Perlahan remuk

1274 Words
Di antara banyak alasan, kenapa harus mengaku sebagai suami wanita lain? Hati Alora berkecamuk, berusaha mencerna setiap kata yang keluar dari mulut Kenan. Memang tidak ada alasan lain selain kata ‘mendesak’ yang terasa seperti alibi semata? "Dia hamil, Lora," kata Kenan, suaranya lebih tegas kali ini, seakan perbuatannya bisa dibenarkan hanya karena alasan itu. "Dan dia gak punya siapa-siapa.” Alora tidak bertanya lebih lanjut. Dia bukan wanita bodoh. Hanya dengan penjelasan singkat dari Kenan, dia tahu, keduanya sudah saling mengenal. Bahkan mungkin bisa dibilang sangat kenal. "Suaminya baru aja pergi dinas. Dia juga hamil, aku terpaksa, takut kalau nanti ditanya macam-macam.” Penjelasan Kenan masih terdengar jelas di telinganya. Tapi tetap saja, kenapa harus mengaku sebagai suami? Kenapa tidak mengaku sebagai saudara, kakak, atau siapapun itu? Para petugas medis juga tidak akan mempersulit keadaan jika dia hanya mengatakan hal yang lebih sederhana? Namun, Alora terlalu lelah untuk berdebat. Dia sudah bekerja sejak semalam, ditambah kondisi IGD pagi ini cukup caos, juga fisiknya kurang prima. Alora hanya ingin segera pulang, istirahat, dan menjernihkan pikirannya. "Lora, Yang. Maaf, please. Sumpah aku terpaksa. Dia sepupu, sepupu ja —” "Udahlah, Ken. Aku capek, mau pulang, istirahat." Kenan gelagapan, terlihat panik untuk pertama kalinya. "A-aku anter ya? Ayo, ayo pulang." Alora tidak menolak. Setelah mengambil tas di ruang kerjanya, dia mengikuti Kenan keluar, merasa tubuhnya yang lelah semakin berat melangkah. Sebagai suami, Kenan terbilang cukup perhatian. Walau sebenarnya pernikahan mereka tidak di dasari dengan cinta dan hanya perjodohan semata. Tapi mereka berhasil membangun chemistry dengan baik. Pernikahan mereka juga harmonis selama dua tahun terakhir. Namun kejadian barusan, sukses meremukkan setengah hati Alora. Meruntuhkan kepercayaan yang selama ini dia bangun. Kecewa. Sangat. "Mau mampir makan dulu gak? Atau mau beli camilan?" tanya Kenan, berusaha mencairkan suasana yang tiba-tiba terasa tegang. Alora menggeleng, matanya fokus menatap jalanan kota Jakarta yang cukup padat seperti biasa. Beberapa ruas jalan masih basah oleh hujan yang mengguyur tadi malam. “Kebab, mau? atau burger?” tanya Kenan lagi, tapi Alora masih membisu. Kenan hanya bisa menghela napas panjang. Habis sudah cara untuk membujuk istrinya. Meski Alora tidak membicarakan kejadian tadi, tapi Kenan tahu, istrinya pasti kecewa. Dia sangat ingin menjelaskan, terutama tentang hubungannya dengan Lula, tapi bibirnya hanya terbuka tanpa suara. Pikirannya berubah dalam sekejap. Memilih diam dan memberi jeda sejenak dalam kesunyian yang menyesakkan. Keheningan yang berat akhirnya dipecahkan oleh dering ponsel. Kenan melirik layar ponselnya, tertera nama ‘ibu’ di sana. “Ya, Mah.” “Ken, gimana Lula? Operasinya gimana?” tanya suara dari seberang. “Aman, Mah,” jawab Kenan singkat. “Kamu jaga dia dulu ya. Mama lagi cari supir ke Jakarta –” Tatapan matanya Kenan beralih sejenak pada sosok Alora yang kini tampak semakin pucat, tubuhnya bersandar lemah di kaca mobil. Seolah tidak ada lagi energi untuk mempedulikan pembicaraan antara dirinya dan ibu mertuanya. Kenan terdiam beberapa detik, menelan ludah. “Mah, aku anter Lora pulang dulu. Nanti aku balik ke rumah sakit.” Ada jeda di seberang. Sampai, suara ibunya terdengar lebih tegas, hampir menyalahkan. “Duh, Ken. Lula itu sendirian. Lagi hamil, habis operasi juga. Alora bisa naik taksi dulu lah.” Meski ponsel Kenan tidak dalam mode loudspeaker, suasana hening di dalam mobil cukup membuat suara mertuanya terdengar jelas di telinga Alora. Setiap kata yang meluncur membuat hati Alora dihantam batu, memecahkan sedikit demi sedikit kekuatan yang dia coba pertahankan. Naik taksi? Jadi itu yang pantas baginya sekarang? Alora kecewa, hatinya sakit, sungguh. Apa Lula begitu istimewa sampai Anna melupakan Alora sebagai menantunya sendiri? Sungguh, Alora juga tidak mengerti. Kenan di samping, mengatupkan rahang melihat wajah Alora yang makin pucat, rasa bersalah bercampur ketidakberdayaan menghantam dirinya. Tapi ibunya di seberang tidak berhenti mendesak. “Sini deh, biar Mama ngomong sama Alora,” katanya, kali