“B-bentar, bentar! S-satu bulan?”
Ayah dan Ibu langsung mengangguk. Kompak pula. Seolah-olah, mereka sudah merencanakannya. Padahal, aku yakin ini hanya cetusan dadakan dari Ayah yang langsung mendapat persetujuan dari Ibu.
Dasarnya mereka berdua memang berjodoh. Jadi, isi otak seringkali sama persis. Sebagai anak yang hidup bersama mereka selama bertahun-tahun, aku sudah sangat hafal.
“Yah, ini mah sama aja Ayah maksa aku sama Mas Rendra—”
“Loh! Kok bisa kamu mikir gitu? Tadi bukannya kamu bilang kalau kalian udah ngobrol ke yang menjurus? Artinya, dia punya perasaan yang sama. Itu minimal banget, Ma. Lagian perlu kamu garis bawahi. Ayah bukan nyuruh dia menikahimu bulan depan. Ayah hanya minta keseriusannya. Soal nikah, tentu dibahas sambil jalan. Ayah, kan, harus tetap lihat bibit, bebet, dan bobotnya juga.”
“Lah! Nanti kalau dia udah serius, malah Ayah yang enggak setuju. Itu gimana?”
“Tenang aja, Ayah akan objektif. Kalau dia anak yang baik dan cocok sama kamu, Ayah pasti akan restuin. Kalau enggak, berarti ada yang salah sama dia.”
“Yakin gitu, Yah? Jangan cari-cari alasan buat nolak, loh!”
“Tenang aja. Ayah pasti objektif, Ma. Seingin apa pun Ayah lihat kamu nikah sama Rendra, tapi Ayah tetap memprioritaskan kebahagiaanmu. Dalam arti, Ayah akan menyeleksi sendiri calon mantu yang cocok buat kamu.”
“Dan sampai detik ini, Ayah masih seyakin itu kalau Mas Rendra cocok denganku?”
“Iya. Pak Cakra juga. Dia cocok jadi mertuamu.”
Aduh, duh!
Aku tidak tahu apa saja yang sudah Mas Rendra dan Pak Cakra lakukan sampai Ayah sangat mempercayai mereka. Apa mereka segitunya love bombing? Memanfaatkan kelemahan Ayah untuk meraih hati beliau?
Mereka ini memang pandai sekali akting. Di luar bisa sangat baik seolah-olah malaikat. Padahal aslinya tak kalah dari iblis. Mereka hanya manusia culas yang menghalalkan segala cara untuk kepentingan pribadi.
Tolong jangan bosan kalau aku sering membahas tentang betapa kejamnya mereka. Kemungkinan besar, kedepannya aku masih akan mengungkit hal serupa. Itu karena rasa sakit yang sudah mereka torehkan luar biasa besar.
Ingatan itu benar-benar menancap di otak. Tangisku, tangis Ayah, juga tangis Ibu, semua kuingat dengan jelas.
“Gimana, Ma? Kok malah bengong?”
Aku menunduk, tidak membalas.
“Sebulan harusnya cukup. Setidaknya, bikin dia mau ngobrol sama Ayah dulu. Berdua aja.”
“Hanya itu satu-satunya opsi?”
Ayah mengangguk mantap. “Iya, hanya itu. Dan perlu kamu tahu, opsi itu Ayah ada-adain demi kamu. Kalau boleh jujur, aslinya enggak ada.”
“Hm! Ya udah, iya.”
“Sekarang tanggal berapa, Dek?” tanya Ayah pada Ibu.
“Aku lupa, tapi udah masuk April awal.”
“Berarti awal Mei deadline-nya—”
“Sampai akhir mei-lah, Yah!” potongku cepat.
“Kalau pertengahan?”
“Akhir, Yah. Please.”
“Sama aja dua bulan, to, Ma?”
“Y-ya enggak! Lagian, ini juga bukan awal April banget. Hampir tanggal sepuluhan, loh!”
“Eh … iya, to, Ma?”
“Iya, ya! Kita bayar sewa warung itu udah agak lama, Bu. Dan itu tanggal tiga. Sekarang tanggal delapan atau sembilan gitu—”
“Tanggal sembilan, ternyata!” balas Ibu setelah mengecek ponsel. “Cepet banget! Kaya baru kemarin tanggal satu.”
“Tuh, Yah. Udah mau sepertiga bulan.”
“Ya udah, iya. Akhir Mei deadline-nya.”
“Oke.”
“Karena udah Ayah longgarin, maka kesepakatan ini makin serius. Kalau gagal, Ayah mulai akan maksa kamu. Memang terkesan tega, tapi ini yang terbaik.”
“Aku masih enggak ngerti kenapa Ayah bisa sepercaya itu sama Pak Cakra—”
“Kalau kamu beneran mau ngerti, makanya kamu mau kalau diajak ketemu. Ayo, makan malam keluarga. Biar kenalan langsung dan jadi dekat. Nanti kamu akan tahu dia sebaik apa.”
“Memang baik banget!” lanjut Ibu.
Aku langsung mencibir dalam hati. Kurasa, level munafik Pak Cakra dan keluarganya sudah di atas rata-rata. Sungguh!
“Mau, Ma?”
“Enggak, Yah, makasih.”
“Sama sekali?”
"Kalau sama temanku yang ini engak jadi, aku akan pikirin ulang. Mungkin nanti mau-mau aja. Tapi kalau sama yang ini berhasil, Ayah jangan ungkit lagi soal Mas Rendra.”
Ayah mengangguk. “Oke, deal. Karena kamu udah sepakat, kamu enggak boleh ingkar janji!”
“Justru aku curiga Ayah dan Ibu yang akan ingkar.”
“Saling mengingatkan aja.”
Aku ikut mengangguk. “Oke!”
***
Apa yang bisa kulakukan dalam sebulan agar Mas Gala mau menikahiku? Sungguh mustahil rasanya. Terlebih, setelah apa yang dia alami. Tidak hanya soal Mas Rendra yang mengaku calon suamiku, juga tentang Mas Rendra yang menyuruhnya menjauhiku.
Aku merasa hubungan kami kini sangatlah jauh. Boro-boro berteman seperti dulu. Yang ada, sampai detik ini Mas Gala masih menolak berkomunikasi denganku.
Ya, kalau diingat lagi, di kehidupan sebelumnya pun sama. Setelah ditolak, kami betul-betul lost contact. Aku pernah menyinggung tentang ini sebelumnya, kan?
“Aduh! Mana sebulan itu cepet banget, lagi!”
Aku sedang mondar-mandir ke sana dan kemari saat tiba-tiba mendengar ponselku berdering. Ada panggilan masuk dari Reva. Dia adalah salah satu teman koasku di stase mata.
“Hallo, Rev?” sapaku begitu panggilan tersambung.
“Hallo, Kak Salma.”
“Gimana?”
“Bentar lagi, kan, pengumuman UKMPPD. Minggu depan, kan?”
“Iya, terus?”
“Kak Salma jadi daftar di daerahku enggak? Kan katanya pengen banget main ke Banda Neira? Dijamin kuota tumpah-tumpah.”
“Enggak tumpah-tumpah juga, kali, Rev.”
Reva tertawa. “Paling enggak, enggak akan rebutan. Minat atau enggak? Aku dengar, rumah sakit yang dekat rumahku ada buka buat dokter yang mau internship. Untuk tempat tinggal, jangan khawatir. Orang tuaku punya dua rumah, yang satu jarang dipakai. Enggak diminta sewa, kok. Misal Kak Salma mau, tinggal di situ aja. Gratis! Malah bakal sering dikirim makanan dari rumah.”
Ya, Reva ini memang orang Banda Neira. Dia kuliah di Jakarta karena dapat beasiswa khusus dari pemerintah setempat. Dia memang harus kembali dan mengabdi di daerah asal.
Saat masih koas bersama, aku pernah bercanda ingin ikut Reva pulang karena aku ingin tahu Banda Neira secara langsung. Reva pun semangat mengiyakan. Dia bahkan langsung promosi tempat-tempat iconic yang memanjakan mata. Tak lupa, dia juga pamer ikan paus dan lumba-lumba Banda Neira yang memang sudah sangat terkenal.
Namun, melihat kondisiku sekarang, rasanya tidak mungkin. Jangankan sampai Banda Neira sana, yang mana ada di Kabupaten Maluku tengah. Aku internship di Jawa Tengah yang notabene provinsi kelahiranku saja, mikir-mikir. Aku akan berusaha keras agar dapat di Yogyakarta saja.
“Kak Salma, ih! Kok diem?”
“Aku emang pengen banget ke Banda Neira, Rev. Salah satu impianku bisa main ke sana. Tapi orang tuaku di rumah sering kurang sehat. Jadi, aku mau internship di Yogyakarta aja.”
“Oh, gitu. Ya udah, enggak papa. Aku kepikiran aja, makanya telepon Kak Salma.”
