5. He(ll)veanly Bali

1507 Words
Adri menutup matanya rapat-rapat. Tangannya meremas rok kremnya hingga kusut. Adri memang tidak begitu suka keadaan disaat pesawat akan lepas landas. Seperti trauma tersendiri baginya, dan sejak kecil Adri terbiasa mendekap erat ibunya untuk mengusir rasa takut yang melandanya di kala pesawat akan lepas landas.   Adri membuka sedikit matanya. Tidak ada ibu dan hanya ada Rully yang dengan tenangnya membaca buku. Adri kembali bergerak-gerak gusar di kursinya.   "Kamu kenapa nggak bisa diem gitu?" tanya Rully karena sudah jengah dengan kegaduhan yang Adri buat.   Adri menggeleng lemah. Namun Rully yakin ada sesuatu dibalik gelengan Adri sehingga Rully menajamkan tatapannya pada Adri membuat nyali cewek itu menciut.   "Sa—saya takut, pak."   Rully yang tadinya ingin kembali menatap buku ditangannya menatap Adri lagi untuk memastikan. Gadis itu memang terlihat takut, terbukti gadis itu masih meremas ujung roknya juga matanya terpejam rapat-rapat dan tubuhnya yang menempel erat dengan sandaran kursi.   "Adrianni," ucap Rully sambil menutup bukunya dan berusaha menenangkan Adri.   Adri masih dengan posisi ketakutannya membuat Rully merasa iba dengan sekretarisnya tersebut. "Sst...Adri!" Rully menyentuh dengan ragu-ragu tangan Adri yang masih meremas kuat ujung roknya.   Adri menggelengkan kepalanya. Meskipun dia sangat malu karena terlihat norak dengan bosnya itu namun rasa takutnya lebih besar ketimbang perasaan malunya.   "Ssh, Adrianni, it's okay, nothing's gonna happen." Rully tanpa sadar mengelus lembut punggung tangan Adri. Gadis itu refleks mencengkram tangan Rully ketika pesawat sudah benar-benar lepas landas. Hingga pesawat sudah berjalan tenang di udara, Adri baru melepaskan tangannya. "Ah, ma—maaf pak saya udah lancang, sa—saya...saya minta maaf," Adri membungkukkan kepalanya namun Rully hanya membalasnya dengan tatapan 'it's okay' dengan cueknya.   Ngapain sih lo Dri, yakin deh ini si boss ngira lo cewek kampung. Lagian biasanya si bos juga nyuruh gue buat beli tiket yang duduknya terpisah, kenapa sekarang malah nyuruh gue beli tiket sebelahan coba.   Setelah pesawat landing dengan sempurna dibandara Ngurah Rai, Adri dan Rully segera turun setelah mendengar pengunguman untuk turun. Adri mengikuti dengan cepat langkah kaki Rully yang tampak bersemangat.   Sejak insiden menggenggam tangan Rully tadi, Adri jadi malu sendiri untuk menatap Rully atau bahkan sekedar berbicara. Padahal Rully sendiri tampak tidak peduli dan memilih untuk berjalan terus menuju  tempat pengambilan bagasi.   ---   "Aduhh, Pak, Pak Rully, tunggu saya Pak!!" Adri berusaha menyamakan langkahnya dengan langkah kaki Rully yang cepat. Meskipun kakinya cukup jenjang dan sangat membantunya dalam urusan melangkah lebar-lebar tetapi dua buah koper dengan ukuran besar dan terisi penuh cukup menghambat langkahnya. Beberapa kali kakinya bertubrukan dengan koper yang sedang digeretnya, namun Adri berhasil menanggulangi kemungkinannya terjatuh.   Rully? Jangan tanyakan. Laki-laki itu dengan santainya menenteng tas miliknya yang berukuran tak lebih dari seperempat ukuran koper. Kali ini Adri ingin sekali mengatai Rully dengan kata-kata b******k atau bahkan banci kalau perlu. Bagaimana mungkin seorang lelaki memerintahkan seorang perempuan membawakan kopernya? Kayaknya pembantu juga nggak gini-gini amat.   Adri menghentikan langkah kakinya ketika dilihatnya tubuh tegap Rully sudah berdiri dihadapannya sambil bersedekap. Adri dapat melihat cerminan dirinya dari sunglasses yang bertengger sempurna di hidung mancung Rully. Sesaat Adri terpekur melihat bagaimana poninya yang sudah acak-acakan akibat berlari kecil mengejar Rully sejak tadi melalui sunglasses dior Rully. Dan dengan bodohnya Adri justru membenahi poninya dan menyalah gunakan fungsi kacamata hitam Rully sebagai cermin.   "Ekhem..."   Deheman Rully menyadarkan Adri atas ketidak sopanannya dan kebodohannya. Tapi siapa sangka bukannya omelan justru sebuah lengkungan terukir di bibir Rully, namun hanya beberapa detik saja sampai-sampai Adri mengira itu hanyalah halusinasinya saja.   "Kemarikan kopernya," ucap Rully.   Adri masih melongo sambil mengerjapkan matanya polos dan baru tersadar ketika Rully akhirnya melepas kacamatanya dan memberikan pandangan tajamnya pada Adri.   "Adrianni!"   Adri terlonjak dan refleks memberikan dengan cepat koper berwarna cokelat milik Rully kepada pemiliknya. Adri mengernyit, padahal kopernya sudah dia berikan tapi kenapa bosnya itu masih berdiri di hadapannya dan tidak kunjung bergerak?   "Kamu dengar perintah saya kan, Dri?" tanya Rully.   Adri mengangguk.   "Apa? Saya merintahin kamu untuk apa?" tanya Rully lagi dengan wajah mulai jengkel.   Adri mengerutkan dahinya berpikir. "me—memberikan kopernya," ucap Adri ragu.   "Kalau gitu cepat siniin kopernya!"   Adri masih bingung dengan perintah Rully. Bukankah dia sudah memberikan kopernya, lalu apalagi yang perlu Adri berikan? Sepertinya Rully terkena efek mabuk pesawat atau jetlag, pikirnya. Masa iya ke Bali doang jetlag.   Rully menggeleng gemas lalu memakai kembali kacamatanya dan dengan segera menarik paksa koper berwarna merah ditangan kanan Adri.   Gadis itu terkejut dengan kelakuan Rully yang tiba-tiba merampas kopernya.   Rully dengan segera menyeret dua koper-satu miliknya satu lagi milik Adri di kedua belah tangannya. Adri masih terdiam ditempatnya memandangi dengan aneh sang bos.   Wah, beneran jetlag dia.   "Adrianni!"   Adri terkesiap dan dengan segera mengejar sang bos yang sudah beberapa belas langkah di depannya.   "I—iya, Pak!"   ---   Adri kini sedang menikmati pemandangan yang disuguhkan dari balkon kamarnya. Selama 5 hari kedepan pemandangan indah ini akan menjadi temannya. Adri mulai merebahkan tubuhnya pada kasur berukuran king di tengah ruangan. Tubuhnya terasa lelah sampai rasanya ia ingin langsung tidur saja. Baru saja matanya mengatup tiba-tiba deringan ponsel membuatnya kembali membuka mata dan mendudukan tubuhnya.   Ruliano Permana: Adri saya tunggu kamu untuk makan malam di lounge hotel, lima belas menit dari sekarang.   Adri memandang dengan kesal layar ponselnya lalu melempar benda tipis itu ke belakang. "Seenaknya banget ngasih perintah seenak jidat. Emang dipikir dia siapa? Iyasih, dia emang bos gue tapi kan—"   Ruliano Permana: Saya bos kamu, saya nggak suka menunggu dan keterlambatan, Adrianni.   "Astagfirullah!"   Adri keluar kamar setelah mandi dengan kilat. Bahkan Adri sama sekali tidak sempat mengoleskan make up ke wajahnya dan hanya  sempat mengenakan lipbalm saja, itupun dengan tipis.   Adri memilih mengenakan sweater oversize dan skinny jeans untuk menemui Rully saat itu. Sepanjang perjalanan menuju loungue, Adri tidak henti-hentinya mengumpat kesal dan tentu saja semua umpatannya ditujukan untuk sang bos.   Setelah sampai di loungue hotel Adri mulai mengedarkan pandangannya dan dia menemukan Rully yang duduk di pojok tepat disamping jendela yang langsung memamerkan keindahan pantai.   "Sore, Pak," sapa Adri sambil sedikit membungkuk lalu menarik kursi dihadapan Rully yang tengah menyesap kopi sambil membaca buku. Tapi belum sempat p****t Adri menyentuh kursi, suara Rully menahannya.   "Emang siapa yang nyuruh kamu duduk disitu?"   "Eh—itu... nggak ada Pak..." Adri kembali berdiri dan membungkuk memohon maaf dan merasa malu juga kesal. Rully kembali menyesap kopinya dengan tenang. "Terus ngapain kamu diri lagi? Saya kan Cuma nanya, siapa yang kamu duduk disitu."   Brengseeeek! Batinnya.   Sepertinya bosnya ini tengah mempermainkannya. Sabar Adri...   "I—iya Pak, maaf," ucap Adri sambil membungkuk sekilas lalu kembali mendudukan tubuhnya dan mulai menatap menu yang tersedia di meja.   "Gak usah terlalu formal sama saya, ini bukan di kantor," ucap Rully sambil mengalihkan pandangannya pada Adri. "Tapi..."   "Gak usah nolak."   "I—iya, Pak!"   Rully terkekeh kecil namun hanya sebentar karena dengan segera ia mempertahankan image coolnya. "Makan sepuasnya. Nanti malam kamu harus bantuin saya nyiapin presentasi besok."   Adri mengangguk sambil tersenyum lebar. Kata-kata Rully barusan berhasil memberikannya semangat. 'makanlah sepuasnya' artinya bisa memenuhi hobi Adri yang memang doyan sekali makan terlebih dengan makanan enak dan gratis!   "Oke, Pak!" Adri segera membuka buku menu dan menandai apa saja yang akan dipesannya. Setelah menentukan yang mana saja dengan cepat ia melambaikan tangan pada pelayan dan memberi tahukan apa saja yang diinginkannya.   Tak berapa lama pesanan-pesanan Adri datang. Gadis itu menatap setiap piring makanan itu dengan berbinar-binar. "Pak Rully, bapak nggak makan?"   Rully terkesiap mendapati pertanyaan dari Adri. Pasalnya, tadi dia tengah menatapi gadis yang sedang terlihat amat bahagia itu. "Hah?Oh iya-iya." Setelah mengucapkannya Rully kembali memandangi Adri yang sedang melahap pesanannya.   Adri hampir tersedak lasagna dimulutnya ketika dia menangkap basah Rully tengah menatapnya sambil memakan omelete. "Ke-kenapa Pak? Apa ada yang salah sama saya?" tanya Adri sambil memegangi wajahnya sendiri. Siapa tau ada saus yang mengotori wajahnya.   Rully menggeleng lalu kembali menyuap omeletenya. "Saya bingung," ucapnya sambil mengunyah pelan makanannya.   Alis Adri tertaut. "Hah?" Bingung? Bingung kenapa?   "Bukannya ini masih pertengahan bulan?"   Adri kembali dibuat tidak mengerti akan kata-kata bosnya itu. Apa hubungannya dengan pertengahan bulan?   "Gimana caranya kamu bayar makanan sebanyak itu, emang gaji kamu bulan lalu masih nyisa? Kamu belum gajian untuk bulan ini kan?"   Uhuk!! Adri berhasil tersedak lasagnanya kali ini. Adri memukul-mukul dadanya sendiri sambil terbatuk-batuk.   Rully menghentikan acara makannya lalu menuangkan air untuk sekretarisnya tersebut. "Cepet minum ini!" ucap Rully nampak khawatir sambil menyodorkan gelas berisi air putih.   Adri menerima gelas dari Rully dan meminumnya dengan cepat. Sekarang ketimbang memikirkan dadanya yang masih sesak akibat tersedak Adri lebih memikirkan nasib dompetnya.   Rully menatap aneh pada Adri yang tiba-tiba terdiam. Rully mengedikkan bahunya tak peduli lalu lelaki itu beranjak pergi dari hadapan Adri yang masih terjebak dengan pikirannya sendiri. Si bos gila apa ya? Uang darimana coba buat bayar semua ini? Ruliano sialan! Gue kira dia yang bayarin!   "Pak, ma—maaf kalau saya lancang. Eumm..kebetulan saya nggak bawa uang,boleh saya pinjem uang nggak?"   Hening.   Adri hanya bisa melihat kekosongan dihadapannya. Dia merasa seperti orang bodoh berbicara sendiri. "Anjirrr, gimana dong ini nasib gue?" jeritnya panik sambil berdiri hingga menyebabkan beberapa pasang mata menatapnya heran.   Adri menggaruk rambutnya yang sama sekali tak gatal sambil membungkuk memohon maaf. Dan kini Adri tengah berfikir keras untuk membayar semua makanan yang dipesannya, karena Ruliano sudah tidak ada dihadapannya lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD