Part 1

1051 Words
Suara ketukan pintu terdengar jelas di telinga Lily yang sedang menyapu lantai. Ketukan pintu di sebuah rumah susun padat itu terdengar seperti bukan ketukan yang normal. Pasalnya, ketukan pintu tersebut sangat keras dan menggebu-gebu. Tok... Tok... Tok... Tok... "Buka pintunya, cepat!" "Jangan basa-basi lagi! Bayar hutangmu Rena, Reno!" Tok... Tok... Tok... Tok... "Kau buka pintu ini atau kami yang buka hingga rusak?" "Cepat! Buka pintunya dan bayar hutangmu!" Suara anak buah rentenir lintah darat itu kembali bergema dengan kata-kata yang mengancam. Rena yaitu ibu dari Lily meminta Lily untuk menemui anak buah rentenir tersebut. Keluarga Rena memang berhutang banyak dengan rentenir. Mereka meminjam uang dengan jumlah yang besar untuk modal usaha namun tidak berhasil karena kalah saing dengan penjual lain. Alhasil, mereka malah gulung tikar dan kebingungan untuk melunasi hutang mereka. "Lily, cepat kau saja yang menghadapi mereka. Ibu tak sanggup lagi." "Apakah Ibu akan membayar hutangnya?" "Uang dari mana? Aku tak punya uang, begitupun dengan Ayahmu yang kerjaannya tidur begitu." "T-Tapi, Bu—" "Kau saja yang menemui mereka!" paksa Rena. "Apa yang harus aku katakan pada mereka, Bu?" "Ya, kau bilang saja kalau Ibu dan Ayah sedang tidak berada di rumah. Kau bilang saja bahwa kita akan melunasi hutang-hutang itu sebentar lagi. Cepat!" ucap Rena meminta Lily untuk menghadapi anak buah lintah darat tersebut. Mau tak mau akhirnya Lily menuruti apa yang sang ibu katakan. Dengan langkah yang gemetar, Lily mulai meraih gagang pintu dan membukanya. Terlihat di depannya berdiri dua pria gagah yang mengenakan jaket kulit dengan tatapan matanya yang mengerikan. Lily menelan salivanya kasar saat berhadapan dengan dua sosok pria itu. "Nah, akhirnya dibuka juga pintunya." ucap anak buah rentenir yang pertama. "Sejak tadi kami berdua mengetuk pintumu baru sekarang kau membukanya? Apakah kau tak punya telinga untuk mendengar suara ketukan pintu ini? Kau tahu? Kau sangat menyusahkan!" cerca anak buah rentenir yang kedua. "Maafkan aku, Pak. Aku dan kedua orang tuaku belum punya uang untuk saat ini. Namun secepatnya kami akan melunasi hutang-hutang kami." kata Lily dengan nada yang rendah sembari menunduk karena takut. Dan benar saja, anak buah rentenir itu tiba-tiba saja menonjok dinding rumah Lily yang membuat gadis itu terkejut. Deg! "Aku sudah tidak percaya lagi dengan kata-katamu itu! Kau dan peminjam uang lainnya selalu beralasan seperti itu. Kapan mau bayarnya kalau kau beralasan begitu terus?" "Aku tidak tahu, Pak," jawab Lily bingung, "tolong berikan waktu lebih lama lagi untuk melunasi hutang-hutang kami." "Kami sudah memberikan waktu yang banyak untuk keluargamu melunasi hutang. Namun kalian tidak melunasi hutang-hutang kalian. Kalian hanya bisa beralasan dan mengulur waktu menjadi lebih lama seperti ini. Aku tak tahu lagi harus mengatakan apa!" "Maaf..." "Aku tak butuh maaf darimu, yang aku butuhkan adalah bayar utangmu!" kata anak buah rentenir itu dengan nada yang keras lalu ia menanyakan dimana keberadaan kedua orang tua Lily, "oh, ya, mengapa kau lagi yang datang membukakan pintu? Mengapa tidak orang tuamu? Dimana mereka? Aku ingin bertemu dengannya." Deg! Hati Lily berkecamuk dengan keadaan yang menimpanya sekarang. Ia bingung harus mengatakan apa. Lebih tepatnya, Lily tak ingin berbohong kepada anak buah rentenir itu. Jika ia bohong, Lily akan merasa bersalah pada seseorang yang ia bohongi. Ia memang gadis yang polos. "Hei, gadis?! Apakah kau tak mendengar apa yang aku katakan kepadamu?" panggil anak buah rentenir tersebut, "aku bertanya padamu dimana keberadaan orang tuamu sekarang ini. Namun mengapa kau malah diam seperti orang kebingungan begitu? Apakah kau tak mendengarkan aku?" "Eh? I-Iya, Pak, maaf. Aku tentu saja mendengar apa yang kau katakan." "Lalu, dimana kedua orang tuamu sekarang? Tolong ya, kau jangan memperlambat waktu kami. Kami ke sini sudah setengah jam, terlebih lagi kau malah tak membayar hutang." "Iya, Pak." "Iya-iya saja kerjamu. Mana orang tuamu?" Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Aku akan menjawab apa perkataan beliau? Batin Lily bingung. Tepat pada saat itu tiba-tiba saja salah satu anak buah rentenir itu mendapatkan telepon. Lily hanya bisa diam dan menunggu anak buah rentenir itu menyelesaikan teleponnya tanpa mau tahu topik pembicaraan mereka. "Halo, ada apa, Tuan? Saya sedang menagih hutang-hutang." "Kau cepat ke kantor, ada sesuatu hal yang perlu dibicarakan." ucap seseorang di balik ponsel. "Sesuatu hal apa, Tuan?" "Kita akan merekap data-data peminjam uang dan menghitung jumlahnya. Semua penagih sudah aku beritahu termasuk kau, jadi tolong kau cepat ke sini karena kegiatan akan segera dimulai." "Oh, baik, Tuan. Saya akan segera ke sana." "Ya, cepat!" "Siap, Tuan!" Sambungan telepon terputus secara sepihak. Anak buah rentenir itu memberitahukan kepada rekannya bahwa mereka diperintahkan untuk menemui bos mereka karena akan merekap data-data beserta dengan anak buah yang lainnya. "Apa yang Bos katakan?" "Dia memerintahkan kita untuk segera pergi ke kantor karena akan ada perekapan data-data peminjam." "Lalu bagaimana dengan tagihan mereka yang belum tuntas? Akan kah kita menagih mereka terlebih dahulu lalu baru kita pergi kantor?" "Tidak, kata Bos kita harus segera ke kantor. Untuk soal tagihan nanti akan kita lanjutkan esok hari." "Baiklah." "Hei, Nona!" panggil anak buah rentenir itu. "I-Iya, Pak?" "Untuk saat ini masih kami maklumi jika kau belum punya uang. Kami ada tugas dari atasan untuk merekap data jadinya kami tidak bisa melanjutkan perdebatan ini. Kami masih memaklumi, namun jangan kau lupakan hutang orang tuamu itu! Kami akan datang lagi esok hari. Kau mengerti?" jelas anak buah rentenir tersebut, Lily pun mengangguk mengiyakan apa yang dikatakannya. Dalam hati Lily tentu saja dirinya lega karena anak buah rentenir itu masih memberikannya kesempatan di lain waktu untuk membayar hutang. "Kami pergi, jangan lupakan hutang orang tuamu itu. Katakan pada mereka bahwa kami akan menagih esok hari." "Baik, Pak." *** Lily menutup pintu rumah sembari menghela napas lega. Perdebatan dengan orang yang lebih tua terkadang memang menakutkan. Terlebih lagi mereka membawa teman yang juga mempunyai sifat keras seperti mereka. Lily mendengar suara tangisan lirih dengan keluh kesah Rena dari balik pintu kamar sang ibu. Lily mendengar tangisan Rena tentang kesusahan ekonomi yang keluarga mereka rasakan.  “Kapan hidupku bisa tenang, ya? Setiap hari selalu saja ada rentenir yang menagih hutang. Aku tidak dapat membayar hutang-hutang dengan tagihan sebanyak itu. Bagaimana aku membayarnya, pekerjaan pun tidak ada. Untuk makan pun susah.” Mendengarnya Lily hanya bisa tersenyum kecut. Ia sangat kasihan kepada ibunya, namun ia bisa membantu apa? Lily juga tidak mempunyai pekerjaan karena masih berstatus sebagai pelajar. Lily hanya bisa harap, keajaiban akan muncul dan merubah kehidupan dirinya beserta keluarganya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD