"Kamu sudah mau berangkat sekarang? Sepagi ini?" tanya Bara begitu melihat Danira yang sudah siap, begitu juga dengan oleh-olehnya seperti biasa.
"Iya, sarapan sudah saya siapkan."
Terlepas dari pernikahan mereka yang mungkin sebenarnya tak jelas mau di bawa kemana. Danira masih mau sedikit bertanggung jawab sebagai seorang isteri, yaitu menyiapkan sarapan dan makan malam Bara. Tapi hanya itu, untuk urusan baju Bara dan membersihkan rumah Danira lepas tangan. Dia sudah cukup lelah bekerja di kantor sebagai sekertaris Bara.
"Ya sudah hati-hati, maaf saya tidak akan mengantar kamu."
Danira hanya mengangguk, ia lalu segera memasuki mobil setelah memasukan mainan untuk Zio ke bagasi. Ia lalu menjalankannya menuju rumah orang tuanya. Butuh waktu dua jam untuk ia sampai ke rumah di mana anak dan orang tuanya tinggal.
Danira tersenyum menatap foto Zio yang ia letakan di dekat kemudi. Zio pasti senang dengan mobil-mobilan baru yang ia belikan untuknya nanti. Hanya dengan cara itulah dia bisa mencurahkan kasih sayangnya, karena tak mempunyai banyak waktu untuk menemani hari-harinya. Danira harus bekerja, tidak hanya demi uang, tapi demi dia juga.
"Mamaaaa...."
Zio yang sedang bermain di depan rumah segera berlari ke arah Danira saat baru saja turun dari mobil.
Danira segera berjongkok menyambut pelukan sang anak.
"Ziooo..., Mama kangen banget sayang." Ucap Danira, menciumi pipi Zio dengan gemas.
"Zio juga."
"Mama bawa sesuatu lho buat, bentar ya Mama ambil dulu."
Zio berteriak girang saat Danira menurunkan miniatur mobil yang bisa di naiki itu.
"Kamu beli mobil-mobilan lagi Ra?" tanya sang Ibu sambil menyerahkan minuman untuk Danira.
"Iya Ma, memangnya apalagi yang bisa aku kasih buat Zio."
Sang Ibu menepuk dan mengelus punggung sang anak.
"Kamu sedang berusaha Ra, semoga saja segala yang kamu harapkan untuk Zio bisa segera terwujud."
"Iya Ma, bantu doa ya."
"Pasti Ra, cuma Mama suka khawatir kalau lihat Papa kamu yang belum bisa ikhlas sama keputusan kamu menikah denan Bara."
"Tapi Papa sehat kan Ma?" tanya Danira khawatir.
"Sehat Ra, sekarang beliau lebih suka berada di toko-toko kamu dari pada ngurusin pekerjaannya sendiri."
"Nggak apa-apa Ma, biarin aja asal Papa bahagia."
"Papa kamu justru sedang khawatir sama kebahagiaan kamu Ra, dia takut kamu juga akan di buat patah hati sama Bara."
"Nggak usah khawatir, patah hati itu kan karena cinta Ma, sedangkan Danira nggak punya rasa itu ke Bara."
"Tidak, atau belum Ra?"
Danira tak menjawab, dia tak mungkin mengatakan perbuatan tak senonoh Bara yang membuatnya tak mungkin mencintai lelaki itu.
"Tahun depan Zio sudah harus masuk sekolah Ra."
"Iya Ma, Danira tahu. Satu tahun itu masih lama."
Saat berada di rumah, Danira tak sedikitpun melewatkan waktu bersama Zio, mulai dari mengajak anaknya itu jalan-jalan dan membeli makanan yang di suka. Menemani Zio bersepeda di taman, hingga malam harinya ia menemani dan membacakan dongeng hingga doa-doa pendek untuk puteranya itu.
Danira tengah serius mengajari Zio menghafal doa-doa pendek kala ponselnya tak henti berdering.
"Mamaa, angkat dulu berisik," protes Zio.
"Iya sayang, sebentar ya."
Danira lalu mengambil ponsel yang tergeletak di nakas. Sebuah kontak yang ia beri nama Dendam MemBara terlihat telah berkali-kali melakukan panggilan pada ponselnya. Dengan berat hati Danira menelpon balik nomor itu.
"Halo, ada apa?"
"Kamu menginap Ra?"
"Iya, besok sore saya baru pulang. Apa ada masalah?"
"Pak Ivan meminta bertemu kamu langsung, terkait proposal yang kamu buat kemarin."
"Memangnya kamu nggak bisa jelasin?"
"Bukan nggak bisa, tapi dia yang nyari-nyari alasan buat ketemu sama kamu."
"Ya sudah, kamu bilang ke dia untuk datang ke kantor lagi hari senin."
"Kok saya Ra, memangnya di sini yang Bosnya siapa? Kamu hubungi sendirilah."
"Ya sudah nanti sa..., "Mama..., jangan lama-lama." Teriak Zio dari tempat tidurnya.
"Itu anak kamu sudah manggil-manghil Ra."
"I...iya."
"Ya sudah kamu urusin dulu. Nanti saya yang kirim pesan ke Pak Ivan."
"Ya sudah terimakasih."
Danira menutup telepon itu lalu kembali pada Zio.
"Siapa yang telepon Ma? Apa itu Papa?" tanya Zio dengan mata berbinar.
Danira tersenyum lalu menatap mata bening Zio.
"I...iya sayang."
"Kok nggak nyariin Zio, nggak ajak ngobrol Zio?" tanya sang anak sedih.
"Papa lagi sibuk sayang, nanti ya Papa pasti ada waktu kok buat ngobrol sama Zio."
Zio mengangguk sedih.
"Sekarang Zio bobo ya, kita berdoa dulu."
Danira mengelus rambut halus Zio hingga anak itu tertidur. Danira menatap wajah tenang sang anak. Wajah yang mengingatkannya pada seseorang karena kemiripan wajah mereka.
***
Bara pulang ke apartemen saat hari sudah menjelang tengah malam. Dia melakukan ini karena tak ada Danira di rumah.
Wanita itu walaupun sedikit saja tak terlihat menyukainya selalu saja cerewet perihal gaya hidup Bara yang menurutnya kotor dan sembarangan, salah satunya adalah tentang kegemarannya tidur dengan wanita yang berbeda setiap minggunya. Beberapa kali Danira mengingatkannya akan bahaya penyakit yang bisa di timbulkan.
Namun Bara tak pernah menggubrisnya, apalagi menurutinya untuk berhenti dari kebiasaan itu. Dan yang membuatnya tertawa adalah ucapan Danira yang mengatakan bagaimana jika semua wanita yang ia tiduri hamil anaknya. Tapi Bara bisa menjamin itu tidak akan terjadi, dirinya selalu bermain aman.
Bara masuk kedalam kamarnya, merebahkan diri ke ranjang setelah sebelumnya ia lebih dulu membersihkan tubuh.
Ranjang di kamarnya terasa dingin tanpa Danira yang biasanya mengisi tempat itu lebih dulu.
Bara mengingat bagaimana ia dulu pertama kali mengenal Danira, wanita itu melamar kerja ke kantornya di usia yang masih terbilang sangat muda dan minim pengalaman. Namun datang di waktu yang tepat, saat baru saja ia kehilangan sekertarisnya karena tiba-tiba mengundurkan diri sehingga mudah sekali untuk Danira yang cakap, pintar, dan cerdas menggantikannya.
Wanita itu mengatakan membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup dia serta anaknya, padahal di biodata lamaran kerjanya wanita itu tercatat, belum pernah menikah. Sehingga Bara menanyakan kebenaran apakah wanita itu tidak berbohong jika sudah mempunyai anak? Dan jawaban jujur wanita itu membuat Bara sedikit menaruh simpatik.
Danira mengatakan jika anak itu hasil dari kelalaian seseorang saat melakukan percintaan. Yaitu hubungan badan di luar pernikahan, seperti yang biasa Bara lakukan. Dugaan Bara, Danira juga dulu biasa melakukan hal seperti dirinya sampai hamil dan punya anak.
Itu terbukti kala beberapa kali dia memergoki dirinya tengah bercumbu dengan wanita di kantornya. Danira terlihat biasa saja, tidak terkejut atau berpura-pura polos dengan memalingkan wajah.
Terlepas dari tubuh Danira sebenarnya terlihat begitu menarik, Bara tak pernah berniat menjadikan Danira menjadi salah satu pelampiasan nafsunya. Mungkin karena di otak kotornya sudah tertanam kalau Danira itu seorang Ibu dan sudah pernah melahirkan, jadi dia tak berselera sama sekali.
Selama ini Bara memang menghindari hal seperti itu terjadi dalam hubungan profesional kerjanya, sehingga sebelumnya ia menggunakan seorang lekaki untuk menjadi sekertarisnya.
Tapi bagi Danira ia memberi pengecualian, dia sangat pintar dan bisa di andalkan. Keistimewaan lainnya adalah, Danira tak pernah berusaha menggodanya seperti wanita lain.
Jika wanita lain di perlihatkan adegan panasnya saat beradu di ranjang mungkin akan langsung memerkosanya saat ia masuk kamar dan menemuinya, karena sudah pasti timbul rangsangan yang sangat luar biasa. Tapi Danira tidak, dia sekuat itu. Apa mungkin dia sudah tak bisa mencintai laki-laki lagi karena pengalaman hidupnya? Bara jadi malu sendiri jika ternyata itu benar. Tontonan yang ia berikan selama ini berarti tak ada gunanya.
Tapi apa iya, wanita selurus Danira seperti itu? Apa Bara perlu mencobanya suati hari nanti untuk membuktikannya?