“Mungkin next time aku ke sana, enggak harus buat internship. Sekadar main, mungkin?”
“Aamiin. Aku tunggu, ya, Kak!”
“Yoi!”
“Ya udah, aku tutup, Kak. Cuma mau ngomong itu aja.”
“Oke. Makaish, lho, Rev, udah ingat aku.”
Reva tertawa. “Kaya apa aja, Kak Salma, ini. Beneran aku tutup, ya!”
“Oke.”
Setelah panggilan dari Reva berhenti, aku tengkurap di atas ranjang. Aku kembali teringat tentang tantangan dari Ayah. Mood yang sempat membaik karena dengar Banda Neira, seketika buruk lagi karena ingat kenyataan.
“Gini banget hidupkuuu!”
Setelah puas memukul-mukul kasur, aku bangkit dan keluar kamar. Tiba-tiba saja, aku ingin meredakan pikiran dengan jalan-jalan naik motor. Kalau ada jajanan enak, akan kubeli.
Biasanya, mood-ku jauh membaik kalau merasakan udara segar. Semoga saja kali ini juga begitu.
“Mau ke mana, Ma?” tanya Ibu yang melihatku berjalan ke arah garasi.
“Keluar bentar, Bu—”
“Ya ke mana? Kok pakai motor?”
“Cari angin aja. Lagi suntuk di rumah.”
“Jangan pulang kemalaman, lho, ya!”
“Enggak. Ibu tenang aja.”
Setelah keluar area rumah, aku menjalankan motorku ke arah selatan. Entah kenapa, tiba-tiba aku ingin motoran di area Malioboro. Karena ini bukan weekend, harusnya tak terlalu ramai. Kalau weekend, area sana paling kuhindari. Biasanya hanya lelah di jalan.
“Eh, apa itu?” aku menghentikan motorku ketika melihat ramai-ramai seperti arak-arakan karnaval. Membuat jalan jadi mendadak macet.
“Itu apa, ya, kak?” tanya pengendara motor yang berhenti di sampingku.
“Wah, saya juga kurang tahu. Saya juga lagi bertanya-tanya.”
“Itu arak-arakan cucu sultan, Mbak. Baru aja khitan,” balas pengendara lain yang dengar.
“Oh, gitu.” Aku mengangguk paham. “Pantesan!”
“Bikin macet, ya?” balas satunya lagi.
“Bentar aja, kok. Cuma nyeberang jalan. Enggak ada lima menit.”
“Eh, keretanya unik banget. Dihias cantik, warna hijau pupus ada melatinya— nah itu! Cucunya yang dipangku.”
Aku tersentak ketika melihat seseorang yang sangat kukenal sedang duduk di kereta memangku anak kecil yang tak terlalu kecil. Mungkin usia empat atau lima tahunan.
“Masih kecil banget udah sunat.”
“Minta terus, katanya. Anaknya berani. Ya calon Sultan juga, sih, nantinya.”
Kini, orang-orang di sebelahku terus bersahutan. Harusnya mereka orang lokal sampai tahu kabar yang cukup detail begitu. Aku yang pendatang ini hanya bisa menyimak.
“Itu yang mangku si anak … Ayahnya, ya?” tanya orang di sebelahku— lagi. “Masih muda banget!”
“Bukan, Ayahnya yang duduk di samping kusir. Yang mangku itu paman sepupu. Eh, apa sebutannya? Pokoknya anaknya Pak Alam, adiknya Sultan.”
“Dekat banget, ya?”
“Banget! Soalnya anak sultan yang laki-laki cuma satu. Sisanya cewek semua. Jadi dia dekat sama sepupunya, sampai anaknya pun ikut dekat. Keluarga mereka sangat akur.”
“Bagus, sih, jadi enggak ada istilah rebutan kekuasaan.”
“Sejak awal kayaknya Pak Alam memang enggak suka jadi pejabat pemerintah.”
“Iya, betul. Pernah denger juga.”
Kini napasku rasanya tercekat di tenggorokan. Entah kenapa, rasanya mendadak tak kuat menatap apa yang ada di depan sana.
Ya, yang sedang mereka bicarakan adalah Mas Gala. Mas Gala yang sedang memangku cucu Sultan.
Sadar, Salma, sadar!
Bagaimana mungkin aku mengharap dinikahi orang yang ada di kereta itu, sementara aku hanyalah penonton yang terlihat seperti salah satu semut di antara banyak semut.
Betapa luar biasa besar kesejangannya!
***