12. Polemik Tanah Warisan

2016 Words
Malam ini, aku sengaja mengajak ketemu Mas Rendra. Aku mengajaknya ke café yang sama dengan saat aku bertemu Mas Gala— yakni café Pawon Kinanthi. Mas Rendra langsung mengiyakan. Mungkin tahunya aku sedang berinisiatif lebih dulu. Padahal, aku ingin minta pertanggungjawabannya atas apa yang telah dia lakukan pada Mas Gala kemarin. “Ma …” Aku mendongak, Mas Rendra sudah datang. Aku langsung mempersilakan dia duduk. “Maaf, perempatan ujung sana itu macet. Jadi aku agak telat.” “Enggak papa. Mas Rendra mau minum apa? Biar aku pesenin.” “Enggak usah. Sebelum ke sini, aku udah pesen. Habis ini paling diantar.” “Oke.” Hening sejenak. Yang terdengar hanyalah suara live music yang lokasinya agak jauh dari tempat kami duduk. Kalau waktu itu aku duduk di lantai dua, kini di lantai satu. “Tumben, Ma, kamu ngajak aku keluar dulu?” “Itu Mas Rendra tahu. Tumben banget, kan, aku ngajak Mas Rendra keluar? Biasanya aku nunggu diajak.” “Ada apa emangnya?” Aku mengambil ponselku, lalu menunjukkan chat dari Mas Gala. “Ini maksud Mas Rendra apa, ya? Segala nyuruh orang buat jauhin aku?” “Dia ngadu ke kamu? Cemen amat!” “Cemen, Mas bilang? Dia laporan itu wajar. Dia begitu karena dia enggak nyaman sampai diperingati orang yang enggak dia kenal dekat. Apalagi sampai chat pribadi kaya gitu. Terlebih, jelas-jelas kita enggak ada apa-apa. Apa hak Mas Rendra ngelarang temenku buat main sama aku? Aku kenal orang ini lebih dulu daripada Mas Rendra.” Mas Rendra hanya berdehem pelan. Di saat yang sama, pelayan datang mengantar pesanan. “Kenapa aku sampai ngajak Mas Rendra ketemu? Itu karena aku enggak mau yang begini terulang kembali. Enggak hanya ke orang ini, takutnya ke orang lain juga. Temanku cowok enggak hanya satu. Kemungkinan, kedepannya akan ada titik-titik di mana aku harus ketemuan sama teman cowok yang lain. Even itu cuma say hello dan ngobrol ringan. Kalau Mas Rendra kaya gini, Mas bikin aku makin enggak ada alasan buat nerima Mas.” “Ma, jangan gitu—” “Belum-belum, Mas udah seposesif ini. Baru ketemu, udah diperingati. Gimana kedepannya nanti? Apa aku enggak akan diperbolehkan buat nyentuh pasien laki-laki? Terutama pasien yang muda? Apa Mas Rendra akan cemburu?” Mas Rendra terdiam. “Kalau Mas Rendra suka beneran sama aku, harusnya Mas ngertiin aku. Aku ini punya kehidupan pribadi dan enggak semuanya tentang percintaan. Enggak semua laki-laki yang aku temuin itu melibatkan perasaan.” “Iya, Ma, aku paham. Maaf, enggak seharusnya aku begitu.” “Setelah semua itu, sebetulnya aku masih akan maklum kalau kita beneran udah jadian. Yang bikin aku makin susah toleran itu karena kita bahkan belum ada hubungan resmi. Tapi Mas udah seberani itu—” “Aku janji enggak akan mengulangi hal yang sama. Aku ngerti sekarang. Lain kali aku akan hati-hati.” “Kalau enggak ada lain kali, gimana, Mas? Kita udahan aja, ya?” “Ma—” “Aku tahu, kita bahkan belum ada hubungan. Tapi pengenalannya cukup sampai di sini, ya?” “Aku enggak mau.” “Mas mau maksa aku, gitu?” “Aku akan berusaha lebih baik.” “Perasaan itu enggak bisa paksakan, Mas. Dan aku ngerasa kita udah enggak cocok.” “Enggak bisakah kamu kasih kesempatan sekali lagi?” “Maaf, Mas, enggak bisa. Kemarin udah kukasih dan Mas enggak manfaatin itu dengan baik.” Aku menghabiskan minumanku, lalu berdiri. “Aku pulang dulu, Mas—” “Tunggu, Ma!” Mas Rendra menahan tanganku, tetapi langsung kutepis. Sayangnya, dia tak menyerah. Genggamannya justru mengerat. “Tolong hargai keputusanku, Mas! Dan please, aku enggak mau bikin keributan di sini. Jadi, tolong lepasin!” Mas Rendra melepas tanganku. Dia menatapku sesaat, lalu mengangguk. Akhirnya, aku segera melangkah cepat meninggalkan area café. *** Satu-satunya hal yang bisa kusyukuri dari tindakan impulsif Mas Rendra yang menyuruh Mas Gala menjauhiku adalah aku jadi punya alasan kuat untuk minta ‘putus’ sekalipun kami belum mulai. Setidaknya, untuk sementara waktu, dia harus tahu malu dengan tidak mengangguku. Namun, di saat yang sama, ada kabar buruk. Mas Gala tiba-tiba mendiamkanku. Lebih parah dari yang waktu itu. Kali ini dia tidak mau membalas pesanku sama sekali. Jangankan membalas, dibaca saja tidak. “Jika pada akhirnya enggak sama Mas Gala, enggak papa. Yang penting enggak sama Mas Rendra,” gumamku pelan sambil berguling di kasur. “Ya, itu tetap lebih bagus daripada memilih jalan yang sama.” Aku bangun, lalu merelaksasi diri sebentar. Aku perlu memikirkan hal lain. “Sekarang fokusku jangan pada Mas Gala, tapi cari cara paling jitu biar Ayah dan Ibu paham kenapa aku betul-betul ingin memutus rencana perjodohan. Oke, gitu aja!” Aku segera turun dari ranjang, lalu keluar kamar. Kulihat Ayah sedang menonton TV di ruang tengah. Ibu di dapur sedang membuat minum. Ngomong-ngomong, warung makan milik Ayah buka pukul sembilan sampai pukul lima sore. Target pasarnya adalah para mahasiswa yang suka sarapan terlambat, makan siang mereka, sampai mereka yang ingin beli bungkus dan makan di kos. Menunya adalah menu makanan rumahan. Ayah, Ibu, atau koki utama, masak dadakan dan dalam sehari biasanya ganti-ganti menunya. Sengaja masak sedikit-sedikit agar tetap fresh plus yang beli pun tidak bosan. Kebetulan, Ayah dan Ibu juga sudah bisa mempekerjakan dua orang lagi. Jadi, kini total yang kerja sudah empat orang. Sebenarnya, ini ketimpangan yang sangat signifikan jika dibanding dengan usaha mereka saat di Jakarta. Karyawan mereka dulu bahkan sampai tiga puluh orang lebih, tersebar di lima cabang yang berbeda. Kini, saat semua itu lenyap, mempekerjakan empat orang saja rekrutnya harus bertahap. Ayah dan Ibu benar-benar harus putar otak dan hati-hati dalam mengelola uang. Saat ini, semua urusan rumah aku yang handle. Itu karena aku masih nganggur. Lalu bagaimana nanti kalau aku mulai internship— yang mana, paling aku hanya bisa membantu sedikit saja? Mau tak mau, sepertinya Ayah dan Ibu harus merekrut orang lagi. Bagaimanapun, mereka sudah tua. Tenaga mereka sudah terbatas. Terutama Ayah, beliau tidak boleh kelelahan. “Mana lawan mana, itu, Yah?” tanyaku sembari duduk di sebelah Ayah. “Jepang lawan Indonesia.” “Wih, sama kuatnya kalau ngomongin bulu tangkis.” “Menang kita, kayaknya. Itu Jepang ketinggalan jauh.” “Yang paling kuat masih China, ya, Yah?” “Kalau secara umum, iya. Tapi kalau tunggal putri-nya masih dipegang Korea.” Ayah sangat suka dengan acara olahraga. Mau itu bola, bulu tangkis, voli, sampai panjat tebing sekalipun. Kalau tidak ada acara semacam itu, beliau akan menonton berita— bukan berita gosip. Pokoknya apa pun berita yang unik-unik. “Yah, tadi Ibu bilang. Katanya, Ayah sama Ibu rekrut dua orang lagi, ya?” “Iya, Ma. Alhamdulillah warung kita ramai terus tiap hari. Udah kewalahan banget kalau dibantu dua orang aja. Jadi, kami ambil dua orang lagi. Yang satu ibu-ibu khusus tukang cuci piring dan perkakas. Biar yang sebelumnya sering nyuci piring, fokus sama pelayanan aja.” “Ayah sama Ibu juga bisa lebih ringan, ya?” “Iya. Ayah kalau lagi lelah napasnya langsung susah diatur soalnya. Pelanggan yang dengar pasti enggak nyaman. Mau enggak mau, Ayah harus berhenti. Nah, kalau Ayah diam, kasihan ibumu bakal lebih ekstra.” Aku mengangguk. “Paham, Yah. Ayah dan Ibu cukup ngarahin aja.” “Kemarin Ibu dapat tawaran, Ma.” Ibu datang membawa dua teh hangat. Satu untuk beliau sendiri, dan satu untuk Ayah. Aku tidak terlalu suka minuman yang ada rasanya, jadi jarang sekali membuat teh atau kopi. “Tawaran apa, Bu?” “Tawaran buat sewa ruko di dekat kawasan pendidikan gitu. Konsepnya yayasan. Ada dari TK, SD, SMP, SMA, sampai kampus juga— meski masih kecil. Tadinya ruko itu disewa orang buat jualan nasi ayam krispi. Udah mau selesai masa sewanya. Nah, orangnya enggak perpanjang karena mau pindah ke Ngawi, Jawa Timur. Itu strategis dan selalu ramai. Peluangnya gede banget.” “Ibu sama Ayah minat?” “Minat banget, tapi tabungan Ibu sama Ayah kalau buat itu bakal menipis. Kita enggak boleh sembarangan ngelola uang. Sudah cukup utang yang kemarin dilunasin. Kalau bisa jangan ada lagi.” “Tapi sebenarnya uang kita agak longgar, kan, Bu? “Ya kalau enggak ada apa-apa, emang masih cukup longgar. Katakan, lumayanlah. Cuma kalau dikurangi buat sewa ruko itu, jadi kaya serba mepet. Kalau ada apa-apa, takut harus utang lagi. Ayah sama Ibu trauma banget soal utang. Kalau bisa, beneran jangan lagi, Ma.” Aku berdehem pelan. Meski momennya berbeda, tetapi aku tahu dengan maksud dan tujuan Ibu ngomong begitu. Karena ini mirip dengan yang terjadi dulu. “Ini kode biar aku mau sama Mas Rendra, terus Ayah dan Ibu jual tanah warisan. Iya, kan? Uangnya mau buat buka cabang baru. Begitu, Bu?” “Kalau mau berkembang, harus mau ambil risiko, Ma. Pastinya dengan perhitungan. Dan itu bener-bener bagus. Yang nyewa ini aja sayang banget kalau enggak perpanjang, tapi dia harus pulang kampung karena mau ngerawat orang tua. Akan banyak yang mau kalau Ibu enggak ambil. Karena se-strategis itu.” Di kehidupan sebelumnya, tepatnya berdekatan dengan hari pembunuhan dilakukan, Ibu dan Ayah baru taken kontrak sewa rukonya. Namun, Ayah keburu jatuh sakit karena memikirkanku yang akhirnya ketahuan di-KDRT. Ayah drop parah tahu badanku lebam-lebam, lalu beliau dilarikan ke rumah sakit. Kejadian itu betul-betul hanya berselang beberapa hari saja sampai nyawaku meregang. “Masa habis sewanya Agustus, ya, Bu?” “Lho! Kok kamu tahu, Ma?” “Nebak aja.” “Iya, Agustus. Kita bisa gunain mulai September.” Kan! Tepat sekali ingatanku! “Bu, emang kalau tanah dijual 2,55 miliar aja, apa enggak bisa?” “Selisihnya mau 1 miliar, lho, Ma—” “Justru di sini anehnya, Bu. Ibu ini, lho, kenapa polos banget?” “Polos gimana?” “Menuruku, harga dari Pak Cakra itu sama sekali enggak masuk akal. Yang lain baru masuk akal karena berdekatan. Artinya, pasaran tanah Ibu kisaran angka itu. Kalau dihitung per-meter, harganya enggak jauh. Naik-turun kalau seratus sampai dua ratus juta masih kuanggap wajar. Ini nyaris satu milyar, loh! Enggak wajar aja pakai banget.” “Ibu jujur aja, deh, Ma. Emang kalau lihat itunya agak enggak wajar. Tapi waktu itu Pak Cakra bilang—” “Yang satu setengah miliar mau dikasih aku dan Mas Rendra kalau kami jadi menikah?” Mata Ibu melebar. “Kok kamu tahu? Apa Rendra bilang?” “Aku cuma nebak. Kan ini sejalan sama Pak Cakra yang emang pengen jadiin aku mantu—” “Iya, Ma. Emang gitu rencananya.” “Justru Ibu malah pegangnya cuma dua miliar, loh.” “Ibu tahu, dan itu enggak papa. Toh sisa uangnya buat kamu.” Duh! Andai Ibu tahu. Dua miliar pun tidak akan langsung diberikan. Pak Cakra mencari alasan untuk bayar nyicil, dan cicilannya tidak pernah lunas. Ayah dan Ibu benar-benar ditipu habis-habisan. Untuk saat ini, minimal aku harus bisa menyelamatkan tanah milik Ibu. Jangan sampai tanah itu jatuh ke tangan para manusia iblis yang tahunya menghalalkan segala cara demi mendapatkan apa yang mereka mau. “Bu, aku beneran belum mau nikah. Pokokya tanah itu jangan dijual dulu. Soal sewa ruko, aku akan cari cara lain.” “Cara lain apa, Ma?” “Ya nanti pokoknya aku pikirin. Tawaran itu diiyain dulu enggak papa, aku akan cari uangnya.” “Ma, enggak murah, lho, harga sewanya—” “Paling seratus sampai dua ratusan, kan? Aku akan cari.” “Uang segitu enggak ‘paling’ buat kondisi kita sekarang. Kita enggak selonggar dulu!” “Aku akan cari suami yang jauh lebih kaya dari Mas Rendra.” Aku bangkit, lalu menatap Ibu serius. “Kalau Ibu masih sayang sama aku, pokoknya jangan jual tanah itu ke Pak Cakra. Titik!” Setelah mengatakan itu, aku langsung bergegas ke kamar. Aku tidak ingin debat lebih panjang. Goal-ku saat ini cukup mengentikan niat itu untuk sementara waktu. “Salma! Kok malah pergi, sih? Ma!” Panggilan dari Ibu tak kugubris. Biarkan jika ibu agak kecewa denganku. Yang penting, untuk saat ini tanah beliau selamat dulu. Sesampainya di kamar, aku melompat ke ranjang dan tengkurap di sana. “Mas Gala! Ayo ajak aku nikah lagi! Aku akan iyain detik itu juga!” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD