Bab 2 - Ini Pasti Karena Kamu Masalahnya

1443 Words
Hanira mengerutkan dahi saat melihat ibunya berdiri tepat di depan pintu rumah mereka dengan kedua tangan terlipat di depan dada dan mata menyorot dingin memandangnya. 'Ada masalah.' Pikiran itu langsung masuk ke kepalanya. Berusaha menunjukkan wajah datar, Hanira mendorong pintu gerbang rumahnya dan memasukkan motornya menuju ke garasi. Mobil ayahnya belum ada, dan itu berarti ayahnya belum pulang. Hanira melepaskan helm dan meletakkannya di tempatnya, berjalan menuju pintu samping garasi yang mengarah langsung menuju rumah, duduk di samping pintu dan melepaskan sepatunya. "Apa yang kamu lakukan sama Austin sampai pernikahan kalian dibatalkan?!" Tanya ibunya dengan nada dingin. Hanira tidak mengangkat kepala, ia memilih untuk meletakkan sepatu ke dalam lemari dan berjalan menuju dapur. Ia benar-benar haus dan butuh minum air dingin saat ini. Ibunya tampak belum selesai dengan masalahnya. Wanita paruh baya itu mengekorinya ke dapur dan terus berdiri di belakangnya. "Ini pasti karena kamu masalahnya?!" Itu jelas bukan pertanyaan, tapi tuduhan. Hanira masih terdiam dan memilih untuk menandaskan air dingin yang ada dalam gelas di tangannya. "Gak mungkin Austin minta pernikahan kalian batal kalo bukan karena kamu yang bikin masalah." Ucap ibunya lagi dengan kesal. Jadi, mantan tunangannya itu sepertinya memutarbalikan fakta dan berkata pada ibunya seolah Hanira yang sudah membatalkan pernikahan mereka? Simpul Hanira dalam hati. Hanira meletakkan gelasnya di atas meja dengan agak kasar sehingga menimbulkan suara sebelum mengalihkan pandangannya pada sang ibu. "Jadi, Mama lebih percaya sama dia daripada aku anak Mama sendiri?" Tanya Hanira kesal. "Apa yang dia bilang sama Mama? Aku yang minta batalin pernikahan ini?" Tanya Hanira lagi. Ibunya memandangnya dengan mata melotot marah, namun mulutnya tak berkata apa-apa. "Bukan aku yang minta pernikahan ini batal. Tapi dia yang mau. Dia yang bilang sama aku kalau dia gak siap nikah." Geram Hanira karena kesal. "Bohong kamu!" Jawab ibunya dengan nada tinggi. "Sejak awal Austin bilang kalau dia suka sama kamu dan dia mau nikah sama kamu. Mana mungkin dia minta pernikahan ini batal. Justru yang sejak awal gak mau nikah itu kamu, jadi pasti kamu yang melakukan segala macam cara untuk membatalkan pernikahan ini. Kamu itu emang egois." Ucap ibunya kejam. Hanira memandang ibunya dengan dingin. Tanpa Hanira minta, ibunya lantas menjelaskan apa yang terjadi tadi siang saat Hanira sedang pergi bekerja. Dari pengakuan ibunya, Austin datang ke rumah dan mengajaknya makan siang bersama di sebuah restoran yang mewah. Austin memperlakukan ibunya dengan sangat sopan dan perhatian—seperti biasanya, sehingga ibunya tidak berpikiran bahwa pertemuan itu akan berakhir dengan tidak menyenangkan. Di tengah pertemuan, setelah makan siang usai, Austin lantas mengatakan maksud pertemuan itu. Bahwa pria itu dan Hanira sudah memutuskan untuk mengakhiri hubungan dan membatalkan pernikahan, dan tentu saja—seperti biasanya—Austin menjadikan Hanira sebagai tersangka dan membuat kesan seolah pernikahan ini batal karena Hanira. Si brengsek itu memang pandai sekali memutarbalikkan fakta. "Dia nangis di depan Mama dan bilang dia menyesal. Dia minta maaf sama Mama karena