1. Ranjang Panas Suamiku, bukan Untukku
Danira Anya Widia 23 tahun, membalas tatapan tajam Bara yang tengah menggigit bibirnya menahan nikmat. Wanita yang terbaring di bawah tubuh Bara tak hentinya mengeluarkan suara yang sangat memuakkan untuk Danira dengar.
Bara memang tak bisa melihat apa yang tengah Danira lakukan di kamar sebelah, kaca yang laki-laki itu pasang hanya bisa terlihat dari satu sisi saja yaitu di mana kamarnya berada dengan ranjang panas untuk memanjakan wanita-wanitanya.
Tetapi selalu saja Bara seperti tahu bahwa Danira pasti melihat perbuatannya yang tengah menggagahi tubuh wanita lain.
Albara Gustian Aditama 27 tahun, pria brengsek yang tak lain adalah Bos sekaligus suami dari Danira benar-benar sudah keterlaluan. Dia sengaja menyiksa Danira dengan cara seperti itu untuk membalaskan dendam, karena perbuatan Daniralah dia yang masih sangat senang berpetualang dari ranjang ke ranjang harus menghadap penghulu lebih cepat.
Danira masih ingat peristiwa tiga bulan lalu saat dia dan Bara di panggil ke rumah orang tua Bosnya itu. Di sebabkan oleh dirinya yang memberikan berita sekaligus bukti kebejadan Bara dengan beberapa wanita kepada Ibu dari Bosnya itu.
Bukti yang sudah ia kumpulkan selama dua tahun saat ia bekerja pada laki-laki iti. Bara sangat marah saat itu, karena dia tahu hanya Daniralah yang mengetahui apa yang biasa ia lakukan di kantor dengan beberapa wanita seksi yang dengan suka rela datang ke padanya. Tapi untuk memecatnya Bara sudah tak punya kuasa, orang tuanya mengancam akan memberikan kedudukan Bara pada Danira seandainya ia berani memecat atau berbuat kasar pada Danira.
Kemarahan Bara bertambah berkali lipat saat beberapa hari kemudian orang tuanya memutuskan untuk menyuruh Bara menikah dengan dirinya. Sesuatu yang tentu saja mengejutkan untuk Bara, tapi tidak bagi Danira.
"Siapa lagi yang mau menikah sama kamu jika tahu kelakuan kamu yang begini Bar, kalau bukan Danira. Uang kamu banyak tapi kelakuan minus kamu ini, paling mentok cuma dapat isteri yang hanya mau memanfaatkan uang yang kamu punya saja. Dan Mama nggak rela, kerja keras mendiang Papamu dulu sia-sia hanya karena ulah memalukan kamu ini. Kamu harus menikahi Danira, selain dia tahu kamu luar dalam, dia juga bisa bantu urus perusahaan."
Air mata sang Ibu yang keluar kala itu membuat Bara terpaksa menuruti perintah Ibunya, dan menikahi Danira satu bulan kemudian. Tapi jangan harap hanya karena menikahi Danira bisa mengubah sifat dan kebiasaannya.
Tidak hanya karena masalah Danira adalah sekertaris yang cepu padanya, yang membuat Bara tak menyukai wanita itu. Sesuatu yang membuat Bara berat menikahi Danira adalah karena dia tahu Danira itu Ibu dari seorang anak. Bukan karena Bara memandang buruk status Danira yang mempunyai anak di luar pernikahan, karena diapun bukan orang yang baik dalam hal itu. Tapi alasannya adalah, Bara tidak menyukai anak-anak. Walaupun dia suka bermain wanita tapi dia selalu main aman. Itu yang dia tahu.
Danira memejamkan mata sesaat sebelum mengalihkan pandangan dari dua orang yang tengah asyik bergumul di tempat tidur itu.
Dia lalu mengambil sebuah buku dan memasang earphone di telinganya.
Apa saat ini Danira marah dan cemburu melihat apa yang tengah Bara lakukan? Jawabannya adalah tidak. Tujuan ia mau menikah dengan Bara bukan karena ia menyukai pria tampan itu, dia juga tak mengincar harta Bara sehingga ia tak pernah protes seberapa mahal sang suami membayar para wanitanya. Gaji pokok dari perusahaan dan juga hasil dari usaha sampingannya sudah lebih dari cukup untuk biaya hidup Danira dan anaknya. Dia punya alasan lain mengapa sampai menggiring momen di mana orang tua Bara akhirnya menyuruh sang anak menikahinya.
"Ra, saya lapar."
Dengan tak tahu diri Bara masuk ke kamar yang biasa mereka tempati, lelaki itu terlihat sudah membersihkan tubuh dan berganti pakaian. Dia lalu mencopot earphone yang menyumpal dua telinga Danira.
"Ra..., saya lapar. Kamu masak apa?" tanyanya lagi.
"Saya belum masak." Jawab Danira ketus.
"Kenapa? Bahan makanan habis, atau kamu sudah tidak punya uang lagi?"
Danira meletakkan dengan keras buku yang sedang ia baca ke atas kasur.
"Kenapa kamu bilang? Pintu kamar kamu kunci dari luar kalau lupa."
"Oh iya, maaf saya lupa. Sekarang masak, perut saya lapar habis bekerja keras."
Danira mendengus, dia tidak perduli dengan apa yang telah Bara lakukan. Dirinya juga lapar, belum sempat makan malam sehabis pulang dari kantor. Bahkan siang tadi pun ia melewatkannya karena terlalu sibuk. Sialnya setelah ia selesai mandi tiba-tiba kamarnya sudah di kunci dari luar. Sengaja bara lakukan, seperti biasa hanya untuk mempertontonkan perbuatan bejadnya. Hal itu sudah Bara lakukan selama dua bulan pernikahannya dengan waktu tidak kurang dari satu kali setiap minggunya.
Laki-laki itu sudah tak takut jika ia melaporkan perbuatan itu lagi pada orang tuanya. Dia mengancam akan meniduri Danira semalam suntuk jika ia sampai melaporkannya, walaupun dengan hinaan ia pasti akan dengan terpaksa melakukannya karena sesungguhnya tak tertarik dengan tubuh seorang wanita yang sudah mempunyai anak seperti dirinya. Hal itu membuat Danira menyerah, toh apa yang menjadi tujuannya sudah tercapai.
Karena malas Danira hanya membuat dua mie instan dengan berbagai isian yang ia cemplungkan asal, perutnya sudah sangat lapar.
"Kenapa mie instan Ra, kamu kan tahu saya tidak suka mie?" tanya Bara menatap malas makanan yang ada di depannya.
"Lagi ngirit," jawab Danira asal.
Bara memang tidak menyukai makanan instan seperti itu, dan Danira sengaja memasaknya.
"Kalau kamu mau makan satu ekor sapi setiap hari saya juga mampu membelinya Ra, nggak usah ngawur."
"Saya lagi malas masak yang ribet, capek."
Arkan tersenyum meremehkan.
"Masa capek sih Ra? Padahal saya sudah dengan baik hati mengurangi pekerjaan melelahkan kamu sebagai seorang isteri dengan di wakilkan sama wanita tadi."
"Lalu kenapa tadi nggak minta di buatkan makanan sekalian?" tanya Danira kesal.
"Ck, kamu kira perempuan seperti itu bisa masak Ra? Mereka itu spesialis di atas kasur bukan di dapur."
"Terserah, tapi besok saya mau minta libur." Ucap Danira kala sudah menyelesaikan makannya.
"Kenapa?"
"Mau pulang, saya kangen sama Zio, anak saya."
"Oke, tapi bahan meeting buat besok apa sudah kamu siapkan?"
Danira mengangguk. Mereka memang masih saling profesional dalam urusan pekerjaan. Sebejad-bejadnya Bara, lelaki itu bekerja dengan sangat baik. Dia juga hanya menggunakan uang yang terhitung sebagai gajinya untuk bersenang-senang, termasuk membayar beberapa wanita berbeda setiap minggunya.
Sesuai perjanjian awal, Danira tidak boleh membawa anaknya untuk ikut tinggal di apartemen bersama dia dan Bara. Sebagai gantinya dalam satu minggu Bara membolehkan Danira tak bekerja sehari selain akhir minggu untuk menemui anaknya.
Seorang anak berusia tiga tahunan yang hanya Bara tahu bernama Zio tanpa ia pernah atau ingin melihat rupa wajahnya.
"Mie saya nggak habis Ra, takut sakit perut. Saya akan cari makan di luar saja."
Danira tak menjawab, dia hanya mengambil mangkok Bara yang masih tersisa banyak mie kemudian membuang dan mencuci bersih mangkok itu.
"Saya mau beli makan di tempat makan biasa, apa kamu mau saya belikan juga?"
"Tidak, terimakasih."
Bara segera menyambar kunci mobilnya, ia ingin mencari makanan yang berisi nasi sayur dan lauk. Tadi siang dia belum sempat makan karena sibuk melakukan meeting di luar kantor dengan di temani Danira. Tapi dia tak seberani Danira yang memakan mie dalam keadaan perut kosong. Dia sangat menyayangi tubuhnya.
Setelah kenyang Bara pulang ke apartemennya. Memasuki kamar di mana ia tidur bersama Danira selama dua bulan ini.
Apartemen ini hanya memiliki dua kamar, dan satunya sudah berisi ranjang panas tempat biasa Bara menuntaskan hasratnya. Dan dia merasa risih jika harus tidur di sana.
Walau tak tertarik dengan tubuh Danira, tapi ia merasa berbagi ranjang dengan wanita yang sudah bergelar sebagai isterinya itu lebih baik daripada tidur di tempat bekas ia bercinta dengan wanita jalang tadi.
Bara menatap wajah Danira yang sedang tertidur lelap. Sampai saat ini Bara belum menemukan jawaban mengapa Danira mau menikah dengannya?
Wanita itu tak pernah protes dengan apa yang dirinya lakukan. Dia juga tak menuntut Bara secara materi. Sebagai isteri, Danira terlalu mandiri dan tak peduli padanya. Termasuk pemandangan panas yang ia tunjukkan padanya, seperti tak memberi pengaruh apapun.