ini terdengar lebih mendominasi. "Mama yakin dia mau ngerti. Sebagai dokter, sudah harus mengutamakan pasien sakit kan?” Hati Alora menjerit. Sebagai dokter, memang seharusnya mengutamakan seorang pasien. Tapi dia juga seorang istri, istri dari pria yang dipaksa menemani wanita lain. Bukankah hatinya lebih sakit lagi? Alora melirik Kenan sekilas, menunggu pria itu menjawab. Saat itu dia yakin Kenan akan memilihnya. "Aku balik! Aku ke rumah sakit," jawab Kenan, akhirnya memilih menuruti kemauan ibunya. Tepat saat lampu merah menyala dan mobil mereka berhenti. Kenan menoleh sejenak, “Lora, kamu bisa pulang sendiri kan?” Pertanyaan itu menusuknya sampai ke relung. Kecewa, tentu saja. Memang wanita mana yang tidak kecewa melihat suaminya lebih mementingkan wanita lain. Padahal mengantarnya dulu juga tidak butuh waktu lama, hanya setengah jam. Lula juga masih pemulihan di ruang observasi, setidaknya satu jam sebelum diantar ke ruang rawat. Dan Kenan jelas tahu ini, dia juga pernah menjalani operasi. Tapi dia seperti mengabaikan semuanya. Alora lelah, sungguh. Dia hanya ingin segera pulang dan tidur, mengingat dia sudah bekerja sejak kemarin malam. Tanpa sepatah kata pun, dia melepas seat belt, hendak turun. “Dia sendirian, Lora. Jangan egois, oke.” Suara Kenan menusuk, membuat Alora reflek menghentikan tangannya. Dia menoleh, menatap Kenan tajam. “Emangnya aku larang kamu? Gak kan?” Suaranya datar, tapi Kenan langsung merinding. “Udah, sana pergi. Dia sendirian!” Kenan menghela napas panjang, wajahnya terlihat lelah dan bingung. “Kita ngobrol —" Alora melirik tajam, sangat tajam sampai membuat Kenan menutup mulutnya. *** Duduk di kursi pengemudi, Regan menggenggam erat stirnya. Sudah sejak tadi dia mengikuti mobil Kenan. Iya, sejak dari rumah sakit. Rasa penasaran rupanya membawanya sampai ke titik ini. Tapi, dia tidak peduli. Dia sudah bertekad merebut Alora. “Gimana bikin dia turun?” gumam Regan. “Tabak kali ya? Pas si b******k turun, langsung tarik dia, bawa kabur?” pikirnya singkat. Tapi batinnya menolak rencana yang terlintas di kepalanya. Terlalu kejam, memaksa juga. Jelas ini bukan gaya seorang Regan. “Agrh, sialan!” Frustasi memikirkan cara merebut istri orang, Regan mencoba menghubungi Hans. Berharap pria itu bisa memberinya ide atau tips yang bisa dipakai. “Hans, kasih aku cara gimana ngrebut bini orang pake cara halal!” Hans disana langsung keselek kopi panas. Apa-apaan bosnya ini? Umur hampir kepala empat, belum pernah pacaran apalagi naksir anak orang, tapi sekalinya naksir, malah sama bini orang. Dosa! Gak sopan, gak punya adab! Entah apa lagi yang bisa Hans batin, tapi dia tetap menanggapi bosnya. “Sebentar, saya cari dukun bersertifikat MUI dulu, Tuan.” Regan menyerngit. Untuk pertama kalinya, Hans dinyatakan tidak kompeten. “Ngadi-ngadi! Udah cariin aku wanita cantik, seksi juga, yang pandai ngerayu!” “Tuan?? Anda gak …” “Gak apa? Ini buat rayu suaminya. Kalau suaminya selingkuh, aku baru bisa rebut dia!” Hans melotot di tempatnya, langsung berdiri sambil melongo. Se-nekat itu bosnya. Demi bisa mendapatkan pujaan hati, dia sampai merancang rencana seperti ini. “Oh, jangan lupa, selidiki juga suaminya. Detail!” Setelah memberi perintah dan mengakhiri telepon, mata Regan masih mengawasi mobil Kenan yang kini berhenti di lampu merah. “Please … turun. Turun dari sana, turun —” Mata Regan tiba-tiba membola. Tepat saat mulutnya komat kamit, Tuhan malah mengabulkan harapannya. Alora benar-benar turun dari mobil, bahkan langsung membanting pintu. Senang bukan main, Regan buru-buru tancap gas. Peduli apa soal lampu merah, yang penting dia berhasil membuat Alora duduk di mobilnya. Apalagi saat dia melihat Alora berdiri sendirian di trotoar, dan suaminya malah tidak peduli. Bukannya ini kesempatan emas? Mobil mewahnya berhenti tepat di samping Alora, Regan menurunkan kaca jendela disisi penumpang. “Bukannya kamu bilang nasi padang bisa menyelesaikan masalah?” Alora tersentak. Suaranya terdengar familiar hingga dia spontan menundukkan kepalanya untuk melihat siapa pemiliknya. Pandangannya bertemu dengan mata Regan yang duduk santai di dalam mobil, senyum tipis menghiasi wajahnya. “SI m***m!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD