11. Teary Kiss

816 Words
Adri mengedipkan mata bulatnya beberapa kali. Mencoba mencerna dengan benar cerita masa lalu dari bos nya. Adri tidak pernah menyangka jika kehidupan Rully serumit itu. Tidak pernah sama sekali dia membayangkan bagaimana kisah itu jika menimpa dirinya, dia sudah pasti bunuh diri saja.   Tidak terasa mata Adri memanas, hatinya terasa dicabik-cabik seolah ikut merasakan beban yang dialami Rully. Matanya perlahan mulai berair hingga akhirnya mengalirkan cairan bening yang meluncur deras. Sejak kapan dia secengeng ini?   Rully menatap bingung kearah Adri yang mulai menangis. "Ad—Adrianni? Kamu nggak apa-apa?" tanyanya mulai panik.   Adri menghentikan isakannya dan menatap Rully sesaat tapi tangisnya justru semakin kencang.   "Huu...Huuu...hiks... kehidupan bapak...pasti sangat berat...huu...hiks..." ucapan polos yang mengalir lancar dari mulut Adri membuat lelaki tampan itu tidak bisa menahan dirinya untuk memeluk sosok rapuh didepannya.   Rully tersenyum lembut. Berusaha mengalirkan kehangatan dirinya pada Adri agar sekretaris polosnya itu berhenti menangisi masa lalu dirinya yang bahkan sudah tidak begitu dia pikirkan lagi. Namun bukan berarti sepenuhnya dia lupakan. Karena masa lalunya masih berefek dasyat padanya.   "Pak ...saya akan ngelindungin bapak!" ucap Adri yang teredam di d**a tegap Rully.   Rully melonggarkan pelukannya, menunduk menatap mata Adri. Mencoba mencari penjelasan atas kata-katanya barusan.   Adri masih sesegukan dalam tangisnya. "Saya...hiks...tidak...hiks...akan...hiks...membiarkan...hiks..."   "Adrianni, tenangin diri kamu dulu," ucap Rully sambil memegangi dengan lembut pipi sekretarisnya.   Adri berusaha menghentikan sesegukannya namun nihil. "Saya tidak akan membiarkan cewek itu nyakitin bapak lagi!" ucap Adri setelah sekuat tenaga menghentikan sesegukannya.   Rully menatap Adri tidak percaya. Kalimat yang dilontarkan Adri membuatnya seperti terserang jutaan ribu volt listrik.   Adri kembali sesegukan setelah mengucapkan kalimat yang juga tidak tau datang darimana itu. Yang jelas, meskipun Adri membenci setengah mati bosnya tersebut, Adri mengucapkan itu semua dengan tulus. Sangat tulus.   Rully menarik Adri masuk kedalam dekapan hangatnya. Membelenggu Adri dalam kenyamanan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Membuatnya merasa tidak ingin melepaskan perasaan nyaman itu seumur hidupnya.   "sst... Adrianni... udah ya, jangan nangis," bisik Rully sambil menciumi lembut puncak kepala Adri.   Rully tidak tau apa yang membuatnya ingin melakukan itu semua. Dia hanya mengikuti insting dan kata hatinya. Dan setelah sekian lama dia tidak pernah mau mempercayai orang lain... hanya Adri yang bisa dipercayainya. Ya, dia mempercayai sekretaris polosnya.   ---   Adri mengeratkan pelukan lengannya pada leher Rully. Gadis itu senang menciumi harum parfum Rully yang tercium samar dari tubuhnya. Sebenarnya gadis itu bisa saja berjalan meskipun dengan terseok-seok menuju hotel, namun Rully sedang sangat berbaik hati hingga mau menggendongnya kembali ke hotel. Adri tidak tau sudah berapa lama dia menghabiskan waktu diluar bersama sang bos  hingga matanya terasa sangat mengantuk.   Ketika mereka sudah sampai dilantai dimana kamar hotel mereka terletak, Rully tidak kunjung menurunkan Adri dari gendongannya. Bahkan ketika Hermawan sudah berdiri dengan pandangan tajam didepan kamar hotelnya, Rully masih mempertahankan Adri dalam gendongannya.   "Ruliano, darimana saja kamu?" tanya Hermawan dingin.   Rully membungkuk hormat pada ayahnya—yang kini ia panggil Papi—lalu berlalu tanpa menjawab pertanyaannya.   Hermawan menatap anaknya tidak suka. "Ruliano! Jawab pertanyaan Papi!" ucapnya lebih tegas.   Rully berhenti melangkah namun tidak berbalik. "Maaf Papi, saya lelah dan sekretaris saya juga. Kami akan istirahat. Saya permisi, selamat malam," ucapnya lalu dengan segera membuka pintu kamar hotelnya, membawa Adri masuk ke dalam kamarnya.   Rully menurunkan Adri yang terlihat bingung dengan situasi disekitarnya. Meskipun Adri ingin sekali menanyakan perihal Hermawan yang sepertinya telah menunggu Rully sejak lama namun gadis itu tetap memilih diam, duduk di atas kasur king size Rully.   Lelaki itu mengacak rambutnya frustasi. Kemarahannya seketika terasa meledak di kepalanya hingga wajahnya memerah. Lelaki itu berjalan kesana kemari sambil menggeram marah. Dia lelah atas kehidupannya. Sangat lelah.   Adri menunduk ketika matanya tidak sengaja bertatapan dengan mata Rully.   Lelaki itu dengan segera menghampirinya dan mendorongnya hingga tertidur di atas tempat tidur.   Gadis itu ingin berontak namun tenaga Rully sangatlah kuat.   Rully menindih Adri. Nafasnya terdengar menderu menerpa wajah Adri.   Adri? Gadis itu sudah menutup rapat-rapat matanya. Meskipun kakinya sudah menerjang-nerjang berontak minta dilepas, Rully tidak juga mau melepaskannya.   Mata Adri semakin terpejam rapat ketika Rully melumat bibirnya dengan dalam dan kasar. Gadis itu ingin sekali teriak namun dia merasakan emosi dalam ciuman Rully. Adri tau kini, dia tengah menjadi pelampiasan emosi dari bos nya. Adri merasakan basah pada pipinya. Pasti gue nangis! Pikirnya.   Namun ketika Adri memaksakan diri membuka mata, dia melihat air mata itu bukanlah miliknya, melainkan milik Rully yang masih menciumnya dengan dalam.   Perlahan kaki Adri yang sejak tadi berontak melemas dan terkulai begitu saja, tangannya yang sejak tadi memukuli bahu Rully perlahan berhenti dan justru memeluk leher Rully. Matanya yang terbelalak tadi kembali menutup rapat dan dia berusaha membalas ciuman Rully, berharap bisa membagi kesedihan dan emosi dari bos nya itu pada dirinya.   Adri mengeratkan pelukannya pada leher Rully, membiarkan lelaki itu menciuminya sambil menangis. Ketakutannya berganti menjadi rasa iba dan sedih sekaligus. Dia tidak tau kenapa, yang jelas dia ikut merasakan kesedihan ketika melihat bosnya itu bersedih.   Maka malam itu, air mata mereka berbaur menjadi satu sama seperti bibir mereka yang saling tertaut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD