangat. Tapi dengan Yudis, apa mungkin ia bisa ikhlas? Mungkin. Setidaknya itu yang berusaha Ares harapkan. "Lo bisa mukul gue, Res. Tapi nanti malem setelah resepsi. Gue tunggu di kamar hotel." Yudis meringis. Ia berdiri dari duduknya dan berjalan ke luar ruangan. "Gue ke toilet bentar, lo tau sendiri kalo gue gugup gue bakal kebelet pipis. Tapi tenang, gue nggak bakal kabur. So, stop mikir lo bisa gantiin gue buat ngucap ijab nanti." *** Ares berdiri di luar gedung resepsi pernikahan Ia memasukkan tangannya ke saku dan bersandar di pilar besar yang menyangga gedung. Kepalanya masih terasa sedikit pusing. Hatinya juga masih sakit, terlebih melihat Mahira tertawa bahagia dan berlinangan air mata bersama pria lain. Ia merasa seperti ditusuk dari belakang. Tapi kalau dipikir-pikir, semua itu juga salahnya sendiri. Ah, tidak tau. Semua ini terlalu membingungkan bagi Ares. Sita calling.. "Ya?" sahut Ares segera setelah menggeser tombol hijau di ponselnya. Ia kemudian berdiri, menghadap ke parkiran. "Lo di mana res?" tanya Sita di seberang, sepertinya ia sedang di toilet karena terdengar suara gemericik air dan wanita-wanita yang sedang berkasak-kusuk. "Gue masih di sini. Tenang aja." "Oke. Kalo ada apa-apa, telpon gue." "Cerewet deh lo, Ta." Ares memutuskan sambungan teleponnya dan memasukkannya ke dalam saku jasnya sambil menggerutu tak jelas. Ares lagi-lagi mengembuskan napasnya berat. Ia mendongak, menatap langit mendung. Mungkin tidur akan membuat pusing di kepalanya lebih baik. Ares melangkah, memutuskan untuk menuruni tangga gedung menuju parkiran mobil. Mungkin mobil adalah tempat yang tepat saat ini. Sepi dan sunyi. Cukup pas untuk menenangkan dirinya. Baru tiga anak tangga yang Ares turuni, tiba-tiba seorang wanita berambut kemerahan  seperti singa menghambur ke kakinya. "WAAAAA!!!" "AAWWW! Damn!! My balls!!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD