13. Lost Her Home

1285 Words
Adri mendudukan tubuhnya pada kursi empuk salah satu coffee shop di Bandara Soekarno Hatta. Dia dan Rully memutuskan untuk beristirahat sejenak sebelum pulang kerumah masing-masing.   Rully menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa. "Adrianni, c   cepat pesankan saya kopi!" serbu Rully ketika melihat Adri hanya duduk santai didepannya.   Adri mengembungkan pipinya dan menggerutu kecil sambil berjalan menuju tempat memesan. "Saya pesan satu americano dan satu cookie dough frappuccino." suaranya terdengar lesu.   Bagaimana tidak? dia tidak bisa tidur semalam setelah Rully menciumnya. Lalu dia terpaksa harus bangun sangat pagi untuk mempersiapkan kepulangannya ditambah mempersiapkan keperluan Rully. Dan sekarang, baru saja kakinya menginjakan lantai bandara, Rully sudah memerintahnya sesuka hati.   Adri tersenyum kilat setelah membayar sesuai jumlah pesanannya.   Adri meletakkan nampan yang dibawanya dihadapan Rully. Lelaki itu nampak asyik dengan tab yang dibawanya. Benda itu seakan menyedot seluruh perhatian dan fokusnya hingga tidak menggubris kopi yang masih setia mengepulkan uap panasnya.   Drrt...   Adri merogoh tasnya begitu merasakan getaran yang berasal dari handphonenya. Setelah mendapatkan benda tipis tersebut Adri menatapnya sebelum mengangkat panggilan. Mau ngapain sih mereka?   "Ya, halo!" sapanya malas.   "..."   "Hah? Tap—"   "..."   "Tapi mbak Kanya—lho? Halo!! Halo!!"   Rully menatap Adri dengan dahi mengernyit. Adri terlihat gusar sekaligus kesal setelah menerima telfon. Gadis itu berkali-kali mengusap wajahnya dan merutuki handphonenya.   "Adrianni, ada apa?" tanya Rully ketika Adri berdiri dari duduknya dan bersiap menggeret kopernya.   Gadis itu menepuk dahinya. Lupa jika dia tengah bersama bosnya. "Maaf bos! Saya ada urusan," ucap Adri sambil membungkuk memohon maaf.   "Urusan? Urusan apa?" tanya Rully menyelidik.   Adri menepuk sendiri jidatnya. Tidak seharusnya dia menceritakan apapun pada Rully. Yang ada membuat pria itu semakin ingin tau saja.   Adri menggeleng pelan. "Nothing! Tidak ada apa-apa," ucapnya sambil duduk kembali.   Rully mengerutkan dahinya tidak percaya. Adri sangat tidak pandai berbohong. Bahkan, Rully dapat melihat dengan jelas tulisan tercetak jelas di jidat Adri 'GUE LAGI BOHONG!' ck!   "Udah deh, yuk!" ucap Rully lalu beranjak dari kursinya.   Adri yang tengah menyedot minumannya mendongakan wajahnya untuk melihat apa yang tengah dilakukan bosnya. Dapat dia lihat Rully tengah memandangnya dengan horor.   Glup. Adri menelan salivanya. Tatapan Rully begitu mengintimidasinya.   "Cepet bangun, saya anter kamu pulang." ucap Rully datar lalu meninggalkan Adri yang masih berdiam diri diposisinya.   Adri mengedipkan matanya tidak mengerti.   "Adrianni Hanggita!"   Adri terkejut ditempatnya. Dengan segera dia berdiri dan menggeret kopernya mengejar langkah Rully.   "Iya, bos!" serunya sambil berusaha mengejar Rully.   ---   Adri meremas ujung kemejanya bertepatan dengan putaran roda taksi yang ditumpanginya bersama Rully berhenti tepat didepan gedung apartmentnya.   "Eheumm..." Adri berdehem kecil.   Rully? Lelaki itu sedang mengeluarkan dompet untuk membayar sejumlah argo yang tertera.   "Lah, bapak ikut turun?" tanya Adri sambil memperhatikan gerak-gerik Rully yang seperti siap-siap turun.   Setelah Rully menyerahkan uang kepada supir, Rully segera menatap Adri dengan alis terangkat sebelah. "Bukannya tadi saya udah bilang? Saya bakal anterin kamu?" tanya Rully retoris.   Adri menggigit bibirnya lalu akhirnya turun diikuti dengan Rully dibelakangnya. Ya kan nggak perlu sampe ke dalem juga.   Setiap langkah Adri terasa semakin berat. Tapi Rully masih setia melangkah dibelakangnya sambil sesekali memandangi bangunan apartment Adri. Ketika mereka sudah sampai dilantai dimana unit milik Adri terletak, Adri semakin melambatkan langkahnya.   "Adrianni, kenapa kamu jalannya lemas begitu? Kaki kamu masih sakit?" tanya Rully sambil mensejajarkan langkahnya dengan langkah sekretarisnya.   Adri menggeleng. "Sa—saya capek," ujarnya sambil tersenyum kikuk.   Begitu dia berbelok di lorong menuju ke unitnya, dia bahkan bisa melihat sudah ada beberapa kardus tergeletak di depan pintu apartmentnya.   Tuhkan, bencana!   "Yang mana unit punya kamu?" tanya Rully ketika Adri semakin melambatkan langkahnya.   Adri menggeleng sambil terus melenggangkan kakinya menuju pintu apartmentnya. Ketika dia sudah berdiri dihadapannya, dia bisa mendengar suara percakapan dua orang wanita yang begitu dikenalnya.   "Kemana sih si Adri? Ngeselin banget itu anak!" seru seorang wanita dari dalam apartment Adri dan dapat terdengar jelas karena pintunya sedikit terbuka.   Adri menelan ludahnya.   "Pa—pak! Kayaknya bapak mending pu—"   "Adri! Kemana aja sih kamu hah? Kamu sengaja ya kabur dari tante. Tante dari kemaren kesini tapi kamu nggak ada, akhirnya tante nyuruh Kanya kesini bawa keycard cadangan. Kamu belum transfer uang kamu tiga bulan ini, akhirnya tante diusir sama yang punya kontrakan. Tante sama Kanya udah ngeluarin beberapa barang-barang kamu, tante dan Kanya akan tinggal di sini sebagai ganti rugi!" ucap wanita itu lagi sambil menunjuk-nunjuk kardus yang tertumpuk didepan pintu.   "Tante maaf, tapi inikan Adri..." ucap Adri bergetar.   Wanita berkepala lima itu menggeleng-geleng.   "Kamu tuh ya! Kamu bener-bener nggak tau terima kasih! Udah bagus tante mau ngurusin kamu sampe gede! Jadi ini cara kamu terima kasih atas segala kebaikan tante?" ucap wanita yang tidak lain adalah tante kandung dari Adri.   Adri menunduk ditempatnya. Dia tau, dia sangat berhutang budi pada tantenya itu. Namun, dia bahkan selalu memberikan separuh gajinya untuk beliau setelah dia bekerja. Padahal, selama dia tinggal bersama tantenya, dia tidak pernah merasa seperti diurus oleh seorang ibu. Bahkan biaya hidup dan tempat tinggal yang digunakan tantenya untuk mengurus Adri adalah warisan orang tua Adri. Dan sekarang? Tantenya itu dengan seenaknya mengusir Adri dari apartemen hasil keringatnya?   "Maaf tante,tapi..." Adri tidak melanjutkan ucapannya ketika dia merasakan kehangatan melingkupi tangannya.   Rully tengah menggenggam tangannya.   "Maaf sebelumnya jika saya ikut campur. Sebenarnya, apa yang terjadi?" tanya Rully meminta penjelasan karena dia tidak mengerti apa yang tengah terjadi.   Wanita itu menatap Rully dengan tatapan menyelidik dan tidak suka. "Siapa kamu?!" tanya wanita itu.   Rully membungkuk hormat. "Saya Ruliano. Sekarang, bisa anda jelaskan?"   "Oh, kamu pasti pacarnya Adri! Begini ya, Adri adalah keponakan saya. Saya ngurusin dia sejak dia SMP sampe dia lulus kuliah. Dan sekarang, saya Cuma mau menuntut balas budi dari dia. Saya minta apartmentnya. Bahkan harga apartment ini nggak seharga sama segala kebaikan saya waktu ngurus dia dulu," ucap wanita itu dengan angkuh.   "Tante, ini masalah keluarga kita. Adri mohon, jangan dibahas di sini," bisik Adri lirih.   Genggaman ditangannya semakin erat, membuat Adri menatap kepada si pelaku, alias bosnya.   "Jadi... kalau saya bayarin sebuah apartment untuk anda, anda akan mengembalikan apartment ini?" tanya Rully dengan mimik serius.   Wanita berkepala lima itu terlihat berfikir sejenak. Dia meminta Rully menunggu sebentar selagi dia masuk ke dalam. Tidak lama dia keluar bersama seorang gadis yang umurnya tidak terlalu jauh dengan Adri. Kanya.   "Kanya, pacarnya Adri mau beliin kita apartment asal kita ngembaliin apartment Adri!" ucap tante Dinar—tantenya Adri- sambil menatap penuh binar kepada putrinya yang bernama Kanya tersebut.   Kanya menatap Rully dari atas kebawah. Seperti mengenal Rully dan tentunya dia juga terpesona dengan Rully.   "Lho, ini bukannya... anda Ruliano Permana ya? The most wanted bachelor 2016?" tanya Kanya memastikan, sambil masih menatapi Rully dari atas kebawah.   Adri menatap Rully. Antara tatapan berharap dan tatapan ragu. Rully semakin mengeratkan genggamannya. "Boleh saya lihat-lihat dulu kedalam?" tanya Rully tidak menggubris pertanyaan Kanya.   Dinar mengangguk dan melebarkan pintunya.   "Pak..." lirih Adri dengan tatapan berkaca-kaca. Sungguh, dia tidak menyangka Rully sebaik itu padanya.   Setelah sedikit melihat-lihat Rully akhirnya memutuskan keputusannya. "Saya sudah memutuskan," ucap Rully akhirnya.   Adri menatapnya dengan dahi berkerut.   "Apa keputusannya?" tanya Kanya dan ibunya bersamaan.   Rully tersenyum-menyeringai- sambil menatap Adri. "Bapak beneran bakal bayarin apartemen baru buat tante dan kakak sepupu saya?" tanya Adri mencoba menebak isi pikiran Rully. Seringaian lelaki itu semakin menyeramkan.   "Enggak. Tapi lebih bagus lagi." Rully lalu beralih menatap Dinar. "Nyonya..."   "Dinar."   "Ya... nyonya Dinar dan putrinya bisa memiliki apartment ini," ucap Rully diplomatis.   Adri seketika sweetdrop. Rully sama sekali tidak membantu! But wait... apa jangan-jangan Rully justru mau beliin gue apartemen baru?   "Enggak Adri, bahkan lebih bagus daripada apartment baru! Kamu akan tinggal sama saya," ucap Rully sambil tersenyum lebar. Hal yang sangat jarang dilakukan oleh seorang Ruliano.   Adri menghela nafasnya lega "Ohh syukur---"   "HAH??????!!!!!!!!!!!" serunya ketika sudah mencerna baik-baik kalimat Rully.   Tinggal bersama? Ya Allah.... saya mohon goncangkan bumi hanya dibagian apartment ini saja. Biarkan kepala saya ketimpa bangunan. Tinggal bersama? Udah pasti dia gila!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD