“Ken, kamu mau ke mana?” tanya Viktor yang kaget melihat putranya tiba-tiba berbalik arah, saat mereka akan masuk ke dalam sebuah restoran.
“Kenzo ada urusan, Pa. Maaf, Kenzo pergi dulu.” Kenzo segera bergegas pergi.
“Ken! Kamu gak bisa pergi. Klien kita udah nunggu,” cegah Viktor.
Kenzo berhenti lalu melihat ke arah papanya, “Ini lebih penting, Pa. Masalah nama baik keluarga. Maaf Pa, Kenzo pamit dulu.”
Kenzo yang langsung menjadi cemas setelah mendapat berita tentang Kanaya dan Restu yang pergi bersama pun, segera membatalkan acara pertemuannya dengan klien pentingnya. Bagi Kenzo, saat ini mengurusi wanita yang bisa saja merusak nama baiknya dan keluarga itu lebih penting.
Kenzo segera masuk ke dalam mobilnya. Tidak lupa juga dia menghubungi anak buahnya, untuk mencari tahu keberadaan Kanaya.
Kenzo sudah sangat geram. Bagaimana mungkin Kanaya bisa seceroboh itu. Pergi dengan laki-laki lain, di saat statusnya sudah menjadi calon istri Kenzo Sagala.
“Di mana dia?” tanya Kenzo menghubungi anak buahnya yang sedang mengikuti mobil Restu.
“Sepertinya akan masuk ke City Mall, Bos.”
“Kita ke City Mall,” perintah Kenzo pada sopir mobilnya.
Kenzo menggenggam erat pegangan pintu mobil, bahkan mungkin dia bisa meremukkannya saat ini. Dia sangat kesal pada Kanaya yang tidak memperhitungkan, kemungkinan akan ada yang melihatnya pergi dengan pria lain, yang mungkin bisa jadi bahan gosip nantinya.
Ivan yang selalu setia menemani Kenzo pun menatap aneh pada sahabatnya itu. Dia merasa tindakan Kenzo melebihi batas, padahal dulu saat Kenzo masih menjalin hubungan dengan seorang wanita, Kenzo hampir tidak pernah berbuat spontan seperti ini.
“Ken, kamu yakin dengan apa yang kamu lakuin sekarang?” tanya Ivan.
Kenzo menoleh ke arah Ivan, “Maksud kamu apa?”
Ivan menggelengkan kepalanya, “Gak, gak papa.” Ivan urung mengatakan apa yang dia cemaskan.
“Moga aja apa yang aku rasain ini beda. Kenzo cuma khawatir ama keluarganya,” gumam Ivan dalam hati.
Ivan batal mengatakan apa yang mengganggu pikirannya saat ini. Lima tahun melayani Kenzo, bukan berarti dia tidak paham atas sikap dan sifat atasannya. Jangankan sifat, sebuah tatapan mata Kenzo saja, dia sudah bisa mengartikannya.
Tapi Ivan tidak mau semakin memperburuk suasana. Kenzo yang sedang emosi, jika diganggu dengan praduganya, bisa-bisa gajinya bulan ini menjadi taruhannya.
Setibanya di City Mall, Kenzo langsung menuju ke sebuah butik, tempat Kanaya dan Restu saat ini berada. Dia harus segera menyelamatkan harga dirinya yang sedang diguncang oleh calon istrinya sendiri.
Sementara itu, Kanaya sedang menunggu gaun yang ingin dia coba. Karena tadi ukurannya agak sedikit kebesaran, Kanaya ingin mendapatkan sedikit perbaikan di gaun itu.
“Kamu tadi mau ngomong apa, Res?” tanya Kanaya sambil duduk tidak jauh dari Restu.
“Nay, jujur sama aku. Apa kamu lagi diancam sama Kenzo?” tanya Restu berharap Kanaya akan jujur kepadanya kali ini.
“Diancam? Diancam apaan sih, Res. Aku gak ngerti deh ama ucapan kamu,” jawab Kanaya sambil menggeleng, mencoba menggambarkan kalau tidak ada apa-apa di dalam hidupnya.
“Nay, tolonglah, Nay. Kita udah lama kenal dan aku yakin banget kalo ini tuh bukan kamu. Aku bisa bantu kamu, Nay.” Mata Restu terlihat lebih teduh, berharap Kanaya bisa bergantung lagi kepadanya.
“Res.” Suara Kanaya terdengar lebih lembut dan pelan.
“Maaf. Aku juga gak tau kenapa ini semua terjadi. Tapi yang pasti, ini adalah kenyataannya. Aku milih Kenzo, apa pun alasannya. Dan kita ....” Kanaya menggantung kalimatnya.
“Kita apa?”
Kanaya menghela napas berat, “Mari kita temenan kayak biasanya. Sahabat, ya ... hanya sebatas itu.” Kanaya memperjelas hubungannya dengan Restu.
“Sahabat?” Ada nada suara kecewa di ucapan Restu.
“Iya. Maaf, aku gak bisa kasih yang lebih dari itu.” Kanaya sedikit memaksakan suaranya agar bisa keluar dari tenggorokannya karena dia kini harus banyak berbohong dan bersandiwara.
Restu menghela napas berat dan menundukkan kepalanya. Entah mengapa, rasanya badannya sangat lemah bahkan tulangnya seperti tidak bisa menopang tubuhnya lagi.
Beberapa menit suasana di sekitar Kanaya dan Restu terasa hening. Pikiran mereka berkecamuk, tanpa bisa mereka ungkapkan.
Restu melihat ke arah Kanaya, “Nay, kamu serius?” tanya Restu lagi yang masih tidak percaya dan tidak menerima keputusan Kanaya.
“Serius. Serius banget. Aku akan ....”
“Nay.” Restu meraih tangan Kanaya.
“Aku ....”
“Lepaskan tanganmu, b******k!”
Kenzo segera menepis tangan Restu yang memegang tangan calon istrinya. Dia langsung berdiri di depan Restu dengan tatapan tajamnya sambil menggenggam pergelangan tangan Kanaya.
Kanaya yang kaget dengan kemunculan Kenzo secara tiba-tiba itu pun, segera berdiri di samping Kenzo sambil sedikit menggerakkan tangannya. Genggaman tangan Kenzo sangat kuat, sampai pergelangan tangan Kanaya terasa sakit.
“Hei, sayang. Kamu udah nunggu lama?” tanya Kenzo sambil tersenyum manis pada Kanaya.
“Ken,” panggil Kanaya pelan sambil berusaha melepaskan tangannya.
“Bu Kanaya, bajunya sudah selesai, Bu. Bisa di coba sekarang,” sela seorang pelayan butik memecah suasana tegang.
“Oh iya. Ken, aku coba bajunya dulu.”
“Oh iya, sayang. Tolong layani calon istri saya dengan baik,” pinta Kenzo pada pelayan butik.
“Baik, Pak.”
Kanaya pun pergi bersama dengan pelayan butik itu untuk mencoba baju yang dia pilih tadi. Dia harus meninggalkan Kenzo dan Restu, meski dia sedikit khawatir.
Tapi Kanaya sedikit tenang, karena ini tempat umum. Tidak mungkin Kenzo akan berbuat kasar pada orang yang pernah menghiasi hari-harinya itu.
“Ngapain kamu masih di sini?” tanya Kenzo dengan angkuhnya.
Restu berdiri dan menatap Kenzo, “Lepaskan Kanaya. Dia gak akan bahagia karena ini bukan keinginannya,” ucap Restu penuh percaya diri.
“Tau dari mana kamu kalo ini bukan pilihan dia?”
“Saya mengenal Kanaya dengan baik. Meski dia mengatakan kalau dia memilih Anda, tapi saya tahu ka—“
“Jangan lancang kamu!” sembur Kenzo.
“Dia sudah memilih akan bersama siapa. Mending kamu terima kenyataannya. Kanaya lebih tau, mana bibit unggul dan mana keturunan sampah!” tegas pelan Kenzo sambil mengetatkan rahangnya.
“Pak Kenzo!”
“Sebaiknya Anda pergi, Pak Restu. Segala situasi ini akan merugikan Anda. Silakan pergi dan jangan ganggu Kanaya lagi.” Ivan segera menengahi, sebelum terjadi pertempuran darah di antara kedua pria itu.
Restu melihat ke arah sekitarnya. Dia mendapati beberapa mata baru saja menghindar darinya, setelah melihat keadaan tegang antara dia dan Kenzo. Demi mencegah kemarahan Kanaya kian besar kepadanya, Restu memilih untuk pergi. Dia tidak mau membuat keributan di sana.
Melihat Restu pergi, Kenzo segera pergi ke arah tempat Kanaya mencoba bajunya. Dia ingin melihat baju pilihan Kanaya, yang akan dipakai menghadiri undangan dari keluarganya.
Tirai ruang pas sudah di buka. Kanaya tampak sangat cantik dengan balutan gaun berwarna dusty pink, yang senada dengan kulit wanita mungil itu yang putih terang.
Kenzo sampai sempat kehilangan kewarasannya karena terpesona dengan kecantikan Kanaya yang terpancar di hadapannya.
“Gimana Pak, apa masih ada yang perlu di perbaiki?” tanya pelayan butik, sedikit membuyarkan lamunan Kenzo.
“Gak, udah bagus kok. Pilihan kamu bagus juga, Nay,” puji Kenzo yang terlihat lega dengan baju pilihan Kanaya.
“Ini tadi pilihan Restu,” ucap Kanaya.
Mata Kenzo membulat lebar, “Buang bajunya. Bakar kalo perlu!”