Pelet saja!

1182 Words
“Lula tinggal disini sementara, ya?” Enteng sekali mulut Anna jeplak. Jelas ini bukan permintaan, tapi pemberitahuan. Se-enak itu juga, Anna mengambil keputusan dalam rumah tangga putranya. Bahkan saat bicara, senyumnya mengembang lebar. Seakan tidak peduli bagaimana pendapat dan perasaan menantunya sendiri. Lula, yang duduk di kursi roda dengan perut besarnya, tak mau ketinggalan menambahkan minyak ke dalam api. "Dokter Alora," kata Lula lembut, dengan nada seolah menasihati. "Aku udah ngomong sama Bang Kenan, kok. Malah katanya, sebagai istri Dokter nih nurut banget." Alora tercekat. Tidak langsung menjawab, tapi ada bara yang menyala di dadanya. Benarkah suaminya membuat keputusan ini tanpa membicarakannya lebih dulu? Benarkah ia begitu tidak penting hingga haknya sebagai istri bahkan tak dihargai? Anna menatap Alora, menyadari keheningannya. Dengan senyum manis, Anna menimpali, "Nak, Lula ini lagi hamil, baru selesai operasi kaki. Tolong, ya." Bukan meminta pendapat, hanya meminta tolong. Benar-benar se-enteng itu. Sebagai seorang menantu dan istri, apa pendapatnya tidak penting saat ada wanita asing yang ikut tinggal di rumahnya? Alora akhirnya membuka mulut, suaranya pelan namun bergetar, penuh dengan emosi yang ia tahan mati-matian. "Ibu sama Kenan sudah ambil keputusan, ya? Sepertinya pendapatku gak dibutuhkan." Kata-kata itu tajam, tapi disampaikan dengan nada datar, tanpa intonasi berlebihan. Jelas Lula merasa tersindir, buru-buru menyahut, tak lupa dengan suara yang sengaja dibuat sepolos mungkin. "Dokter Alora, jangan salah paham, ya. Bang Kenan yang ngusulin ini. Aku cuma ngomong sama tante." Alora mengalihkan pandangannya ke Lula, bibirnya sedikit mengulas senyum tipis yang dingin. "Oh, idenya Kenan," ulang Alora, nadanya setengah mengejek. "Tadi kamu bilang, kamu yang bicara dengan Kenan. Aku pikir, ini ide Ibu." Lula langsung terdiam. Senyumnya memudar, bibirnya bergetar seolah ingin menyangkal, tapi tak ada kata yang keluar. Sebelumnya, Anna pikir Kenan sudah sempat bicara pada Alora soal masalah ini. Sebab Lula kemarin bicara padanya, kalau Alora belum setuju. Karena itu dia bermaksud membujuknya. Tapi mendengar perkataan Alora barusan, sepertinya pembicaraan mengenai Lula tinggal disana belum sampai ke telinga Alora. Jadi, siapa yang berbohong? "Jadi sebenarnya siapa yang memutuskan? Kenan? Ibu? Atau kamu sendiri, Lula?" Alora menatap mereka bergantian. Ruangan yang tadi penuh dengan senyum manis mendadak terasa mencekam. Lula tampak gugup, mencoba mengatur napas. Dia tergagap saat mencoba menyelamatkan dirinya sendiri. "Ta-tante," katanya, suaranya lirih, nyaris berbisik. "Sebenarnya dokter suruh aku kontrol di sini aja. Aku kira Bang Kenan nggak keberatan, jadi aku ngomong sama abang. Itu dua hari lalu. Jadi ku pikir … dia sudah bilang ke Dokter Alora." Kali ini, Anna terlihat terkejut. Sorot matanya penuh pertanyaan, jelas dia bingung, siapa yang sebenarnya bohong. Anna terdiam, menatap Lula dan Alora bergantian, tapi tak ada yang berusaha meluruskan. Tatapan Alora masih terfokus pada Lula, bibirnya kembali mengulas senyum tipis yang lebih menyakitkan daripada kemarahan. "Kalau begitu, aku hanya penonton, ya? Gak perlu tanya pendapatku. Selamat tinggal privasi di rumah sendiri." Saat itu, perasaan Alora hancur. Tak hanya karena suaminya lebih memprioritaskan wanita lain, tapi juga karena dirinya—yang selama ini menjadi istri dan menantu—tak lebih dari bayang-bayang di rumahnya sendiri. Di antara diamnya Anna dan Lula yang semakin gelisah, Alora hanya merasa, hatinya sudah kosong. “Kalau terus-terusan gini, aku nyerah!” **** Langit Jakarta hari ini tidak secerah beberapa hari sebelumnya. Mendung menggantung, petir sesekali menggelegar. Mirip seperti hati Regan. Ini sudah hampir satu minggu lebih, tapi Hans belum juga kasih tanda-tanda informasi yang berhasil dia korek soal hubungan Kenan dan Lula. Stress berat. Hatinya sudah meronta, tak sabar ingin mendapatkan Alora. Tapi dia juga boleh grasak grusuk. Apalagi Alora masih istri orang. Salah perhitungan sedikit, bisa menjadi senjata makan tuan. Tak berbeda dari Regan yang gundah gulana, Hans Sutejo juga sama resahnya. Sudah tiga hari ini Regan mendesak Hans agar fokus mencari informasi yang dia perintahkan. Soal urusan pekerjaan di kantor, semua dilimpahkan pada Gerry, salah satu personal asisten. “Inget, cari sampe ke akar-akarnya!” begitu titah Regan yang terus bergema di telinganya. Tidak peduli pagi, siang, malam, bahkan saat dia makan siang sekalipun, perintah Regan terus berputar di kepala seperti kaset kusut. "Owgh! Kampret!" Suaranya cukup keras hingga menarik perhatian beberapa orang di sekitarnya, tapi Hans tak peduli. Di seberang meja, Gerry menatapnya dengan alis terangkat. Dia sedang menikmati makan siangnya, namun tak bisa menahan diri untuk menyindir. "Kerja lu cuma cari info doang, Hans. Kok berasa lu yang nanggung utang negara?" Hans berhenti mengacak rambutnya. Matanya langsung menatap Gerry nyalang, tajam seperti ingin menusuk. "Lu kira gampang, Ger? Ini gue disuruh cari info soal bini orang, lakinya, PLUS selingkuhannya! Sekalian aja suruh gue tulis biografi mereka." Gerry terkekeh sambil menyendokkan makanan ke mulutnya. "Bukannya lu punya jaringan informasi yang paling akurat? Sumber gosip lu udah kayak CNN?" candanya, dengan mulut masih penuh. Hans mendengus, napasnya terasa berat. Tatapannya masih menusuk. "Lu gak ngerti, Ger. Kalau ini cuma urusan orang numpang lewat, gue gak masalah. Tapi masalahnya, ini BINI ORANG yang ditaksir berat sama si Bos!" Gerry yang sedang mengunyah refleks tersedak. Nasi di mulutnya hampir sembur, membuatnya batuk-batuk sambil menatap Hans tak percaya. "SERIOUSLY?!" "Ma-maksud lu, bos kita yang jomblo tahun-tahuan itu, naksir sama bini orang …?" Hans hanya mengangguk pelan, wajahnya kusut. Napasnya jadi lebih berat lagi. “Dan lu tau apa yang lebih membagongkan?” lanjutnya. Gerry tidak menjawab, sibuk mengusap mulutnya. Tapi matanya yang melotot cukup menunjukkan rasa penasarannya. Hans langsung mencondongkan tubuh, suaranya direndahkan, takut ada yang mendengar. “Bos minta tips, cara merebut bini orang pake jalur halal!” Gerry keselek lagi, kali ini keselek ludah sendiri. Tidak tau apa dia harus tertawa, atau … bahagia. Setidaknya bosnya masih normal, menyukai wanita, tidak seperti gosip yang beredar. “Tapi masa iya sama bini orang?” batinnya protes. “Coba kasih tau gue, ada dukun berlabel MUI gak? Gue mau kasih saran buat melet aja!” Garry hampir ngakak di tempat, bahunya sudah naik-turun menahan tawa. Tapi, tawanya mendadak surut begitu saja saat pandangannya menangkap sosok tinggi di belakang Hans. Bosnya, Regan Farraz Miller. Dia berdiri dengan wajah sekeras batu marmer, tatapannya dingin menusuk. Garry langsung mematung, seperti anak kecil yang tertangkap basah sedang mencuri kue di dapur. Hans yang tidak menyadari keberadaan Regan terus melanjutkan ocehannya. “Beneran deh, Ger. Gue sampe mikir, apa perlu kita undang ustaz buat konseling percintaan bos? Biar gak stress nunggu—” PLAK! Tangan Regan mendarat di pundak Hans, cukup keras sampai membuat pria itu terpaku di tempat. “Kayaknya kamu udah ahli jadi biang gosip,” suara Regan terdengar rendah, tapi sukses buat merinding.“Besok pindah ke Austria aja. Jadiin gosip tentang Alpen sana, biar lebih berbobot.” Hans langsung pucat. Tubuhnya tegang seperti papan kayu, bahkan menelan salivanya pun tidak berani. “Sana, pergi ke HRD, minta gaji sekalian urus pindah,” lanjut Regan, suaranya dingin tapi tegas. Habis sudah. Begini resiko kalau jadiin Bos sebagai bahan gosip. Sudah beruntung dia tidak dipecat, tapi pindah ke Austria … yang benar saja. Gimana nasib pacarnya di Bandung? Menggeleng cepat, Hans bicara, “I-Itu … sa-saya mau … mau lapor,” katanya, gugup setengah mati. “So-soal hubungan —” “Ngomong di kantor!” sela Regan. “Kalau gak berbobot, langsung ke HRD!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD