“Wajah Linda bersinar cerah saat dia mendengar apa yang dikatakan oleh Kenzo. Dia tidak menyangka kalau calon menantunya itu sangat pengertian, sampai dia harus bertanya sendiri kepadanya berapa uang lamaran yang harus Kenzo keluarkan untuk Kanaya.
Tentu saja ini adalah sebuah angin segar untuk Linda. Setelah uang damai dari keluarga Kenzo saat itu sudah menipis, kini sumur uangnya akan mengalir terus setelah Kanaya menjadi istri konglomerat itu.
“Kok ngomongnya gitu sih. Kan Ibu jadi gak enak,” ucap Kinda malu-malu.
“Sebut saja. Asal harga itu pantas dan masuk akal,” ucap Kenzo sedikit memberikan batasan.
Linda menoleh ke arah Kanaya lalu meraih tangannya untuk dia genggam. “Ya kan Kanaya ini cantik. Dia juga pintar dan kerja di kampus yang bagus. Jadi sudah sepantasnya kalau dia diberi harga yang pantas. Lagi pula nanti keluarga Sagala bakalan malu kalo sampe lamarannya sederhana kan?”
“Kanaya mau yang sederhana aja, Bu,” celetuk Kanaya sambil menarik tangannya dari genggaman ibunya.
“Eh, kamu ini gimana sih, Nay. Apa kamu mau keluarga tunangan kamu itu jadi malu karena lamarannya biasa aja. Pasti nanti mereka dianggep gak menghargai calon menantunya.” Linda mencoba menyadarkan Kanaya berharap dia akan mendapat uang banyak lagi.
“Tapi kan –“
“Nay, tentukan hargamu!” potong Kenzo.
Kanaya menoleh ke arah Kenzo. “Terserah kamu.” Kanaya menatap Kenzo berharap pria itu tidak lupa akan permintaannya.
“Ok. Aku akan beri 1 milyar untuk ibu kamu. Tapi setelah itu, jangan ganggu hidup Kanaya lagi.”
Tentu saja Linda kaget dengan apa yang dikatakan oleh Kenzo. Dia tidak menyangka kalau calon menantunya itu akan membatasi pergerakannya.
Padahal dengan pernikahan ini, Linda berharap juga akan mendapat tunjangan besar dari menantunya. Tapi ketika Kenzo mengatakan itu, sepertinya akan sulit untuk Linda mendapatkan keinginannya.
“Ta—tapi. Tapi ini kan ....”
“Kami akan siapkan sebuah apartemen yang lebih layak dari ini untuk Ibu dan Riska. Keluaga Sagala tidak akan mungkin memiliki besan dengan rumah ....” Kenzo melihat ke area dalam rumah Kanaya, “Sempit dan tua seperti ini,” lanjut Ivan.
Senyum kembali mengembang di bibir Linda, “Nah itu baru bener. Lagi pula emang rumah ini udah bener-bener jelek dan gak layak huni. Trus, kapan Ibu akan pindah ke apartemen?”
“Segera. Semua nanti akan diurus dengan pecat. Kalau begitu saya pergi dulu.”
Kenzo segera beranjak dari tempat duduknya karena dia sudah tidak betah ada di rumah sempit milik keluarga Kanaya.
Melihat Kenzo akan pulang, Kanaya segera membuntuti Kenzo menuju ke luar rumahnya. Kanaya mengantar Kenzo sampai ke mobilnya.
“Mana surat perjanjiannya?” tanya Kanaya.
“Di dalam.” Kenzo membuka pintu mobil lalu menyuruh Kanaya masuk lebih dulu.
Kenzo menyerahkan surat perjanjian yang tadi dia buat untuk Kanaya. Mereka sudah sepakat dan kini Kanaya juga ingin menyimpan perjanjian itu sebagai bukti.
Kanaya meneliti dengan benar dan membacanya berulang kali sebelum dia membubuhkan tanda tangannya di atas kertas putih itu. Dia tidak ingin dibohongi lagi oleh manusia licik yang sebentar lagi akan menjadi suaminya itu.
“Ini boleh aku bawa?” tanya Kanaya setelah dia menandatangani surat perjanjian sederhananya dengan Kenzo.
Kenzo mengambil kertas itu lalu membubuhkan tanda tangannya juga. “Terserah! Aku gak butuh ini.” Kenzo memberikan lagi surat perjanjian itu pada Kanaya.
Setelah mendapatkan bukti perjanjiannya dengan Kenzo, Kanaya segera turun dari mobil. Dia segera meninggalkan mobil Kenzo tanpa melihat lagi ke belakang.
Kanaya melihat ada ibu dan adik tirinya kembali duduk di ruang tengah. Tapi kini mereka sedang sibuk membayangkan apa saja yang akan mereka dapatkan dari lamaran Kanaya dan Kenzo.
Kanaya yang tidak tertarik dengan hal itu, memilih segera pergi ke kamarnya dan menguncinya. Kanaya menjatuhkan tubuhnya ke atas pembaringan, tempat dia berkeluh kesah selama ini.
Air mata Kanaya tumpah. Dia ingin meluapkan semua rasa sesak yang ada di dadanya. Rasa sesak karena terus bersandiwara yang ternyata sangat melelahkan.
“Ayah. Maafin Kanaya, Yah. Maafin Kanaya,” ucap Kanaya pelan dengan suaranya yang serak.
Kanaya merasa sangat bersalah pada mendiang ayahnya. Dia seperti sedang menjual kematian ayahnya itu dengan uang.
Hidup Kanaya semakin berantakan setelah dia memutuskan untuk menyerahkan hidupnya ke tangan Kenzo. Bukan hanya berantakan, tapi semua telah hancur. Mimpinya juga harus dia relakan untuk menguap begitu saja, tanpa bisa dia wujudkan.
Tiba-tiba saja, Kanaya tertawa tipis saat dia mengingat Kenzo. Dia tidak menyangka kalau pengusaha muda itu ternyata sangat pandai bersandiwara. Aktingnya sangat bagus, sampai tidak ada orang yang menyadarinya.
Kanaya juga menertawakan dirinya sendiri. Tawa yang miris dan meledek dirinya sendiri yang jatuh ke tipu muslihat Kenzo. Kanaya menutup wajahnya dengan bantal, pelampiasan rasa putus asanya. Putus asa karena dia telah menggadaikan hidupnya pada Kenzo.
***
Sore ini Kanaya berniat untuk pergi ke mall yang dekat dengan rumahnya. Dia ingin membeli baju baru, karena Ivan mengabarkan kalau dia akan diundang oleh keluarga Kenzo makan malam.
Meski ini hanyalah sebuah pernikahan sandiwara, tapi mereka harus tetap saja menampakkan pada publik kalau pernikahan ini memang benar adanya.
Tin tin.
Kanaya sedikit melonjak kaget saat dia mendengar ada suara klakson yang membuyarkan lamunannya saat berjalan. Dia segera menepi dan melihat ke belakang, ke arah mobil yang membuatnya kaget itu.
“Restu,” ucap Kanaya pelan saat dia mengenali mobil yang ada di hadapannya.
“Nay, kamu mau ke mana?” tanya Restu yang melongok dari jendela mobilnya.
“Mau ke depan. Mau beli baju,” jawab Kanaya sambil menunjuk ke sembarang arah.
“Aku anter yuk?”
Kanaya menggeleng, “Gak usah. Aku naik ojek di depan aja. Deket kok,” tolak Kanaya karena memang jarak rumahnya dengan mall yang dia tuju tidak terlalu jauh.
“Udah naik aja. Panas nih.”
“Ada yang mau aku bilang juga ke kamu. Buruan naik!” Restu membuka pintu depan mobilnya agar Kanaya bisa masuk.
Kanaya melihat ke arah Restu. Tampak sekali kalau pria itu sangat berharap kalau dia akan ikut dengannya.
Kanaya yang merasa tidak enak pada Restu atas sikap kasarnya beberapa hari lalu pun memutuskan untuk menerima ajakan Restu. Dia segera masuk ke dalam mobil Restu, yang akan mengantarkannya ke mall.
“Sorry, jadi ngerepotin,” ucap Kanaya sambil memakai sabuk pengamannya.
“Ngerepotin apanya sih. Kita jalan ya.” Restu tersenyum senang, karena Kanaya bisa bersamanya lagi.
Tapi ada satu yang Kanaya lupa. Saat dia menyetujui ajakan Restu, wanita cantik itu lupa kalau di rumahnya ada para penjaga kiriman Kenzo yang akan siap selalu mengawasinya 24 jam. Dan tentu saja, penjaga itu segera mengirim kabar ke Kenzo, kalau calon pengantin atasan mereka itu sedang pergi dengan pria lain.
“b******k! Perempuan sialan itu emang gak bisa dipercaya! Liat aja, aku bakal bikin perhitungan sama kamu!” geram Kenzo setelah dia membaca laporan anak buahnya sampai dia menggebrak meja kerjanya.