Adri masih merasakan tangan kekar Rully melingkar erat diperut rampingnya. Nafas Rully terasa menggelitik tengkuknya. Dalam posisi seperti ini-tidur sambil berpelukan- membuat Adri dapat merasakan dadanya bergemuruh keras.
Setelah kejadian Rully menciumnya dengan paksa dan tiba-tiba kini dia dan Rully tengah berbaring dengan tubuh yang cukup melekat di atas bed berukurang king tersebut. Tapi jauhkan pikiran kotor kalian karena mereka tidak melakukan apapun.
Rully mendesahkan nafasnya, sambil meletakkan kepalanya dibahu Adri. Membuat gadis itu merasa dirinya akan gagal jantung sebentar lagi. "Maaf," lirih Rully setelah sejak tadi diam saja.
Adri mengernyit. Maaf? Maaf buat yang mana? Batin Adri.
"Untuk nyium kamu dengan emosi dan juga ngelibatin kamu dalam masalah saya. Maaf." Sekali lagi Rully mendesahkan nafasnya, cukup berat.
Adri hanya terdiam. Mencium dengan emosi. Entah kenapa kata-kata itu serasa menusuknya. Menyakitinya. Emang lo ngarep apaansih, Dri?
"Ah iya, Pak. nggak apa-apa," balas Adri.
Rully semakin mengeratkan pelukannya. Menciumi harum Adri secara rakus, seakan dia tidak bisa bernafas tanpa mencium wangi kayu manis bercampur vanilla dari tubuh Adri.
Adri menatap tangan Rully yang masih merengkuhnya erat. Sangat menunjukkan jika Rully sedang membutuhkan seseorang untuk berbagi beban. Adri tersenyum tipis sambil berusaha mengontrol hatinya untuk tidak mengharapkan sesuatu yang diluar batas. "Pak, cerita aja sama saya. Saya bersedia kok ngedengerin."
Rully tersenyum dibalik tengkuk Adri. Lelaki itu lalu menyandarkan kembali kepalanya pada bahu Adri. "Seharusnya saya menghadiri makan malam yang disiapkan ayah saya. Tapi saya justru kabur dengan dan ngajak kamu pergi."
Adri menegang. Secara tidak langsung dia ikut andil dalam masalah Rully dan ayahnya. Mampus deh gue...
"Enggak, kamu nggak salah apa-apa. Saya yang nyeret kamu secara paksa," ucapnya lagi seperti mengerti apa yang Adri pikirkan.
"Terus kenapa bapak eum—" Adri menghentikan kata-katanya. Berusaha mencari kata-kata tepat agar tidak menyinggung perasaan Rully. "nangis?" tembak Rully.
IYA ITU! Adri mengangguk.
Rully melonggarkan sedikit pelukannya. "Saya capek, jadi bonekanya dia," ujarnya santai. Tapi kayaknya ada yang lebih dari sekedar masalah itu. Lo nggak mungkin nangis Cuma karena masalah itu. "Saya juga kangen bunda saya," tambah Rully lagi.
Adri refleks memegangi dahinya. Merabanya, memastikan apakah ada tulisan timbul yang menampilkan apa isi pikirannya sehingga Rully bisa menjawab pertanyaan yang hanya beredar dipikirannya. Tapi hasilnya nihil.
Rully terkekeh. "Pikiranmu terlalu mudah ditebak" ucap Rully sambil terkekeh membuat Adri mengembungkan pipinya tidak senang. Lalu mereka kembali terlarut dalam pikiran panjang yang belum terlihat ujungnya.
---
Adri kini sudah berdiri dihadapan kamarnya sedangkan Rully tengah berdiri bersandar pada tembok koridor dibelakangnya.
Cklek. Pintu terbuka dan Adri siap melangkah masuk. Namun sebelum gadis itu masuk dia terdiam ditempatnya. "Pak..." panggilnya tanpa menoleh.
Rully terkesiap dan memperbaiki posisi berdirinya. "hmm?"
"Jangan lari lagi. Masalah itu lebih senang dihadapi secara langsung. Yah...itusih kalau saran dari saya. Maaf pak, jika saya lancang. Selamat malam, pak Rully." Dan Adri langsung masuk dan menutup pintunya. Membiarkan Rully membeku didepan pintu kamarnya.
Seulas senyum terlukis dibibir Rully.
Lelaki itu berjalan balik menuju kamarnya. "hmm..kayaknya ada untungnya juga gue emosi tadi," Ucapnya sambil menyentuh bibirnya dan mengingat bagaimana dia mencium sekretarisnya itu tiba-tiba.
---
"Bang Rully!"
Rully mendengar suara Arkan memanggilnya. Dia menghentikan langkahnya dan menatap Arkan tanpa minat. Berbeda dengan Arkan yang menatapnya sendu. "Bang, abang sampe kapan bakal stay di sini?" tanya Arkan berbasa-basi.
Rully merasa bersalah karena menyalahkan Arkan atas kejadian 7 tahun lalu. Padahal dia jelas tau, Arkan sama sekali tidak patut disalahkan. Tasha pergi atas keinginananya sendiri, bukan karena Arkan yang memintanya. Bahkan mungkin, Arkan sama sekali tidak tau kalau Tasha akan menyusulnya.
"Hari ini gue balik ke Jakarta."
Arkan merengut. dia padahal ingin sekali berlibur di Bali bersama kakak tiri tersayangnya itu. Mengingat mereka sudah terpisah cukup lama karena kepergiannya ke London. "Lo sibuk banget ya bang?" tanya Arkan lesu.
Rully ingin sekali merangkul Arkan seperti dulu. Tapi hatinya berkata lain. "Hmm." jawabnya hanya dengan sebuah gumaman. Rully kemudian berlalu meninggalkan Arkan yang akhirnya memilih untuk diam.
"Bang, gue kangen kita yang dulu," lirihnya kecil.