Acara makan malam itu pun selesai. Acara yang penuh dengan sandiwara itu pun memang diharapkan segera selesai.
Keluarga Kanaya segera berpamitan pada keluarga Sagala di depan awak media yang masih setia menunggu. Mereka ingin mengabadikan acara penting ini, karena sebentar lagi putra mahkota keluarga ini akan menikah.
“Jadi kapan acara pernikahannya akan dilangsungkan, Pak?” tawa salah seorang awak wartawan.
“Minggu depan. Kami akan menggelarnya minggu depan, tunggu aja kabar resminya ya,” jawab Viktor sambil memamerkan senyum ramahnya.
“Pasti akan digelar pesta besar ya, Pak.”
“Pasti. Ini adalah pernikahan pertama di keluarga ini. Sudah ya, kasihan Kanaya dan ibunya. Mereka pasti udah capek.” Viktor mengakhiri sesi wawancara.
“Pa, Kenzo anter Kanaya pulang Kanaya dulu ya, Pa,” pamit Kenzo.
“Anter?” sejenak Viktor kehilangan akal sehatnya.
“Oh iya. Anter dulu sana, udah malam ini,” lanjut Viktor.
“Ya udah Pa, Kenzo tinggal dulu ya.”
Kenzo segera mengajak Kanaya pergi dari hadapan media. Dia segera meraih tangan Kanaya untuk dia gandeng. Kenzo juga segera mengajak Kanaya masuk ke dalam mobil mewahnya dan segera meluncur pergi meninggalkan hotel.
Sepanjang jalan, Kanaya lebih banyak diam dan membuang pandangannya keluar mobil. Dia tidak ingin melihat Kenzo, meski pria jelmaan iblis itu tampak sedang dalam puncak pesonanya.
“Makasih udah anterin aku pulang,” ucap Kanaya saat dia telah tiba di depan rumahnya.
“Aku anter ke dalam,” ucap Kenzo sambil melepas sabuk pengamannya.
Kanaya melihat ke arah Kenzo, “Mau ngapain kamu? Gak usah sok perhatian!”
“Gak usah GR! Ngapain juga aku perhatian sama kamu. Ini buat jaga-jaga siapa tau ada wartawan yang ngikutin kita.”
“Paling gak, aku harus tetap keliatan bertanggung jawab dan melindungi kamu. Buruan turun!” perintah Kenzo yang kemudian segera membuka pintu mobilnya.
Kanaya melirik tajam ke arah punggung Kenzo, “Dasar orang gila pujian!”
Kanaya pun segera turun dari mobil, karena saat ini Kenzo sudah berdiri di depan pintu mobil. Kanaya keluar dari mobil dan berdiri menatap pria tak berperasaan itu.
Kembali Kenzo meraih tangan Kanaya untuk dia genggam. Dia masih sangat mendalami perannya sebagai pria yang telah jatuh cinta pada Kanaya.
Kanaya membuka pintu rumahnya. Saat berbalik lagi ke arah Kenzo, Kanaya sedikit mengedarkan pandangannya, berusaha mencari siapa tahu dia melihat ada lampu kamera yang terlihat. Tapi ternyata keadaan di sana tetap sepi, yang tampak di hadapannya hanya dua orang penjaga kiriman Kenzo yang berdiri di dekat pagar.
“Pulang sana, gak ada wartawan,” ucap Kanaya yang kemudian segera berbalik lagi hendak masuk ke dalam rumah.
“Mulai besok akan ada orang yang nemenin kamu buat persiapan pernikahan,” ucap Kenzo memberi tahu.
“Siapa? Emang mau ngapain sih?” Kanaya berhasil dibuat gagal lagi masuk ke dalam rumahnya.
“Kamu harus banyak lakukan perawatan. Aku gak mau punya istri buluk! Bikin malu aja ntar.”
“Sialan! Mulut ni orang bener-bener gak pernah disekolahin kali ya,” umpat Kanaya dalam hati.
“Terserah,” ucap Kanaya tidak peduli.
Saat Kanaya hendak berbalik dan masuk ke dalam rumahnya, tiba-tiba mata Kanaya menangkap sesuatu yang sangat dia kenal. Dia melihat ada mobil Restu berhenti di seberang rumahnya.
Kanaya yang tidak ingin melihat Restu terlibat dalam urusannya dengan Kenzo, segera memeluk pinggang Kenzo. Dia bahkan menempelkan kepalanya di d**a bidang Kenzo.
Tentu saja Kenzo menjadi sangat kaget dengan perlakuan tiba-tiba Kanaya itu. Dia berusaha melepaskan Kanaya yang menempel kuat di badannya saat ini.
“Ada mobil Restu. Plis, sebentar aja,” ucap Kanaya berusaha membuat Kenzo mengerti alasannya melakukan ini.
“Huh! Cowok gak tau diri itu lagi,” keluh Kenzo.
Tanpa perlu disuruh lagi, Kenzo pun segera membalas pelukan Kanaya. Dia melingkarkan tangannya di badan Kanaya, sehingga kini mereka sempurna berpelukan layaknya sepasang kekasih yang enggan berpisah.
Bukannya merasa senang karena bisa berpelukan dengan pria yang diidamkan oleh banyak wanita, tapi hati Kanaya justru terasa sangat perih. Dia bahkan sampai menitikkan air mata.
Kanaya yang sangat putus asa akan hidupnya itu, memilih rela menderita, asalkan pria yang dia sayangi itu selamat dari kekejaman Kenzo.
Setelah memastikan kalau mobil Restu sudah pergi, Kanaya segera melepas pelukannya. Tanpa bicara lagi, Kanaya segera masuk ke dalam rumahnya, tidak sudi Kenzo melihat air matanya lagi.
Kenzo menarik sudut bibir kanannya saat dia menyadari kalau kemejanya basah. Dia sangat yakin kalau tadi wanita itu menangis saat memeluknya. Tapi Kenzo tidak peduli dan memilih segera kembali ke mobilnya.
***
Seperti biasa, Kanaya bersiap untuk berangkat mengajar pagi ini. Dia berangkat lebih pagi, karena dia harus menyiapkan bahan ujian yang semalam belum sempat dia kerjakan.
Pagi-pagi sekali, Ivan sudah mengabarkan pada Kanaya, kalau nanti ada salah satu anak buahnya yang akan datang dan mulai mengawalnya. Kanaya memilih tidak menjawab pesan itu dan menerima saja apa yang dikatakan Kenzo.
“Kamu pagi banget berangkatnya. Itu siapa di depan?” tanya Linda yang melihat Kanaya siap berangkat ke kampus.
“Kirimannya Kenzo,” jawab Kanaya sambil meraih botol minumnya.
“Kiriman Kenzo. Buat apa?”
Kanaya tidak menjawab pertanyaan ibu tirinya. Dia segera pergi begitu saja tanpa berpamitan lagi. Dia malas menjawab pertanyaan yang berhubungan dengan aturan Kenzo.
“Heh, Kanaya! Ditanya orang tua malah diem aja. Gak ada sopan santunnya kamu ya!”
“Dasar anak gak tau aturan! Awas kamu ya. Belum nikah ama Kenzo aja udah belagu. Dasar anak gak tau diri!” gerutu Linda yang geram pada sikap Kanaya.
Kanaya melihat seorang wanita berpakaian rapi berdiri saat dia keluar dari rumahnya. Tatapan mereka sempat bertemu sesaat sebelum akhirnya Kanaya memilih melanjutkan melangkah menuju gerbang rumahnya.
“Saya akan mengantar Bu Kanaya ke mana saja mulai hari ini,” ucap Mila, asisten baru Kanaya.
“Aku mau ke kampus,” ucap Kanaya pelan.
“Akan saya antar, Bu.”
Mila, asisten pribadi kiriman Kenzo, segera membukakan pintu belakang mobil untuk Kanaya. Wanita yang sebentar lagi akan menjadi nyonya muda di keluarga Sagala, sudah merasakan perlakukan istimewa meski dia belum secara resmi menjadi anggota keluarga itu.
Namun sayangnya, hal itu tidak membuat Kanaya silau. Kalau boleh memilih, Kanaya lebih baik mati menyusul mendiang ayahnya daripada dia harus menjalani hidup seperti ini.
Kanaya meneguk air dalam botol minumnya dan menyimpannya kembali sebelum dia turun dari mobil. Kanaya menghela napas berat saat dia melihat Mila sudah turun dari mobil dan membukakan pintu mobil untuknya.
“Udah kayak tahanan aja aku. Ayah, Kanaya gak mau hidup kayak gini,” keluh Kanaya pelan.
Kanaya turun dari mobil. Dia berjalan menuju ke ruang dosen, tempat meja kerjanya berada.
Pandangan mata Kanaya tiba-tiba kabur. Dia bahkan sempat berhenti sejenak, sambil memegangi kepalanya.
“Bu Kanaya!” pekik Mila saat melihat Kanaya tiba-tiba ambruk di depannya.