Tertarik pada wanita yang berstatus sebagai istri orang. Anggap saja gila, sedikit kurang ajar juga. Tapi Regan tak peduli.
“Dia bekerja sebagai dokter IGD di Rumah Sakit Royal, sedang mempersiapkan spesialisasi tahun depan. Dan … dia sudah menikah,” lapor Hans, setelah beberapa saat lalu diperintah mencari identitas Alora.
Dua kata terakhir langsung menggantung di kepala Regan. Sudah menikah.
Namun, dia tidak mengatakan apa pun. Tidak menanggapi dan hanya diam. Regan masih menempelkan ponsel di telinganya, kakinya sibuk melangkah mengikuti Alora di belakang.
Entah apa yang membuat Regan tergelitik mengikuti Alora. Dalihnya ingin mengembalikan uang yang diberikan Alora, tapi hati kecilnya berisik.
Alora bukan hanya cantik, tapi juga menarik di matanya. Seolah punya sesuatu yang bisa mengusir rasa bosan di hidupnya.
Langkah kakinya terhenti di IGD. Dia berdiri di sudut, tapi mata tajamnya sibuk mengamati gerak gerik Alora. Tidak ada satu pun momen yang terlewat—dari saat Alora memberi perintah hingga ekspresi serius yang terlukis di wajahnya.
Semua itu terlihat menarik sekaligus menakjubkan. Regan bahkan tanpa sadar menyunggingkan senyum, menikmati pemandangan itu.
Namun, senyumnya pudar begitu melihat wajah Alora yang mendadak pucat pasi saat berhadapan dengan suami pasien.
"Bukannya itu suami Dokter Alora? Kenapa dia ngaku suami pasien?" bisik salah satu perawat.
Perkataan itu membuat alis Regan terangkat. Matanya yang tajam terus mengamati pria yang berdiri kaku di depan Alora.
Hanya dengan mendengar dan melihat perubahan ekspresi Alora, Regan langsung bisa menyimpulkan, apa yang terjadi.
Sudah menikah, tapi mengaku sebagai suami wanita lain di depan istrinya sendiri?
Bukankah dia b******n?
Regan mengepalkan tangannya, matanya menggelap. Entah mengapa, dadanya jadi menggebu melihat seorang wanita diperlakukan seperti itu, apalagi statusnya sebagai istri.
“Hans,” katanya pelan, mengalihkan perhatiannya kembali pada eraphone yang masih menempel di telinga.
“Menurutmu, gimana kalau aku merebut wanita yang tidak diinginkan suaminya?”
“Hah?” Hans terdengar bingung di seberang sana. “Anda bilang apa, Tuan Regan?”
Regan tidak menjawab. Dia menutup panggilan tanpa sepatah kata, membuat asistennya semakin bingung. Mata Regan kembali fokus pada Alora.
Melihat bagaimana wanita itu menahan emosi ketika Kenan mencoba berbicara padanya. Alora hanya menggeleng pelan, seolah berkata bahwa ini bukan waktu atau tempatnya untuk membahas hal itu.
“Kalau suaminya tidak mau, aku boleh merebutnya, kan?” gumamnya.
Regan tahu ini bukan perkara benar atau salah. Tapi melihat Alora berdiri di sana, begitu kuat dan rentan di saat yang sama, dia tidak bisa berpaling.
Dia ingin wanita itu. Dan tidak ada yang akan menghentikannya.
***
“Lora, aku bisa—”
“Pasien butuh operasi segera. Kakinya patah, dan kondisinya sedang hamil. Kami akan melakukan operasi gabungan untuk menyelamatkan keduanya,” potong Alora cepat, suaranya sedikit bergetar, namun tetap terdengar tegas dan profesional.
Tidak ada jejak emosi pribadi yang mencemari nada bicaranya, meskipun hatinya sendiri kacau. Dia menatap Kenan tanpa berkedip, memastikan bahwa kata-katanya tertangkap dengan jelas.
“Tolong urus dokumen persetujuan operasi istri Bapak di nurse station. Kami akan segera menyiapkan ruang operasinya.”
Sejenak, suasana di antara mereka terasa mencekam. Kenan hanya berdiri di tempat, seolah waktu membeku di sekelilingnya. Mata pria itu sedikit melebar, mulutnya terbuka untuk berkata sesuatu, namun tak ada kata yang keluar.
Suster di belakang menyela dengan sopan, “Pak, tolong segera ke nurse station. Kita tidak punya banyak waktu.”
Dengan berat hati, Kenan akhirnya berbalik. Langkahnya terasa lamban dan berat, seperti seseorang yang menyeret bayang-bayang kesalahan di belakangnya.
Sementara Alora berdiri di tempatnya, tubuhnya kaku, tertahan oleh beban yang tak terlihat. Dia menunduk sedikit, berusaha mengatur napas yang mulai terasa sesak.
Bohong kalau dia baik-baik saja. Bohong kalau pikirannya tidak penuh dengan praduga menyakitkan tentang hubungan Kenan dan wanita hamil yang kini sedang di bawa ke ruang operasi.
Apa anak dalam perut wanita itu milik Kenan?
Pertanyaan itu terus bergema di kepalanya, menusuk seperti jarum kecil yang menyakitkan.
“Dokter Alora?” Suara suster yang lembut membawanya kembali ke realitas. Alora menoleh sedikit, ekspresinya kosong.
“Ayo, Dokter Dela udah nunggu di ruang operasi. Katanya, sekalian belajar buat persiapan PPDS nanti.”
Alora hanya mengangguk, lalu pergi meninggalkan ruang IGD, mengikuti langkah perawat.
Jujur saja, dia tidak bisa melakukannya, sungguh. Langahnya semakin lama makin berat, tapi tanggung jawabnya sebagai dokter memaksanya tetap profesional.
Alora hanya bisa memendam semuanya, memilih fokus pada sumpahnya sebagai dokter. Berdiri diantara Dela, dokter orthopedi, dan beberapa tim OK lainnya, dia mulai bejibaku.
Entah sudah berapa jam berlalu, operasi kali ini tergolong berat karena pasien dalam kondisi hamil. Ada resiko untuk ibu dan bayi jika salah sedikit.
Setelah berhasil menyelamatkan pasien, Alora keluar dengan kaki gemetar. Dia memegang perut bagian bawah sambil mendesah kasar.
“Maag lagi?” tanya Dela, muncul tak lama setelahnya.
Alora menggeleng pelan, mencoba memaksa senyumnya. “Kayaknya bukan maag. Rasanya nusuk, kayaknya mau haid.”
Dela memiringkan kepalanya, memasang ekspresi skeptis. “Bentar,” katanya sambil menyipitkan mata.
“Kapan terakhir kamu haid?”
Belum sempat menjawab, seorang anak co-as menyapa. “Dok, ada keluarga Bu Lula, tanya soal operasinya.”
Alora mengangguk, tubuhnya kembali ditegakkan lagi, seolah rasa sakit yang menghujam tubuhnya lenyap.
“Aku aja yang jelasin, kamu ada operasi lagi kan?” ucapnya menoleh pada Dela.
Dela hendak mencegah, tidak tega melihat Alora, namun panggilan dari asistennya membuatnya berpaling. Masih ada satu operasi lagi sebelum jam kerjanya habis. Dia tidak bisa menundanya.
Alora menghela napas panjang, langkahnya terhenti sejenak di ambang pintu. Ia menatap ke luar ruangan, lalu perlahan membuka pintu dengan hati yang sudah penuh.
Di balik pintu, Kenan berdiri dengan wajahnya pucat, cemas, seolah dia terjebak dalam perasaan yang tak bisa diungkapkan.
“Lora …” Kenan memanggilnya dengan suara serak, seolah tercekik oleh perasaan bersalah yang tak kunjung reda.
“Pasien selamat … anaknya juga aman,” jawab Alora cepat, mencoba menjaga profesionalisme di tengah badai emosinya.
Kenan masih terdiam beberapa detik, lalu perlahan berkata, “Lora … ini gak gitu. Aku terpaksa ngaku suaminya, dia gak punya siapa-siapa dan ... keadaannya mendesak.”
“Kalian, udah saling kenal?”