4. Ajakan Kencan?

1786 Words
“Hah? Jadi ayahnya Mas Gala itu adik kandung sultan yang lagi berkuasa sekarang?” aku mengaga sangat lebar. Saking lebarnya, rahangku langsung terasa sakit. “Serius, ini? Mas Gala masih sedekat ini sama keluarga inti keraton?” Aku langsung turun dari ranjang, lalu keluar menemui Ibu yang tadi sedang menjahit baju-baju berlubang. Ibu memang bisa menjahit, tetapi sudah lama tidak menerima pesanan. Beliau hanya menjahit untuk keluarga saja. “Bu, Ibu! Aku mau tanya, dong!” aku buru-buru duduk di dekat beliau. “Tanya apa, Ma?” balas Ibu tanpa menoleh. “Nama Sultan Jayaningrat IX itu siapa? Sultan Jayaningrat IX itu cuma gelar, kan?” “Iya, bener. Itu gelar aja. Nama lahir beda lagi.” “Nah! Kalau enggak salah ingat, dulu Ibu sering cerita tentang Keraton Kesultanan Yogyakarta saat kita masih tinggal di Temanggung. Ibu tahu, dong, nama asli sultan? Atau enggak?” “Ibu cuma tahu beberapa aja. Maksudnya, yang sultan sekarang sama ayahnya. Yang kakek dan buyut udah enggak hafal.” “Nah, nah! Yang lagi menjabat itu namanya siapa, Bu?” “Setahu Ibu, nama asli Sultan Jayaningrat IX itu Jagad Pranandanu.” “Punya saudara?” “Ada satu adik perempuan dan satu adik laki-laki, tapi yang perempuan meninggal saat remaja. Yang sampai sekarang, tinggal berdua. Laki-laki semua. Putra Mahkotanya si sulung.” “Apa si bungsu enggak iri? Kan laki-laki semua.” “Ibu enggak dengar ada huru-hara perebutan kekuasaan karena keduanya punya fokus masing-masing.” “Barusan siapa, Bu, nama asli Sultan?” “Ck, kamu ini! Jagad Pranandanu.” “Kalau adiknya?” “Alam Rakyandanu.” Aku langsung mencelos ketika mendengar nama Rakyandanu. Itu jelas nama belakang Mas Gala. Artinya, fix. Mas Gala ponakan Sultan! “Tapi yang Pak Alam ini malah fokus di kehidupan masyarakat umum, Ma,” lanjut Ibu. “Dia enggak tertarik sama politik keraton. Makanya keraton adem ayem aja. Sultan sama adiknya akur banget. Pak Alam ini seorang dokter, setahu Ibu. Kalau sekarang udah dokter senior harusnya, ya? Ibu kurang ngikutin. Cuma denger-denger dulu beliau kuliah kedokteran.” “Kalau Ibu jadi besan Pak Alam, gimana?” Ibu malah tertawa. “Bangun, Ma, bangun. Jangan mimpi ketinggian. Yang sadar diri, gitu, lho! Kok bisa-bisanya tiba-tiba banget ngomong ngelantur gitu.” Ya, ini respon yang sangat wajar. Aku tidak akan menyalahkan ibu atas ini. “Y-ya aku cuma bercanda aja. Siapa tahu Ibu besanan sama adik sultan. Hehe!” “Enggak ngimpi jadi mantu sultan sekalian aja, kamu ini?” Aku langsung meringis. “Ketinggian, kalau itu.” “Tapi anak sultan yang cowok juga udah nikah, sih. Anaknya malah udah dua. Yang terakhir baru aja lahir.” “Nah, makanya aku sama ponakan beliau aja.” “Ma … jadi menantu adik sultan juga sudah ketinggian banget. Malah dobel, kata Ibu. Pak Alam itu keluarga keraton, iya. Dokter senior, iya. Wes, kamu kalau mau nanya-nanya tentang keraton buat pengetahuan aja. Jangan ngayal yang aneh-aneh. Ibu enggak kuat bayanginnya.” “Tapi, Bu … ngayal, kan, enggak ada salahnya. Dan misaaal aja. Namanya misal, kan, hal yang di luar nalar pun bisa aja. Misal anak Pak Alam ngajak aku nikah, Ibu akan kasih restu atau enggak?” “Enggak akan. Ayahmu juga enggak bakal setuju.” Ibu menghentikan kegiatan menjahit. Beliau kini balik badan jadi menatapku. “Karena ngomongin misal, jadi anggap aja benar terjadi. Respon Ibu sama Ayah pasti akan sama. Cari jodoh itu yang setara-setara aja, Ma. Kalau terlalu jauh, itu berat banget jalaninnya. Sama Pak Cakra aja, Ayah sama Ibu udah cukup tekanan batin. Sebenarnya rada minder, tapi dibikin enggak. Kok berani-beraninya kami ngimpi jadi besan Pak Alam? Yo mending Ibu bangun dari mimpi, lalu menyadarkan diri sampai sesadar-sadarnya.” Aku mengangguk. “Hehehe! Oke, Bu. Ini bener-bener candaan doang.” Bicara Pak Cakra, beliau adalah ayahnya Mas Rendra. Beliau punya supermarket yang menyebar di berbagai titik. Mulai dari Sleman, Bantul, Kota, sampai Kulonprogo. Gunungkidul satu-satunya yang belum ada. Kalau tidak salah, total ada kisaran lima sampai tujuh cabang. “Ayah sama Ibu kayaknya lebih mudah minder setelah pindah,” ujarku beberapa saat kemudian. “Ya gimana enggak, Ma? Kita di sini ibarat mulai dari nol. Masih untung utang yang di Jakarta lunas. Masih untung juga Ayah sama Ibu bisa mulai usaha baru di sini. Seenggaknya, buat sehari-hari udah ada. Cukup.” “Besok kalau aku internship mulai dapat gaji, kok, Bu.” “Gaji paling berapa, Ma? Ibu masih anggap kamu belajar sampai internship selesai. Tenang aja. Ibu merendah karena tadi lagi ngomongin Pak Alam. Tapi kalau bicara umum aja, kita enggak senelangsa itu, kok. Hanya enggak kaya dulu lagi. Namanya bumi berputar, kan?” Aku manggut-manggut. “Bener, Bu. Ya udah, aku mau ke kamar lagi.” “Iya. Ibu juga mau lanjut.” Aku segera berlari ke kamar, lalu menjatuhkan diri di ranjang. Aku memejamkan mata sejenak, lalu menatap langit-langit kamar. “Kalau ibu udah pasti enggak setuju gini, apa artinya keputusan menerima Mas Gala susah terealisasikan?” *** Sore ini jatahku belanja untuk keperluan dapur rumah. Sebenarnya bareng Ibu, tetapi beliau harus ke warung makan untuk mengurus pelanggan. Kebetulan, ayah kurang sehat lagi. Jadi, yang handle harus Ibu— serta dua karyawan yang dipekerjakan. Tentu, kedua orang tuaku sudah tidak bisa bekerja sendiri. Mereka perlu orang untuk membantu. Dan ya, dua karyawan itu sudah kuseleksi dengan ketat. Soal karyawan ini aku dan orang tuaku agak trust issue. Pasalnya, saat di Jakarta kami beberapa kali salah rekrut. Jadi, semakin ke sini seleksinya semakin diperketat. Sejak di Jakarta, usaha orang tuaku memang sudah warung makan. Makanya di Jogja pun sama. Akan tetapi, kalau bicara skala, memang terlalu jauh. Di Jogja ini benar-benar yang penting jalan dan pemasukan sehari-hari ada. Dan Alhamdulillah, kami mulai punya pelanggan tetap. Ayah dan Ibu tidak ambil untung banyak. Yang penting kami bangun kepercayaan lebih dulu dengan pembeli. Kebetulan, lokasi warung makan orang tuaku cukup strategis— yakni dekat dengan salah satu kampus negeri yang mahasiswanya cukup membludak. Rata-rata pelanggan memang dari kalangan mahasiswa. “Saus tiram di rumah habis— oke, ambil satu. Saus teriyaki juga satu, deh.” Aku baru saja mendorong kembali troliku ketika tiba-tiba ujungnya bertabrakan dengan troli belanjaan orang lain. Saat aku melihat orangnya, mataku langsung melebar. “Mas Gala!” “Salma? Ketemu lagi, kita. Kamu belanja di sini juga?” “Iya, soalnya dekat.” Aku meringis. “Apa rumah Mas Gala dekat sini?” “Enggak sedekat itu, sih, sebenarnya. Ini tadi habis nemenin Pakde ke rumah sakit buat periksa, tapi beliau pulangnya dijemput Masku. Kebetulan aku ingat harus beli sesuatu, makanya mampir ke sini dulu.” Hm … Pakde, ya? Bukannya Pakdenya itu Sultan Jayaningrat IX? Siapa sangka! Down to earth sekali, orang ini. “Pakdenya tinggal di daerah mana, Mas?” aku mencoba memancing. “E-eee … sana itu.” “Itu mana? Aku mulai hafal area sini, lho. Kapan itu aku keliling motoran sama Ayah.” “Dekat keraton. Area sanalah.” Bilang saja memang keratonnya! “Oh, oke.” “Ya udah, Ma. Aku lanjut dulu. Enggak baik kalau ngobrol di sini. Ngehalangin yang lain.” “Iya, Mas.” Aku menoleh sejenak saat Mas Gala melewatiku. Dia ini sepertinya menyembunyikan sekali asal-usulnya. Semua-muanya tampak sederhana. Namun, tetap saja, keturunan darah birunya sangat kerasa. Sejak aku mengenalnya di Jakarta, dia memang punya aura yang menurutku agak bikin segan. Padahal, dia itu ramahnya tak kurang-kurang. Beda dengan Dokter Arga, seganku ada rasa takut karena dia punya aura mengintimidasi. Mas Gala ini benar-benar tidak begitu. Dia senyum saja, rasa segan itu datang sendiri. Aneh, kan? Bagaimana aku harus mendeskrisikan ini agar apa yang kurasakan tersampaikan? Sulit! Pokoknya begitulah. “Dahlah, lanjut!” Setelah selesai belanja, aku langsung antre di kasir. Begitu membayar, aku segera keluar. “Makasih banyak buat yang kemarin, Ma.” Aku berjengit kaget ketika tiba-tiba di sebelahku sudah ada Mas Gala. Saking kagetnya, aku hampir menjatuhkan es krim yang bungkusnya baru saja kusobek. “Mas Gala ini ngagetin aja!” balasku sembari mengusap-usap d**a. “Sorry, sorry. Aku enggak bermaksud.” “Makasih yang barusan buat buket bunga dan selempang, ya?” “Yes. Ya … sekalipun sad ending.” Dia terkekeh. “Maksudnya?” “Pokoknya gitu.” Jujur, di ingatanku dulu, hal ini— maksudku bertemu Mas Gala di supermarket— tidak ada sama sekali. Di saat yang sama, aku mulai menyadari sesuatu. Rasa-rasanya, sejak aku pelan-pelan menjauh dari Mas Rendra, banyak hal yang berubah jauh. Sepertinya, aku mulai betul-betul paham dengan mekanismenya. Atau lebih tepatnya, cara main era yang sekarang. Meski begitu, sampai detik ini aku masih terus waspada. Aku masih perlu banyak berpikir jika hendak bertindak yang cukup berani. Seperti memutuskan hubungan dengan Mas Rendra, contohnya. Aku tidak bisa asal mengambil tindakan ekstrem. Aku harus menyelesaikannya pelan-pelan. Minimal, aku harus mengulur waktu sebanyak mungkin untuk menghentikan pertunangan, apalagi pernikahan. “Jangan pokoknya gitu, dong, Mas,” lanjutku kemudian. “Apa aku boleh tahu kenapa sad ending? Kepo dikit, nih. Soalnya aku ikut andil mesenin bunga. Jangan-jangan bungaku penyebab sad ending-nya.” “Kayaknya iya, Ma.” “He? Beneran? Tapi itu udah sesuai request, ya, Mas.” “Bercanda, bercanda. Enggak ada hubungannya sama bunga. Kamu beneran kepo?” “Beneran! Tapi enggak maksa, sih. Bercanda juga, aku, nanyanya.” “Kamu lagi gabut atau enggak?” “Ya lumayan. UKMPPD udah beres, sedangkan internship masih lamaaa.” “Pengumuman UKMPPD aja belum, ya?” “Yes. Mana udah ada warning kalau pengumuman bakal diundur karena peserta kemarin agak overload. Kegiatanku sehari-hari cuma bantu-bantu orang tua aja.” Mas Gala manggut-manggut. “Anggap aja istirahat banyak-banyak setelah koas yang super padat.” “Ya, anggap aja begitu.” “Kalau mamang gabut, ayo ikut aku ke suatu tempat. Sekalian aku nepatin janjiku saat di kedai dekat Altar.” Altar adalah Alun-alun Utara. Kalau Alkid, itu Alun-alun Kidul. “Suatu tempat itu mana dulu?” “Masih ada beberapa opsi di kepalaku. Lagi aku pikir enak yang mana.” “Bukan tempat yang aneh-aneh, kan?” “Enggak mungkinlah!” balas Mas Gala cepat. “Kamu tadi naik apa ke sini?” “Motor. Tuh, motorku di dekat pohon.” “Motornya tinggal, ya? Tenang, nanti aku antar sampai sini lagi.” Aku masih belum menjawab ketika Mas Gala sudah berjalan ke arah mobil hitam di sudut halaman. Seolah-olah, dia tidak memberiku kesempatan untuk menolak. Ya sudah. Akhirnya, aku berlari kecil mengekorinya. Sekalipun orang tuaku akan menentang keras— andai benar kedepannya ada titik di mana Mas Gala mengajakku menikah, tetapi kali ini saja, aku ingin menghabiskan waktu bersamanya. Dia, Janggala Rakyandanu. Laki-laki yang sebenarnya sudah kusukai sejak lama. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD