4. Hangover & Brunch

3004 Words
Rully terbangun dengan kepala yang terasa berat. Efek minum alkohol berlebihan. Rully memang penggila wine dan dia bisa bertahan setelah minum bergelas-gelas wine bahkan empat tegukan vodka tanpa kehilangan kesadaran di atas 40%. Namun semalam dia baru saja menghabiskan sebotol wine tapi dia sudah berakhir dengan tidak mengingat apapun. Terakhir yang Rully ingat adalah ia melihat wajah Adrianni dan dia meminta gadis itu untuk tetap bersamanya. Rully mengacak rambutnya dan menggeleng kuat. Sepertinya aku terlalu mabuk. Pikirnya. Tak mungkin sekretarisnya itu berada di apartmentnya saat ini. Rully merasakan sesuatu bergetar di kantung celananya. Dia merogoh kantungnya dan meraih benda hitam tipis yang sejak tadi bergetar itu.   Andara Wilson: Rul, kamu nggak kerja? Kamu sakit ya? Adrianni juga udah mbak telfon nggak diangkat, mbak tanya ke Geri katanya si Adri belum dateng juga.   Andara Wilson: Bukannya kalian ke Bali besok? Kabarin mbak ya, Mami nyariin, dia cemas.   Mami cemas? Gurauan lucu.   Ruliano Permana: Masuk, Cuma telat.   Ruliano Permana: Adrianni belum dateng? Entar Rully telfon. Titip salam buat Mami. I'm okay.   Kalian bukan peduli sama gue. Tapi sama perusahaan.   Rully menekan angka 2 pada ponselnya yang sudah disetting sebagai panggilan cepat ke nomor Adrianni. Ketika hubungan tersambung Rully justru mendengar nada dering ponsel yang berdering di kamarnya. Rully mengernyit. Dia menekan tanda merah untuk memutuskan hubungan. Dan bunyi nada dering itu juga berhenti. Rully mengulang menghubungi Adrianni dan nada dering itu kembali berbunyi. Rully mengikuti sumber suara dan Rully begitu terkejut ketika mendapati Adrianni tengah tergeletak di lantai tepat di sisi ranjangnya.   "Adrianni Hanggita!!"   ---   "Selamat siang, Pak Rully..." sapa seorang laki-laki berkepala lima sambil membungkuk 90 derajat ketika Rully baru saja keluar dari lift.   "Om Anton nyindir saya kesiangan, ya?" tanya Rully merasa disindir oleh pegawainya yang meskipun lebih tua darinya tapi sangat dekat dengannya itu. Om Anton tertawa kecil sambil menepuk pelan bahu Rully lalu berlalu dan menghilang dibalik pintu lift.   "Pak Rully!" panggil salah satu pegawai wanitanya dari bidang personalia. Rully menghentikan langkahnya dan menatap pegawainya itu. "Ya, ada apa Yunita?" pegawai bernama Yunita itu membungkuk hormat.   "Maaf pak...apa hari ini Adrianni tidak masuk? Menurut catatan komputer, Adrianni belum absen pagi ini," ucap Yunita ragu.   Rully mengangguk sekilas lalu berbalik pergi. "Iya, dia nggak masuk, kurang enak badan," ucapnya sambil berlalu membuat Yunita kebingungan dengan sikap sang presdir lalu dia mengangkat bahu pertanda tak peduli lalu kembali keruangannya sambil mencatat tentang absennya Adrianni .   ---   Brak. Rully membanting pintu ruangannya cukup keras. Dia merasa ada yang lain hari ini. Rully menatap meja kerja Adrianni yang tepat berada didepan ruangannya melalui pintu kacanya yang tembus pandang. Biasanya dia memandangi Adrianni melalui kaca itu. Rully mengakui kalau dia sering tersenyum sendiri dan melupakan beratnya tugas seorang presdir ketika sudah melihat ekspresi-ekspresi Adrianni yang tidak terduga. Apalagi jika Rully sudah memberikan gadis itu tugas yang merepotkan. Rully akan terus-terusan tersenyum diruangannya sambil menikmati wajah Adrianni yang tertekuk sambil melontarkan u*****n-u*****n kesalnya.   Rully membuka berkas-berkas di mejanya.   Tidak ada yang menarik, dan hampir sudah ia tanda tangani semua. Lalu Rully menekan tombol yang tersambung ke intercom sekretaris direksi, atau sekretarisnya yang lain yang lebih formal dan lebih cenderung mengurusi urusan bisnis dibanding urusan pribadinya.   "Ya, Pak? Ada yang bisa saya bantu?" sapa seorang disebrang sana begitu alarm intercomnya berbunyi.   "Ya, Ger, bisa tolong cek jadwal saya hari ini? Apa ada rapat atau sesuatu yang harus saya kerjakan?"   Geri mengernyit, masalah jadwal biasanya Rully akan menanyai langsung kepada sekretaris pribadinya. Namun karena tidak ingin membuat masalah, Geri segera mengetikkan daftar jadwal Rully di keyboardnya. Layar komputernya tak menunjukkan jadwal presdir di atas jam makan siang. Pertanda bosnya itu tidak memiliki jadwal pertemuan atau apapun setelah makan siang.   "Setelah makan siang jadwal bapak kosong," ucap Geri.   Rully mendesah lega. "Oke, terima kasih." Dan hubungan terputus.   Rully menatap jam dinding diruangannya. Jarum jam menunjukkan pukul dua belas kurang sepuluh menit. Beberapa menit lagi sebelum makan siang, tetapi sejak sejak dua puluh menit yang lalu para pegawai sudah masuk di jam-jam bebas. Sepertinya hari Rully memilih untuk pulang saja dan makan siang di apartemen. Setelah merapihkan kemejanya, Rully segera beranjak pergi dari ruangannya.   "Ibnu, kamu pulang pake motor kantor aja, hari ini saya mau bawa mobilnya sendiri," ucap Rully melalui telepon pada supir pribadinya. Setelah supirnya mengatakan ya Rully memutus sambungan dan segera beranjak ke lobby dimana sang supir sudah menunggunya untuk menyerahkan kunci.   ---   Adrianni terbangun karena tenggorokannya terasa kering. Dia mengerjapkan matanya dan beranjak turun dari ranjang. Seperti normalnya orang yang baru bangun tidur nyawa dan pikiran seseorang masih melayang dan belum kembali ke tempat asalnya. Seperti halnya Adrianni yang kini belum menyadari dia sedang tidak berada di dalam apartmentnya.   Adrianni menekan tombol air dingin pada dispenser dan menunggu gelasnya terisi. Adrianni mengerjapkan matanya sambil meneguk dengan kalap air dalam gelas tersebut. Ia memandangi sekeliling dengan dahi mengernyit. Namun ketika matanya menangkap bayangan yang tengah terduduk di atas sofa. Adrianni berbalik secara refleks untuk menatap dengan jelas bayangan itu.   "Tidur nyenyak, Adrianni ?"   Byur... Uhukk!!   Adrianni memukul-mukul kedua pipinya dan mengerjapkan berulang-ulang kedua matanya berusaha meyakinkan seseorang yang berada di hadapannya saat ini adalah Rully, bosnya.   Rully yang sedang membolak-balik majalah ditangannya akhirnya menutup majalah itu lalu menatap Adrianni . "Kenapa kamu kaget, Adrianni ? Ini rumah saya, kamu lupa?"   Adrianni menganga. Apa barusan Rully bilang? Rumahnya? Adrianni menampar pipinya sekali lagi dan mengucek matanya berharap yang terjadi saat ini hanyalah halusinasi atau mimpinya saja.   Rully mengedikkan bahunya tak peduli. Dia beranjak dari duduknya lalu berjalan ke arah pantry melewati Adrianni yang masih terpaku ditempatnya berusaha mengingat kejadian yang semalam dilaluinya hingga menyebabkan dirinya berada di apartment Rully. Ayo berpikir Adri.   "Kamu mau diri di sana sampai kapan?" tanya Rully yang sudah duduk di salah satu kursi tinggi di bar pantry.   Adrianni tersadar dari keterkejutannya dan melangkahkan kaki mendekati Rully. Bosnya itu tampak santai dengan kaos dan celana jeans.   "Duduk Adrianni, hal semacam ini kamu nggak perlu nunggu perintah dari saya, kan?" tanya Rully karena Adrianni hanya berdiri diam memandanginya yang sedang makan.   "I—iya, Pak..." ucapnya sambil duduk disamping Rully.   Rully terkekeh kecil lalu menggeser sebuah bungkusan ke hadapan Adri. Adri sempat terpana beberapa detik. Dia bahkan tidak percaya dengan penglihatannya saat ini. Seorang Ruliano Permana, terkekeh? Gue pasti masih ngantuk banget deh.   "Saya harap kamu suka chinese food, saya nggak tau makanan apa yang kamu suka," ucap Rully sambil mengeluarkan sebuah sumpit sebagai alat makannya.   Adrianni tersenyum kikuk. Ini bahkan terlalu berlebihan untuk diterimanya. "Hah, nggak apa-apa kok pak... saya suka semua jenis makanan," jawab Adrianni sambil mengikuti jejak Rully untuk mengeluarkan sumpit dan memakan makanannya.   "Pak, maaf, gimana eum... keadaan kantor?" tanya Adrianni berusaha membuka percakapan dan menghilangkan suasana canggung yang membelenggu keduanya.   Rully masih makan dengan tenang dan ekspresinya tidak menunjukkan tanda jika dia akan menjawab pertanyaan Adri. Hal itu membuat Adri mendecih sebal, bosnya itu memanglah orang menyebalkan! Sudah bagus Adri mau mengajak berbicara.   "Kantor baik-baik aja tanpa kamu, Adrianni," ucap Rully setelah menelan kunyahannya.   Adrianni yang terkejut karena Rully menjawab pertanyaannya dan tidak sempat memikirkan jawaban Rully. Namun detik berikutnya dia baru menyadari apa yang Rully katakan. Sontak wajahnya berubah lesu. Ya memang sih ketidak hadiran Adri tidak mungkin berdampak besar pada kantor, tetapi Adri kan juga ingin merasa dibutuhkan. Memangnya Rully tidak bisa apa berpura-pura saja untuk menyenangkan Adri   Padahal Adri merasa sudah banyak merelakan waktunya untuk kantor dan Rully. Tidak jarang Adri meninggalkan sebuah ajakan makan malam atau pesta bersama teman bahkan kencan buta yang dijalaninya hanya untuk memenuhi permintaan atau perintah Rully. Dan fakta Adri masih single sampai detik ini adalah karena orang menganggap Adri adalah orang yang gila kerja.   Rully mendapati wajah Adrianni yang berubah setelah mendengar jawabannya. Dia tersenyum kecil namun tidak membiarkan Adrianni melihatnya oleh karena itu dia memudarkan kembali senyumnya. "Yah...kantor emang baik-baik aja, tapi saya yang jadi kacau kalau nggak ada kamu."   Adrianni hampir saja makanan yang baru saja ditelannya kalau dia tidak mengatupkan bibirnya dan meminum air dengan cepat. "Hah?!!!" pekiknya tak percaya setelah meneguk sepertiga isi gelasnya.   "Kenapa? Saya mengatakannya dengan jujur," Ucap Rully santai sambil melanjutkan makannya.   Adrianni merasakan pipinya memerah. Oh...oh! Sepertinya kerja kerasnya saat ini tidak sia-sia. Bahkan bosnya itu merasa kacau jika dia tidak ada sehari saja.   "Bayangin aja., nggak ada yang bawain saya sarapan, nyiapin berkas-berkas untuk rapat, menyusun laporan yang perlu saya tanda tangani, mengangkat telfon, menghanddle janji-janji klien, menyusun jadwal. Itu sungguh membuat kacau"   Adrianni seketika sweatdrop. Rasanya seperti diajak terbang hingga tempat paling tinggi dan dijatuhkan begitu saja. Ruliano b******k! Ia memekik dalam hati. Kekesalannya ia lampiaskan pada makanan tak bersalah di hadapannya. Sepertinya arti membutuhkan dalam kamus Rully adalah kebutuhan yang lebih menganggap Adrianni adalah pelayannya.   "Oh gitu. Kenapa bapak nggak bangunin saya aja tadi pagi, kalo gitu?"   "Gimana mungkin saya bangunin kerbau tidur. Bahkan kamu saja tidak sadar kalau kamu berpindah tempat dari lantai ke tempat tidur?"   "Hah saya? Saya enggak pindah—"   "Iya emang kamu nggak pindah sendiri. Saya yang mindahin kamu, kamu nggak sadar, iya kan?"   "..."   "Kamu kecil-kecil boleh juga ya, pinggang saya sampe pengen remuk rasanya." *** Bab 5 – He(ll)avenly Bali   Adri menutup matanya rapat-rapat. Tangannya meremas rok kremnya hingga kusut. Adri memang tidak begitu suka keadaan disaat pesawat akan lepas landas. Seperti trauma tersendiri baginya, dan sejak kecil Adri terbiasa mendekap erat ibunya untuk mengusir rasa takut yang melandanya di kala pesawat akan lepas landas.   Adri membuka sedikit matanya. Tidak ada ibu dan hanya ada Rully yang dengan tenangnya membaca buku. Adri kembali bergerak-gerak gusar di kursinya.   "Kamu kenapa nggak bisa diem gitu?" tanya Rully karena sudah jengah dengan kegaduhan yang Adri buat.   Adri menggeleng lemah. Namun Rully yakin ada sesuatu dibalik gelengan Adri sehingga Rully menajamkan tatapannya pada Adri membuat nyali cewek itu menciut.   "Sa—saya takut, pak."   Rully yang tadinya ingin kembali menatap buku ditangannya menatap Adri lagi untuk memastikan. Gadis itu memang terlihat takut, terbukti gadis itu masih meremas ujung roknya juga matanya terpejam rapat-rapat dan tubuhnya yang menempel erat dengan sandaran kursi.   "Adrianni," ucap Rully sambil menutup bukunya dan berusaha menenangkan Adri.   Adri masih dengan posisi ketakutannya membuat Rully merasa iba dengan sekretarisnya tersebut. "Sst...Adri!" Rully menyentuh dengan ragu-ragu tangan Adri yang masih meremas kuat ujung roknya.   Adri menggelengkan kepalanya. Meskipun dia sangat malu karena terlihat norak dengan bosnya itu namun rasa takutnya lebih besar ketimbang perasaan malunya.   "Ssh, Adrianni, it's okay, nothing's gonna happen." Rully tanpa sadar mengelus lembut punggung tangan Adri. Gadis itu refleks mencengkram tangan Rully ketika pesawat sudah benar-benar lepas landas. Hingga pesawat sudah berjalan tenang di udara, Adri baru melepaskan tangannya. "Ah, ma—maaf pak saya udah lancang, sa—saya...saya minta maaf," Adri membungkukkan kepalanya namun Rully hanya membalasnya dengan tatapan 'it's okay' dengan cueknya.   Ngapain sih lo Dri, yakin deh ini si boss ngira lo cewek kampung. Lagian biasanya si bos juga nyuruh gue buat beli tiket yang duduknya terpisah, kenapa sekarang malah nyuruh gue beli tiket sebelahan coba.   Setelah pesawat landing dengan sempurna dibandara Ngurah Rai, Adri dan Rully segera turun setelah mendengar pengunguman untuk turun. Adri mengikuti dengan cepat langkah kaki Rully yang tampak bersemangat.   Sejak insiden menggenggam tangan Rully tadi, Adri jadi malu sendiri untuk menatap Rully atau bahkan sekedar berbicara. Padahal Rully sendiri tampak tidak peduli dan memilih untuk berjalan terus menuju  tempat pengambilan bagasi.   ---   "Aduhh, Pak, Pak Rully, tunggu saya Pak!!" Adri berusaha menyamakan langkahnya dengan langkah kaki Rully yang cepat. Meskipun kakinya cukup jenjang dan sangat membantunya dalam urusan melangkah lebar-lebar tetapi dua buah koper dengan ukuran besar dan terisi penuh cukup menghambat langkahnya. Beberapa kali kakinya bertubrukan dengan koper yang sedang digeretnya, namun Adri berhasil menanggulangi kemungkinannya terjatuh.   Rully? Jangan tanyakan. Laki-laki itu dengan santainya menenteng tas miliknya yang berukuran tak lebih dari seperempat ukuran koper. Kali ini Adri ingin sekali mengatai Rully dengan kata-kata b******k atau bahkan banci kalau perlu. Bagaimana mungkin seorang lelaki memerintahkan seorang perempuan membawakan kopernya? Kayaknya pembantu juga nggak gini-gini amat.   Adri menghentikan langkah kakinya ketika dilihatnya tubuh tegap Rully sudah berdiri dihadapannya sambil bersedekap. Adri dapat melihat cerminan dirinya dari sunglasses yang bertengger sempurna di hidung mancung Rully. Sesaat Adri terpekur melihat bagaimana poninya yang sudah acak-acakan akibat berlari kecil mengejar Rully sejak tadi melalui sunglasses dior Rully. Dan dengan bodohnya Adri justru membenahi poninya dan menyalah gunakan fungsi kacamata hitam Rully sebagai cermin.   "Ekhem..."   Deheman Rully menyadarkan Adri atas ketidak sopanannya dan kebodohannya. Tapi siapa sangka bukannya omelan justru sebuah lengkungan terukir di bibir Rully, namun hanya beberapa detik saja sampai-sampai Adri mengira itu hanyalah halusinasinya saja.   "Kemarikan kopernya," ucap Rully.   Adri masih melongo sambil mengerjapkan matanya polos dan baru tersadar ketika Rully akhirnya melepas kacamatanya dan memberikan pandangan tajamnya pada Adri.   "Adrianni!"   Adri terlonjak dan refleks memberikan dengan cepat koper berwarna cokelat milik Rully kepada pemiliknya. Adri mengernyit, padahal kopernya sudah dia berikan tapi kenapa bosnya itu masih berdiri di hadapannya dan tidak kunjung bergerak?   "Kamu dengar perintah saya kan, Dri?" tanya Rully.   Adri mengangguk.   "Apa? Saya merintahin kamu untuk apa?" tanya Rully lagi dengan wajah mulai jengkel.   Adri mengerutkan dahinya berpikir. "me—memberikan kopernya," ucap Adri ragu.   "Kalau gitu cepat siniin kopernya!"   Adri masih bingung dengan perintah Rully. Bukankah dia sudah memberikan kopernya, lalu apalagi yang perlu Adri berikan? Sepertinya Rully terkena efek mabuk pesawat atau jetlag, pikirnya. Masa iya ke Bali doang jetlag.   Rully menggeleng gemas lalu memakai kembali kacamatanya dan dengan segera menarik paksa koper berwarna merah ditangan kanan Adri.   Gadis itu terkejut dengan kelakuan Rully yang tiba-tiba merampas kopernya.   Rully dengan segera menyeret dua koper-satu miliknya satu lagi milik Adri di kedua belah tangannya. Adri masih terdiam ditempatnya memandangi dengan aneh sang bos.   Wah, beneran jetlag dia.   "Adrianni!"   Adri terkesiap dan dengan segera mengejar sang bos yang sudah beberapa belas langkah di depannya.   "I—iya, Pak!"   ---   Adri kini sedang menikmati pemandangan yang disuguhkan dari balkon kamarnya. Selama 5 hari kedepan pemandangan indah ini akan menjadi temannya. Adri mulai merebahkan tubuhnya pada kasur berukuran king di tengah ruangan. Tubuhnya terasa lelah sampai rasanya ia ingin langsung tidur saja. Baru saja matanya mengatup tiba-tiba deringan ponsel membuatnya kembali membuka mata dan mendudukan tubuhnya.   Ruliano Permana: Adri saya tunggu kamu untuk makan malam di lounge hotel, lima belas menit dari sekarang.   Adri memandang dengan kesal layar ponselnya lalu melempar benda tipis itu ke belakang. "Seenaknya banget ngasih perintah seenak jidat. Emang dipikir dia siapa? Iyasih, dia emang bos gue tapi kan—"   Ruliano Permana: Saya bos kamu, saya nggak suka menunggu dan keterlambatan, Adrianni.   "Astagfirullah!"   Adri keluar kamar setelah mandi dengan kilat. Bahkan Adri sama sekali tidak sempat mengoleskan make up ke wajahnya dan hanya  sempat mengenakan lipbalm saja, itupun dengan tipis.   Adri memilih mengenakan sweater oversize dan skinny jeans untuk menemui Rully saat itu. Sepanjang perjalanan menuju loungue, Adri tidak henti-hentinya mengumpat kesal dan tentu saja semua umpatannya ditujukan untuk sang bos.   Setelah sampai di loungue hotel Adri mulai mengedarkan pandangannya dan dia menemukan Rully yang duduk di pojok tepat disamping jendela yang langsung memamerkan keindahan pantai.   "Sore, Pak," sapa Adri sambil sedikit membungkuk lalu menarik kursi dihadapan Rully yang tengah menyesap kopi sambil membaca buku. Tapi belum sempat p****t Adri menyentuh kursi, suara Rully menahannya.   "Emang siapa yang nyuruh kamu duduk disitu?"   "Eh—itu... nggak ada Pak..." Adri kembali berdiri dan membungkuk memohon maaf dan merasa malu juga kesal. Rully kembali menyesap kopinya dengan tenang. "Terus ngapain kamu diri lagi? Saya kan Cuma nanya, siapa yang kamu duduk disitu."   Brengseeeek! Batinnya.   Sepertinya bosnya ini tengah mempermainkannya. Sabar Adri...   "I—iya Pak, maaf," ucap Adri sambil membungkuk sekilas lalu kembali mendudukan tubuhnya dan mulai menatap menu yang tersedia di meja.   "Gak usah terlalu formal sama saya, ini bukan di kantor," ucap Rully sambil mengalihkan pandangannya pada Adri. "Tapi..."   "Gak usah nolak."   "I—iya, Pak!"   Rully terkekeh kecil namun hanya sebentar karena dengan segera ia mempertahankan image coolnya. "Makan sepuasnya. Nanti malam kamu harus bantuin saya nyiapin presentasi besok."   Adri mengangguk sambil tersenyum lebar. Kata-kata Rully barusan berhasil memberikannya semangat. 'makanlah sepuasnya' artinya bisa memenuhi hobi Adri yang memang doyan sekali makan terlebih dengan makanan enak dan gratis!   "Oke, Pak!" Adri segera membuka buku menu dan menandai apa saja yang akan dipesannya. Setelah menentukan yang mana saja dengan cepat ia melambaikan tangan pada pelayan dan memberi tahukan apa saja yang diinginkannya.   Tak berapa lama pesanan-pesanan Adri datang. Gadis itu menatap setiap piring makanan itu dengan berbinar-binar. "Pak Rully, bapak nggak makan?"   Rully terkesiap mendapati pertanyaan dari Adri. Pasalnya, tadi dia tengah menatapi gadis yang sedang terlihat amat bahagia itu. "Hah?Oh iya-iya." Setelah mengucapkannya Rully kembali memandangi Adri yang sedang melahap pesanannya.   Adri hampir tersedak lasagna dimulutnya ketika dia menangkap basah Rully tengah menatapnya sambil memakan omelete. "Ke-kenapa Pak? Apa ada yang salah sama saya?" tanya Adri sambil memegangi wajahnya sendiri. Siapa tau ada saus yang mengotori wajahnya.   Rully menggeleng lalu kembali menyuap omeletenya. "Saya bingung," ucapnya sambil mengunyah pelan makanannya.   Alis Adri tertaut. "Hah?" Bingung? Bingung kenapa?   "Bukannya ini masih pertengahan bulan?"   Adri kembali dibuat tidak mengerti akan kata-kata bosnya itu. Apa hubungannya dengan pertengahan bulan?   "Gimana caranya kamu bayar makanan sebanyak itu, emang gaji kamu bulan lalu masih nyisa? Kamu belum gajian untuk bulan ini kan?"   Uhuk!! Adri berhasil tersedak lasagnanya kali ini. Adri memukul-mukul dadanya sendiri sambil terbatuk-batuk.   Rully menghentikan acara makannya lalu menuangkan air untuk sekretarisnya tersebut. "Cepet minum ini!" ucap Rully nampak khawatir sambil menyodorkan gelas berisi air putih.   Adri menerima gelas dari Rully dan meminumnya dengan cepat. Sekarang ketimbang memikirkan dadanya yang masih sesak akibat tersedak Adri lebih memikirkan nasib dompetnya.   Rully menatap aneh pada Adri yang tiba-tiba terdiam. Rully mengedikkan bahunya tak peduli lalu lelaki itu beranjak pergi dari hadapan Adri yang masih terjebak dengan pikirannya sendiri. Si bos gila apa ya? Uang darimana coba buat bayar semua ini? Ruliano sialan! Gue kira dia yang bayarin!   "Pak, ma—maaf kalau saya lancang. Eumm..kebetulan saya nggak bawa uang,boleh saya pinjem uang nggak?"   Hening.   Adri hanya bisa melihat kekosongan dihadapannya. Dia merasa seperti orang bodoh berbicara sendiri. "Anjirrr, gimana dong ini nasib gue?" jeritnya panik sambil berdiri hingga menyebabkan beberapa pasang mata menatapnya heran.   Adri menggaruk rambutnya yang sama sekali tak gatal sambil membungkuk memohon maaf. Dan kini Adri tengah berfikir keras untuk membayar semua makanan yang dipesannya, karena Ruliano sudah tidak ada dihadapannya lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD