Di dalam taksi, Alora bersandar dengan kepala terkulai lemah di kursi belakang. Berkali-kali dia menarik napas panjang, seolah mencoba menenangkan gejolak dalam dadanya.
Kali ini bukan karena perhatian yang dia terima dari pria asing, Regan. Melainkan pesan singkat yang dikirim Kenan.
“Kamu naik mobil siapa?” Begitu pesan pertama yang dia terima dari sang suami setelah membiarkan istrinya berdiri di pinggir jalan.
Miris sekali bukan?
Kenan seakan tidak peduli bagaimana keadaannya, apakah dia sampai dirumah atau belum, atau dimana dia sekarang. Tapi yang ditanyakan malah hal remeh.
Alora hampir meledak dalam tangisnya. Tapi dia berhasil menahannya, dia menahan emosi dan amarahnya, menahan air matanya agar tidak tumpah untuk sesuatu yang tidak berguna.
Hidup Alora terlalu realistis.
Dia tak lagi percaya dengan cinta atau dongeng kebahagiaan. Selama ini, dia hanya menjalani perannya. Sebagai anak yatim piatu yang dibesarkan oleh kakek-neneknya, dia tumbuh menjadi cucu perempuan yang anggun dan cantik.
Dan sebagai seorang istri, dia menjalankan tugasnya dengan baik, menjaga keharmonisan rumah tangga yang semu.
Dia sudah berusaha, kan. Dia sudah berdedikasi selama ini. Lalu mengapa dia harus diperlakukan seperti ini?
Begitu sampai di rumah, Alora tak membuang waktu. Dia langsung masuk ke kamar, menanggalkan rasa penat dengan mandi singkat sebelum merebahkan tubuhnya di atas ranjang.
Kenan mungkin sedang bersama Lula sekarang. Tapi Alora tidak peduli, dia terlalu lelah dan mengabaikan pikiran negatifnya. Semua pesan dari Kenan yang berdering di ponselnya dibiarkan begitu saja—tanpa jawaban.
Lelah dan hampa, Alora terlelap. Tidurnya cukup panjang panjang, tujuh jam penuh. Dia baru membuka mata sekitar jam sepuluh malam.
Namun, saat membuka mata, kenyataan kembali menyergapnya.
Di layar ponsel, belasan pesan dari Kenan memenuhi notifikasi. Dia membaca satu per satu dengan hati yang kian mengeras.
Lagi-lagi, hal yang sama. Kenan masih peduli soal mobil yang dia tumpangi, tidak peduli dengannya.
Alora hampir tertawa, apalagi saat dia membaca pesan yang dikirim jam 6 sore tadi.
“Kita perlu bicara setelah ini! Tunggu aku pulang!” Begitu yang Kenan kirim.
"Pulang?" gumam Alora, matanya melirik jam di dinding, lalu tersenyum miring. Dia sudah tahu jawabannya—Kenan tidak akan pulang malam ini.
Dan benar saja, Kenan tidak pulang. Bukan hanya malam itu, tapi tiga hari penuh dia menghilang.
Pesan-pesan yang dikirim Kenan pun tidak lebih dari alasan klise.
Ibunya tidak mendapat travel, lah. Masih mengurus berkas lah.
Lucu.
Padahal mereka ada di rumah sakit yang sama, tapi Kenan tidak menemuinya, hanya mengirim pesan. Seolah pesan saja cukup mewakili semuanya.
Alora sempat berpikir, apakah pernikahannya dua tahun ini hanya sebatas ini saja?
Ibu mertuanya – Anna Roslinda — dulunya selalu membela dan menyayanginya. Tapi sekarang?
Bahkan Anna memilih berpihak pada putranya yang terang-terangan mengabaikan istrinya demi wanita lain.
“Nak, Kenan bantu jaga Lula dulu gak apa-apa, ya?” kata Anna saat bicara di telepon.
“Kasihan dia. Udah gak punya siapa-siapa. Suaminya juga … pas banget lagi dinas.”
Mendengar mertuanya bicara semanis madu, Alora hanya terkekeh sambil menahan sesak dalam d**a. Tidak punya siapa-siapa, katanya. Memang Alora punya siapa selain suaminya?
Dia juga sendirian, yatim piatu sejak kecil.
“Lula itu … saudara jauh mama. Dari kecil ibunya titip ke mama. Mama gak enak,” lanjut Anna, tidak memberi Alora kesempatan menolak.
“Kasihan, dia lagi hamil. Mama besok ke sana kok. Kamu kan dokter, seorang wanita juga, pasti paham soal pasien hamil yang habis operasi kaki, kan?”
Kata-kata terakhir menohok Alora sampai ke sum-sum. Jika diingatkan soal profesinya sebagai dokter, dia tidak berdaya. Dia punya sumpah.
Pada akhirnya, Alora memilih diam, berharap Anna benar-benar akan datang dan melepaskan Kenan dari tanggung jawab itu.
Namun kenyataan tak seindah harapannya.
Meskipun Anna sudah datang ke Jakarta dan menemani Lula, wanita paruh baya itu tetap saja memanggil Kenan ke rumah sakit. Entah apa alasannya, selalu ada sesuatu yang membuat Kenan super sibuk.
Bahkan saat di rumah, Kenan hanya mampir untuk tidur sebentar sebelum berangkat pagi-pagi buta. Dari rumah sakit ke kantor, begitu terus sepanjang minggu.
Alora muak. Setiap kali dia ingin bicara tentang Lula—tentang status perempuan itu—kesempatan itu selalu lenyap.
Dia memilih menunggu. Tunggu Lula sembuh, tunggu dia keluar rumah sakit, tunggu semua ini selesai.
Tapi harapan itu hancur lebur ketika suatu hari Anna muncul di depan pintu rumah Alora.
Anna tidak sendiri. Dia membawa Lula, duduk di kursi roda dengan perut besarnya yang jelas menunjukkan kehamilannya.
“Nak, rumahmu dekat rumah sakit tempat Lula kontrol. Kalau pulang ke Bogor, jauh banget. Belum lagi jadwal fisioterapi tiap minggunya,” kata Anna dengan nada lembutnya yang biasa.
“Sementara ini, Lula tinggal di sini, ya.”