dia gak bisa jadi mantu Mama padahal dia sangat menginginkan itu. "Dia bilang dia cinta sama kamu, dan dia menyesal karena menurutnya kalian belum berjodoh." Ucap ibunya lagi suara sedih namun tatapan yang menunjukkan amarah kepada Hanira. Hanira mengerutkan dahinya. Ia juga tidak bisa menyembunyikan kekesalannya. Pada Austin yang sudah memutarbalikkan fakta dan pada ibunya yang lebih percaya pada pria brengsek seperti mantan tunangannya itu. Pria itu yang ingin membatalkan pernikahan, tapi sekarang kenapa Hanira yang disalahkan? "Sekarang Mama gak mau tau, kamu bilang aja sama Papa kamu kenapa pernikahan kalian sampai batal. Mama gak mau kena amuk Papa kamu." Ucapnya dengan nada mengancam dan setelah itu meninggalkan Hanira begitu saja yang masih membisu tanpa bisa berkata apa-apa. Bukannya Hanira tidak bisa melawan, tapi untuk apa? Apapun yang ia katakan jelas tidak akan didengar oleh ibunya. Ibunya selama ini sangat menyukai Austin dan tentu saja dia akan lebih percaya pada Austin daripada Hanira. Hanira malah merasa menyesal, kenapa tidak ia mengatakan semuanya pada orangtuanya setelah ia pulang dari tempat April saat itu? Kenapa ia mengulur waktu dan menunggu Austin bicara lebih dulu? Baiklah, alasannya sederhana. Bukan karena Hanira takut dimarahi atau takut dianggap pengecut. Hanira hanya ingin si pembuat masalah menyelesaikan masalah yang dia buat. Karena sejak awal, dia tidak menginginkan pernikahan ini, maka ia tahu kalau ia yang bicara lebih dulu, orangtuanya akan marah padanya dan menuduhnya melakukan segala macam cara untuk membuat pernikahan ini batal, persis seperti yang dituduhkan ibunya padanya beberapa saat lalu. Kalau tahu akhirnya akan tetap seperti ini juga, Hanira lebih memilih mengatakannya sejak awal sehingga tuduhan ibunya tidak akan terasa semenyakitkan ini di telinga. Flashback "Apalagi yang kamu tunggu? Usia kamu itu udah gak muda lagi, Nira." Ucap ibunya dengan tatapan kesal selepas kepulangan Austin dari rumahnya. "Ma, Nira masih dua lima. Diluaran sana masih banyak cewek yang belum nikah yang bahkan usianya udah lebih tua dari Nira. Agnes Monica aja sampe sekarang masih betah sendirian." "Lah, kamu itu siapa sampai mau bandingin diri kamu sama Agnes Monica?" Tanya ibunya nyinyir. "Agnes jelas masih lajang karena dia ngejar karir. Kamu? Apa yang mau kamu kejar? Kamu gak akan berubah jadi direktur dalam satu dua tahun kan?" Tanya ibunya lagi dengan ketus. "Ya tetep aja, sekalipun gak jadi direktur, siapa tahu besok lusa Nira naik jabatan trus dapet gaji tinggi." Jawabnya dengan santainya. "Ma, Nira itu capek. Nira pengen punya waktu buat menikmati hidup Nira sendiri. Selama ini waktu Nira udah habis buat sekolah, les, kuliah dan sekarang kerja. Biarin Nira nikmati hidup Nira dulu sampai Nira siap terikat." "Bukan hidup namanya kalo gak capek, Nira. Orang mati aja urusannya tetap gak selesai, apalagi kita yang masih hidup. "Emangnya kamu gak iri sama temen-temen yang seusia kamu? Misalnya si Nur, dia udah nikah, dan anaknya udah tiga sekarang. Kamu gak mau juga emang punya anak?" "Ya jangan bandingin Nira sama si Nur dong Ma. Dia emang temen Nira, tapi Mama tahu kalo di aitu lulus SMP aja enggak. Kalo Mama mau Nira kayak si Nur, kenapa dulu Mama nyekolahin Nira? Kenapa biarin Nira masuk SMP sampe sarjana. "Kalo Mama emang mau Nira sama kayak si Nur, nikahin Nira dari dulu." "Ya Mama kan mau kamu punya kehidupan yang lebih baik." Kilah ibunya. "Dan sekarang, Nira mau kehidupan yang lebih baik, Mama gak suka. Mama maunya Nira terjebak sama urusan rumah tangga, ngurus anak, ngurus suami. Gitu?" "Ya itu kan kodratnya perempuan." Jawab ibunya lagi, masih gak mau kalah. Hanira menggelengkan kepala. "Gak ada yang namanya kodrat perempuan, Ma. Kodratnya perempuan itu, haid, melahirkan, menyusui." Hanira juga tak mau kalah. "Pokoknya, Mama gak mau tahu. Kamu harus nikah secepatnya. Titik." Ucap ibunya seraya melangkah menjauhi Hanira. "Kalo gak mau nikah, ngapain juga pacaran lama-lama, ya udah, jomblo aja." Gerutu ibunya dengan lantang yang masih bisa Hanira dengar. Flashback Off. Lagipula siapa yang mau pacaran dengan Austin? Batin Hanira kesal seraya membanting tasnya ke atas tempat tidur. Ibunya yang selama ini memaksa Hanira untuk menerima Austin, bukan dia. Dan ibunya juga yang meminta pernikahan ini disegerakan. Sementara Hanira? Selama ini yang dilakukannya adalah berusaha menerima keadaan. Dua tahun lamanya menjalin hubungan dengan Austin, Hanira belum merasakan momen berharga dengan pria itu. Rasanya semuanya datar-datar saja. Tidak ada perasaan menggebu-gebu, tidak ada debaran jantung yang bisa membuatnya salah tingkah. Tidak ada rasa apapun sama sekali. Bisa dikatakan, Hanira bahkan tidak merasa sedih ataupun ingin menangis saat Austin mengatakan ingin membatalkan pernikahan. Dia justru merasa malu dan bingung harus mengatakan apa pada ibunya, karena seperti yang sudah terjadi, ibunya justru menyalahkannya alih-alih mendukungnya. "Dasar sialan! Gue doain loe impoten!" gumamnya marah. Malam harinya, saat makan malam tiba, ibunya masih tidak memberikan respon padanya. Wanita itu bahkan dengan sengaja tidak memandangnya dan sekalipun melihatnya, dia akan langsung mendelik dengan kesal. Hal itu sengaja ibunya lakukan untuk membuat ayahnya tahu bahwa ada 'yang tidak baik-baik saja' di rumah sehingga nanti ayahnya akan bertanya, "Kenapa?" dengan nada malasnya yang biasa. "Anak Papa, bikin masalah lagi." Ucap ibunya dengan ketus seraya menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Ayahnya berjengit, memandang ibu Hanira sebelum kemudian memandang Hanira. "Kamu bikin masalah apalagi, kak?" tanya ayahnya masih dengan santainya. Hanira hendak membuka mulut untuk bicara, namun ibunya menyelanya dan langsung bicara dengan nada berapi-api seperti sebelumnya. Menceritakan hal yang sama seperti yang dilakukannya pada Hanira saat sore tadi. Dan kembali, menyalahkan Hanira sebagai penyebab batalnya pernikahan itu. Hanira mencoba memperhatikan ekspresi ayahnya, takut kalau-kalau Ayahnya balik marah padanya karena percaya dengan ucapan ibunya. Selama ibunya bercerita, ayahnya fokus memandang ibunya sambil sesekali menyuapkan makanan ke dalam mulutnya dan mengunyah. Tidak memberikan tanggapan apapun sampai akhirnya ibunya selesai meluapkan semua keluh kesahnya. Saat ibunya selesai, barulah ayahnya memandang Hanira. Hanira sudah siap mendengar apapun, namun ia terkejut saat ayahnya berkata, "Ya mau bagaimana lagi?" dengan santainya. "Mungkin mereka memang bukan jodohnya, Ma."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD