Part 3 - Mereka Gak Menikah, Berarti Bukan Jodohnya

1306 Words
"Bukan jodohnya gimana maksud Papa?!" Ibunya memandang ayah Hanira dengan kesal. Ayahnya, masih saja menunjukkan ekspresi datarnya. "Iya bukan jodohnya Hanira, mau gimana lagi?" Tanya ayahnya balik memandang ibunya. "Kalau memang jodohnya, gak mungkin ada pembatalan pernikahan, kan?" Tanya ayahnya dengan logis. Bukannya merespon ucapan ayahnya dengan positif, Ibunya malah memandang Hanira dengan tatapan sinis. "Kalo memang gak mau nikah, kenapa harus ngerencanain pernikahan?" Tanya ibunya dengan ketus. "Loh, kok Mama balik nyalahin Nira?" Tanya Hanira dengan ketus. "Yang mau Nira deket dengan 'anak temen baik Mama' sejak awal siapa? Mama." Jawab Hanira dengan nada yang ia ucap sesopan mungkin. "Yang mau hubungan naik ke jenjang serius juga siapa? Mama sama temen Mama itu." Lanjutnya memandang ibunya dengan tatapan menantang. "Yang minta kita nikah cepat-cepat siapa? Mama juga sama temen Mama. "Nira sejak awal gak pernah mau nikah sama dia." "Kalo gitu, kenapa kamu mau pacaran sama dia?" Tanya ibunya ketus. "Karena Nira bosan sama ocehan Mama. Mama yang gak mau berhenti nyuruh Nira buat keluar sama dia tiap malam minggu padahal yang Nira mau itu istirahat di rumah." "Kalo kamu emang gak mau sama dia, kenapa kalian jalanin hubungan selama dua tahun ini?" "Karena Mama yang maksa Nira buat terus bertahan sama dia setelah Nira bilang hubungan kami putus." Jawab Hanira lagi. "Mama bilang, 'wajar, namanya dalam hubungan ada cekcok. Maafin aja, besok lusa juga dia bakalan baik-baik aja.' Padahal hubungan kami bukan Cuma ada cekcok, tapi memang gak pernah cocok dari awal. Mama yang maksain keadaan terus." Jawab Hanira dengan suara yang masih bisa ia kendalikan. "Trus kenapa kamu mau dilamar sama dia?" "Mama lupa apa yang Mama bilang sama Nira? Kalo Nira gak mau nerima dia sebagai tunangan Nira, Mama gak mau akuin Nira jadi anak Mama. Dua minggu Mama aksi diam sama Nira sampai Nira mau gak mau nurutin kemauan Mama." Jawab Hanira lagi. Ayahnya hanya diam dan menikmati makan malamnya seolah tidak ada pembicaraan genting antara ibu dan anak di meja. "Pa, lihat gimana anak kamu ini." Ibunya lantas memandang ayahnya untuk meminta dukungan. Ayah Hanira lantas meletakkan sendok dan memandang istrinya dengan tatapan datarnya. "Hanira gak salah, Ma. Semua yang dia bilang itu bener." Ucap ayahnya dengan suara tenangnya seperti biasa yang membuat Hanira harus memaksakan diri menahan senyum lebar ataupun bersorak karena ada seseorang yang membelanya. "Hubungan Hanira dan Austin memang sejak awal terlalu Mama paksakan. Sejak awal Papa udah ngasih saran sama Mama supaya jangan memaksakan diri dan juga sejak awal Papa bilang kalo Papa gak setuju Hanira nikah cepat-cepat. Mama yang terlalu memaksa Hanira untuk mau sama Austin." Lanjut ayahnya yang membuat ibu Hanira menganga tak percaya. Ayahnya kembali mengambil sendok dan menyuapkan makanan ke dalam mulutnya seolah perbincangan ini bukanlah perbincangan yang genting. Padahal awalnya Hanira menduga kalau ayahnya juga akan memarahinya seperti yang ibunya lakukan, tapi ternyata dugaannya salah. Ia memandang ayahnya dengan tatapan kekaguman yang tak bisa ia ungkapkan. "Lagian Mama jangan nyalahin anak sendiri kayak gitu. Mama jangan terlalu percaya sama anak orang. Austin bukan anak yang Mama besarkan sendiri, Austin jadi Mama gak tahu seperti apa karakter dia aslinya, sementara Hanira anak Mama sendiri. Mama udah tahu bagaimana jelek dan baiknya dia. "Coba Mama ingat-ingat sendiri, apa selama ini pernah Hanira bikin Mama malu secara sengaja?" Ucap ayahnya lagi. "Hanira begini karena Papa yang selalu belain dia." Ucap ibunya kesal. "Papa bukan belain Hanira. Papa juga bukan nyalahin Mama. Papa Cuma punya sudut pandang yang berbeda aja." Ucap ayahnya dengan tenang. "Mama sejak awal menggebu-gebu mau Hanira deket sama Austin. Hanira udah coba nerima kemauan Mama, bukankah itu tandanya dia sayang sama Mama? Dia nurut sama Mama. Sekalipun dia gak mau sama Austin, dia gak pernah merusak nama baik keluarga kita dengan melakukan tindakan bodoh. "Papa juga udah bilang sama Mama kalo Papa gak setuju saat mama nuntut Austin untuk segera lamar Hanira. Hanira mungkin menolak Austin karena dia gak punya perasaan sama Austin. Tapi Papa, Papa udah bilang sama Mama kalo dalam pandangan Papa, Austin itu belum mapan secara ekonomi dan juga mental. Dan Mama gak mau nerima hal itu dan tetap memaksakan hubungan ini. Bilang bahwa rejeki bisa dicari karena kita dulu memulai rumah tangga dari nol. "Mama juga terlalu dengerin apa kata orang sampai Mama maksa Hanira harus segera menikah hanya karena Hanira sudah berusia dua lima. Mama malu anak Mama belum menikah sementara anak orang lain sudah, tapi Mama gak lihat kalo anak yang lain yang sudah menikah justru dengan percaya dirinya mengaku kalau mereka hamil di luar nikah." Ucap ayahnya lagi dengan nada dingin yang membuat ibunya membeku dan tak bisa berkata-kata. Ayah Hanira bukan tipe orang yang banyak bicara. Biasanya, jika beliau berbicara sebanyak ini, itu berarti beliau sedang mengeluarkan semua uneg-uneg yang beliau tahan selama ini. "Papa lebih percaya sama anak Papa daripada anak orang lain. Terserah kalo Mama emang mau percaya sama si Austin itu. Jadi kalau sekarang anak temen Mama itu memutuskan membatalkan pernikahan, jelas itu salahnya dia, salahnya Mama sama temen Mama." "Kenapa Papa jadi nyalahin Mama sama Jani?" Tanya ibunya kesal. "Karena kalian berdua yang memaksakan pernikahan ini." Jawab ayah Hanira datar. "Kalau sejak awal Hanira bilang gak mau, gak akan begini kejadiannya." Ibunya balik menuduh Hanira. Hanira dan ayahnya memandang ibunya dengan sebelah alis terangkat. "Kamu gak berusaha sekuat tenaga buat menolak pernikahan ini. Papa juga gak sekeras itu untuk nolak pernikahan ini." Ucap ibunya lagi yang membuat Hanira ingin tertawa lepas karena merasa miris. Miris karena ibunya masih saja tak mau disalahkan padahal sudah terbukti bersalah sejak awal. "Udahlah, gak usah diperpanjang. Mereka gak menikah berarti emang bukan jodohnya." Ucap Ayahnya seraya meletakkan sendok di atas piring dalam kondisi terbalik yang berarti beliau sudah selesai makan. "Kalau memang Austin mencintai Hanira. Kalau memang menurut Austin Hanira itu pantas untuk diperjuangkan. Alih-alih menyerah, dia akan berupaya untuk membuat Hanira luluh sehingga mereka bisa terus bersama. "Tapi yang dia lakukan justru 'membatalkan' alih-alih 'menunda'. Itu berarti dia memang tidak berniat untuk berjuang. Atau mungkin dia memang sudah lelah dengan anak kita. Atau.." ayahnya memandang Hanira. "sama seperti Hanira, dia juga tidak siap untuk menikah. Tapi gak mau disalahkan sehingga menjadikan anak kita sebagai kambing hitam." Lanjutnya yang membuat Hanira mengangguk dengan senyum terkulum karena bahagia. "Dan jujur Papa bilang, Papa lebih bersyukur Hanira batal menikah sekarang, daripada nanti pernikahan mereka bubar di tengah-tengah. Bukankah akan lebih malu kalo nanti anak kita disebut sebagai 'janda muda'?" Ucap Ayahnya seraya mengedikkan bahu. "Kalian ini emang sekongkol, iya kan?" Desis ibunya lagi dengan marah. "Bukan sekongkol, Ma. Tapi mungkin inilah pilihan yang terbaik yang dibuat Tuhan buat Hanira. Lagipula apa sih yang Mama banggakan dari Austin? Karena dia anak temen Mama? Karena dia anak orang kaya? "Dia memang kaya, tapi dia bukan seorang pekerja keras. Saat ini dia masih hidup dengan mengandalkan uang orangtuanya, apa yang bisa dia kasih untuk anak kita di masa depan nanti? "Pernikahan kita memang dimulai dari nol, tapi Papa berusaha sebisa mungkin untuk membahagiakan kalian. Papa bekerja keras supaya kalian bisa hidup nyaman. Sementara Austin? Kalau sekarang dia terbiasa menadahkan tangan, saat nanti orangtuanya gak punya apa-apa, dia mau ngasih anak kita apa? "Mama mau Hanira bekerja keras sendirian sementara suaminya ongkang-ongkang kaki di rumah dan nadah terus sama anak kita?" Tanya ayahnya yang membuat ibunya kembali terdiam. Hanira memandang ayahnya dengan dahi berkerut dalam. Ia tahu, pasti ada yang ayahnya sembunyikan dari dirinya dan juga ibunya. Hanira jadi curiga. Bisa saja, alasan kenapa Austin membatalkan pernikahan ini bukan semata-mata karena pria itu belum siap menikahinya. Tapi bisa saja itu ada campur tangan ayahnya. Tapi apapun itu. Benar atau tidaknya ayahnya dalang dibalik semua batalnya pernikahan ini, Hanira hanya bisa mengucap bahagia. Akhirnya, ia bisa lepas dari masa depan yang tidak jelas. "Lalu apa yang akan kita lakukan dengan semua uang yang sudah kita keluarkan? Apa yang akan Mama lakukan pada Jani nanti?" Rengek ibunya pada Hanira dan ayahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD