10. Acuh Tak Acuh!

1907 Words
Mas Gala sudah tak mau lagi membalas pesanku. Dia hanya mengirim pesan beruntun itu, lalu saat kubalas, dia hanya membacanya. Aku mengatakan padanya kalau Mas Rendra bukanlah calon suamiku. Dia hanya orang yang akan dijodohkan denganku, tetapi belum terjalin kesepakatan apa pun. Sayangnya, Mas Gala sudah tak sudi merespon. Mungkin dia terlanjur kecewa plus agak malu. Bagaimanapun, dia mengajak menikah cewek yang tiba-tiba diakui calon istri oleh cowok lain. Aku bisa mengerti bagian ini. “Salma!” tiba-tiba terdengar panggilan dari Ibu yang diiringi ketukan pintu berulang kali. “Kamu udah tidur? Atau lagi ngapain? Ibu mau masuk.” “Aku belum tidur, Bu. Bentar, aku bukain.” Aku melompat dari kasur, lalu membuka pintu. Kini Ibu berdiri di depan kamar sembari membawa bantal. “Loh! Ibu kok bawa bantal?” tanyaku dengan mata yang langsung memicing. Jujur, seketika aku menangkap sesuatu yang tidak beres. Dalam arti, aku merasa ibu ada maksud lebih karena tiba-tiba datang ke kamarku malam-malam. “Ibu mau tidur sama kamu malam ini, Ma—” “Pasti mau ngobrolin soal Mas Rendra?” “Kalau enggak boleh, Ibu balik kamar—" “Boleh, kok, boleh.” Aku menahan lengan Ibu. “Jangan gitu, to, Bu!” “Ya kamu, sih!” Ibu akhirnya masuk kamarku dan pintu kembali kututup. Ibu naik di sisi kiri, lalu masuk ke dalam selimut. Lihat saja. Aku yakin seribu persen kalau Ibu akan membawa obrolan tentang Mas Rendra atau orang tuanya. Aku yakin sekali soal ini. “Mau ngomong apa, Bu? Aku dengerin,” ujarku to the point. “Kamu ini kenapa, sih? Orang Ibu cuma mau tidur di sini.” “Enggak mungkin gara-gara berantem sama Ayah, kan? Kayaknya selama kurang lebih dua puluh lima tahun aku hidup, aku belum pernah lihat Ibu sampai minta tidur bareng aku hanya karena bertengkar sama Ayah.” “Ya memang bukan karena bertengkar sama Ayahmu. Ibu baik-baik aja sama dia.” “Terus?” “Kamu rebahan juga, sini. Cepetan!” Ibu mengisyaratkan agar aku ikut naik ke ranjang. “Jangan cuma berdiri di situ!” “Iya, iya.” Akhirnya, aku ikut berbaring di sebelah Ibu. Feeling-ku mengatakan tebakanku tadi pasti benar. Dalam hitungan menit— atau bahkan detik, Ibu akan menyinggung tentang Mas Rendra. Pokoknya apa pun yang berhubungan dengan dia. Baiklah, akan kudengarkan. Dipikir lagi, aku memang tidak bisa menghindar begitu saja. Hubungan dua keluarga sudah terlanjur terjalin sekalipun baru sebatas rencana perjodohan. “Ma …” panggil Ibu dengan nada yang terdengar lembut. “Iya, Bu?” “Kamu beneran enggak suka sama Rendra, po?” Kan! Apa aku bilang? Ibu ini mudah sekali tertebak. Jika bukan karena Mas Rendra, mustahil sekali Ibu mau meninggalkan Ayah dan malah tidur di kamarku. Bahkan saat mereka agak bersitegang, mereka tetap tidur satu kamar. “Suka dalam hal apa ini, Bu?” “Ya apa aja.” “Ya suka-suka aja, sih. Tapi suka sekadarnya. Dia lumayan ganteng dan kelihatan baik. Kelihatannya aja, tapi. Enggak tahu kalau aslinya. Bisa jadi, baiknya itu cuma topeng.” “Loh! Kok kamu gitu ngomongnya?” “Ya feeling aja.” “Enggak boleh, loh, Ma, nilai orang berdasarkan feeling. Kita ini manusia biasa. Udah lihat data yang jelas aja bisa salah, apalagi cuma main perasaan?” Ibu benar. Menilai orang hanya dengan feeling memang tidak bijak. Peluang salah bisa sangat besar. Namun, feeling-ku berbeda. Tidak hanya sekadar feeling seperti biasanya. “Salma! Kok malah ngelamun, sih? Bales, dong, kalimat Ibu.” “Bu, kalau aku bilang sekarang aku ini semi cenayang dan tahu tentang sebagian masa depan, Ibu percaya atau enggak?” “Ya enggaklah!” balas Ibu cepat dan tegas. “Berguru sama siapa, kamu? Dapat wangsit dari mana pula? Aneh-aneh aja, malah mendadak bahas cenayang.” “Udah kuduga Ibu akan bereaksi kaya gitu. Aku mau jelasin sampai mulut berbusa pun percuma. Yang ada, kalau aku nekat bahas ini dengan serius, aku malah bakal dicap orang gila.” “Kamu ini kenapa, sih, Ma?” “Lupain, Bu. Soal cenayang itu aku cuma bercanda.” “Ya udah, kembali ke Rendra. Orang tuanya minta ketemuan minggu depan. Makan malam bersama aja, gitu. Enggak mau?” “Enggak mau!!!” balasku cepat dan penuh penekanan. “Ma, jangan bikin Ibu ngerasa bersalah, loh.” “Kenapa Ibu harus ngerasa bersalah? Yang nawarin perjodohan, kan, sana duluan. Terus di awal bilangnya kalau cocok, nikah. Kalau enggak, ya, enggak. Nah, ini aku sama Mas Rendra enggak cocok. Ya enggak bisa nikah, dong. Jangan dipaksain!” “Rendra bilang kalian cocok.” “Cuma dia aja yang ngerasa gitu. Aku, mah, enggak.” “Tapi kamu ini aneh, loh!” ekspresi Ibu mendadak berubah sangat serius. “Awal-awal itu kaya kamu ini seolah mau iya banget. Kamu juga enggak ragu nunjukin di depan Ayah sama Ibu. Tapi kenapa akhir-akhir ini, Ibu merasa kamu mendadak berubah? Ada apa, Ma?” “Mungkin karena semakin ke sini, aku semakin sadar aja. Aku belum sepengen itu buat nikah. Mulanya aku iyain karena aku pikir kalau aku nikah, aku bisa ngurangin beban Ibu. Tapi lihat Ayah sakit, aku pengen ikut ngerawat—” “Itu tugas ibu aja. Kamu jangan mikirin itu. Ibu malah lebih senang kalau kamu jadi nikah.” “Ibu lagi ngusir, ya?” “Enggak, Ma. Jangan salah paham! Ibu lebih ingin kamu udah punya keluarga baru. Nanti kalau Ayah dan Ibu enggak ada, kamu udah ada yang jagain.” “Ah, basi banget alasan orang tua selalu begitu.” “Salma!” Ibu tiba-tiba menaikkan suara. “Kamu bilang basi? Padahal yang Ibu bilang itu bener, lho. Kenapa orang tua selalu begitu? Karena harapan orang tua itu rata-rata sama. Mereka sama-sama ingin anaknya mendapat pasangan yang baik.” “Memangnya Mas Rendra pasti baik?” “Ya jelas. Ibu udah pernah nyinggung soal bibit, bebet, dan bobotnya.” “Ibu baru menilai kulit luar. Belum kulit dalam.” “Emang kamu udah menilai kulit dalam? Dari mana nilainya?” Aku terdiam. Iya juga, ya? Sebenarnya aku juga hanya menilai kulit luar makanya dulu mau. Kulit dalam bisa diketahui jika dan hanya jika tinggal satu atap. “Intinya, Ma, Ibu ingin kamu lekas punya keluarga baru.” “Kalau keinginan Ibu gitu, suamiku enggak harus Mas Rendra, kan?” “Lalu siapa? Kamu aja enggak pernah punya pacar, kok. Dari dulu selalu single, makanya Ibu inisiatif jodohin.” “Kalau sebenarnya ada … gimana, Bu?” “Mana? Mana, orangnya? Siapa?” “Keponakan Sultan Jayaningrat.” Ibu malah tertawa. “Ma, Ma! Kalau mimpi mbok ya jangan ketinggian. Ibu tahu, kok, Pak Alam itu punya anak satu. Cowok.” “Nah! Ya, itu, Bu. Dia pacarku.” Tangan Ibu malah tiba-tiba terulur menyentuh dahiku. “Rada anget. Pantesan kamu kayaknya rada oleng. Omongannya jadi ngelantur.” “Ih, ibu, mah, enggak percayaan.” “Ya lagian kamu ini aneh. Selama ini enggak ada bahas cowok, tiba-tiba ngaku pacarnya keponakan sultan. Enggak masuk akal. Bohongnya kelihatan banget!” Soal bohong, memang bohong. Aku dan Mas Gala tidak pacaran. Namun, tetap saja, dia baru mengajakku menikah. Aku sengaja menyinggung ini di depan Ibu dan ternyata beliau masih semenolak itu. Ya, sekali lagi memang wajar. Sangat wajar! “Jadi andai aku enggak bohong, Ibu tetap menolak percaya?” “Iya, karena kamu tetap bohong. Bilang enggak bohong aja udah bohong.” Aku tersenyum, Ibu malah mencibir pelan. “Kamu ini, Ma, Ma.” “Kalau suatu saat beneran anaknya Pak Alam lamar aku gimana, Bu?” “Ibu enggak akan jawab pertanyaan yang enggak mungkin dan terlalu mengada-ada. Udah, udah. Kalau kamu menolak bahas Rendra sekarang, enggak papa. Mending tidur aja. Kita bahas besok lagi.” “Enggak akan direstuikah, Bu?” “Siapa Ibu, sampai berani nolak lamaranya Pak Alam? Tapi sebelum itu, Ibu harap kamu sadar diri dulu.” “Eh, tunggu! Jadi kalau Pak Alam yang lamar, Ibu enggak berani nolak?” “Masyaallah, Salma! Wes, tooo! Jangan ngayal terus!” Ibu tiba-tiba bangkit. Itu membuatku menatap beliau bingung “Kenapa bangun, Bu?” “Ibu mau nemenin Ayah aja. Daripada dengerin khayalanmu yang kebangetan itu. Bikin Ibu merinding sebadan-badan!” Ibu buru-buru turun dari ranjang, lalu keluar kamarku. Kini, aku mengingat kembali kalimat beliau barusan dan kalimat beliau beberapa waktu lalu. “Kok enggak konsisten? Jadi, Ibu sebenarnya akan nolak atau nerima kalau yang ngelamar Pak Alam langsung?” *** ‘Yang ngelamar Pak Alam langsung.’ Ini memang terdengar seperti bualan di siang bolong. Boro-boro membayangkan Pak Alam akan melamarku langsung untuk anak semata wayang. Masalahnya, anak semata wayang beliau saja masih tak sudi membalas pesanku. Sedih sekali rasanya. Ibarat sudah diberi harapan setinggi langit, tiba-tiba harus terhempas sampai dasar lautan. Semua ini gara-gara si kunyuk Rendra yang tak tahu diri itu! Ngomong-ngomong, saat ini aku sedang jogging sendirian di area Alun-alun Utara. Ya, aku memang sengaja memilih tempat ini karena berharap bertemu Mas Gala. Semoga seperti waktu itu, Mas Gala juga sedang jogging di area ini. Namun, sampai kakiku sudah sangat pegal, Mas Gala tak kunjung kelihatan. Sebenarnya tidak heran. Kemungkinan bertemu di tempat yang jelas-jelas terlalu umum begini sangatlah kecil. Aku saja yang terlalu berharap pada keajaiban. “Hmh!” tarikan napasku terasa berat. Sudah cukup kelilingnya, aku lelah. Kini aku duduk di salah satu bangku dekat trotoar. “Hoki setahun udah dipakai buat dikasih kesempatan dilamar Mas Gala lagi. Eh, malah aku nyia-nyiain itu. Mau berharap hoki terus, mana bisa. Ngelunjak banget namanya.” Aku membuka air mineral dingin yang baru saja kubeli, lalu mengedarkan pandangan. Meski bukan weekend, ternyata cukup banyak yang jogging di area ini. Ya, meski tidak seramai Alun-alun Kidul. Aku baru minum dua teguk ketika tiba-tiba aku dikagetkan karena orang yang ingin kulihat mendadak menampakkan diri. Aku langsung berdiri dan hendak menghampirinya. Sayangnya, niatku harus urung begitu melihat dia sedang berjalan bersama laki-laki paruh baya yang kuhafal betul wajahnya. “Mas Gala sedekat itukah, sama Sultan?” aku mundur lagi, lalu duduk. Ya, laki-laki paruh baya itu adalah Sultan Jayaningrat IX. Aku paham betul dengan wajah beliau karena beliau sering terekspos di sosial media dan TV nasional. Bagaimanapun, Sultan Yogyakarta otomatis merangkap menjadi Gubernur— alias memiliki otoritas sebagai pemimpin di lembaga pemerintahan. Beda dengan Raja Keraton Solo yang tidak merangkap jabatan apa pun, melainkan hanya pelestarian budaya saja. “Padahal Sultan sering terekspos penuh, tapi keluarga beliau enggak. Pada rendah hati banget!” Sampai detik ini, aku benar-benar belum tahu wajah kerabat Sultan. Entah mereka tidak punya sosial media, atau aku saja yang memang tak betul-betul mencari. Lagi pula, tadinya aku tidak begitu interest dengan Keraton Yogyakarta. Ini murni karena Mas Gala saja, jadi aku mencari tahu. Pengetahuanku soal ini benar-benar nyaris nol besar. “Ya udahlah. Tahan dulu. Aku temuin dia lain kali.” Setelah menimbang selama beberapa saat, aku memutuskan untuk mengirim pesan ke Mas Gala. Sengaja aku juga mengambil foto dia dan Sultan dari kejauhan. Pesan dariku langsung dibaca karena dia mendadak online. Aku juga bisa melihat kalau dia sedang membuka ponsel. Namun, dia bahkan tak celingukan sedikit pun. Dia hanya membaca pesan dariku, lalu kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Melihat betapa tak pedulinya Mas Gala pada pesanku, aku langsung menunduk. Tanpa sadar, air mataku kini sudah keluar begitu saja. “M-masa iya, bener-bener udah pupus harapan? Masa iya, ending-nya harus sama? Apa aku ini memang ditakdirkan harus mati di tangan suami sendiri?” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD