Sebagai dokter IGD, mental Alora sudah terlatih untuk menghadapi berbagai kondisi darurat pasien, termasuk saat Regan datang dengan darah mengucur di tangannya.
Tapi tetap saja, Alora dibuat kaget saat melihat Regan. Sebab di matanya, Regan termasuk pria tangguh yang tidak akan pernah terluka. Begitu pikirnya.
Sampai, matanya melihat ini. Barulah dia sadar, kalau Regan hanya manusia biasa, tentu saja bisa terluka.
"Gimana, Dok? Kebetulan banget, kan?" Regan berkata santai sambil menyunggingkan senyum, berharap Alora merespon dengan sesuatu yang bisa mengugah jiwanya lagi.
Tapi lagi-lagi, wanita itu menghindar.
Alora memilih diam dan tidak menanggapi perkataan Regan. Bahkan buru-buru mengalihkan pandangannya, menghindari tatapan Regan dan fokus pada luka yang harus segera ditangani.
Terkesan cuek dan dingin. Tapi percayalah, dia tidak begitu.
Alora hanya merasa ada sesuatu yang aneh setiap tatapan mata mereka bertemu. Entah apa dan karena apa.
Dia sendiri juga tidak paham. Tapi hal yang pasti, jantungnya selalu tak terkendali, mendadak nervous, bahkan terakhir kali, Alora sempat merona malu.
Dan Alora tidak mau itu terjadi sekarang. Lebih tepatnya, saat dia sedang bekerja dan menangani pasien.
“Gimana kamu bisa terluka? Ini lumayan dalem, panjang juga. Perlu dijahit, mungkin butuh dua sampai tiga jahitan,” kata Alora setelah selesai memeriksa luka Regan.
“Gak sengaja kena pecahan kaca. Kejadiannya lumayan cepat, saya gak sadar dan … yah, tiba-tiba udah berdarah,” jelas Regan santai.
Benar-benar se-santai itu, sampai Alora sendiri heran. Ini orang atau apa?
“Kita bersihin darahnya dulu, setelah itu dijahit. Gak ada alergi obat kan?” Alora masih fokus pada luka di tangan Regan.
Tapi kepalanya mendadak berisik, sibuk bertanya dan menerka banyak hal. “Ini luka apa sih sampai begini? Dan kenapa ekspresinya santai banget kayak abis kena goresan kecil aja?”
“Saya pasrah, Dok. Lakukan saja apa yang perlu.” Regan masih bicara dengan nada bercanda dan senyum yang tak pernah hilang dari wajahnya.
Bahkan saat tangannya bergerak membersihkan darah, Regan masih mempertahankan senyumnya, nyaris tidak merintih kesakitan sedikit pun.
“Kamu … gak ngerasa sakit?” tanya Alora akhirnya.
Gelagat Regan memang terlihat aneh sejak tadi. Dilihat dari lukanya yang dalam, tidak mungkin tidak dia merintih saat Alora membersihkan lukanya. Bahkan saat diguyur antiseptik pun, Regan masih nyengir.
Aneh. Alora merasa ada yang tidak beres.
Tapi ekspresi Regan begitu cepat berubah, jeritan lebay lolos dari bibirnya. “Awwh! Aduh, pelan, Dok! Sakit banget, sumpah!”
Sakit, katanya. Dari tadi kemana saja? Lupa gimana rasanya sakit?
“Baru teriak sekarang, telat banget,” sindir Alora, nyaris kehilangan kesabaran. Jangan sampai pria ini cuma main-main saja disini.
“Dokter gak tau, saya nahan ini sejak tadi. Takut dikira gak gentle," elak Regan.
“Lukamu ini dalam. Teriak sakit juga wajar, kecuali kalau kamu ba’al, gak bisa rasain sakit.”
“Sakit, kok. Serius.”
Hening memenuhi ruangan. Tidak ada yang bicara lagi. Alora kembali sibuk menyiapkan jarum jahit setelah menyuntik Regan dengan bius.
Sementara Regan … tentu saja tidak mau melewatkan momen menatap wajah serius Alora. Matanya saja sampai melotot, nyaris copot.
Wajah serius Alora benar-benar sudah sukses memikatnya. Regan sampai tak bisa menahan pikirannya untuk membayangkan banyak hal.
Kalau luka sekecil ini dirawat seperti ini, apalagi aku? Ah, sial! Aku makin gak sabar. Langsung culik, gimana?
Lain halnya Regan yang makin tak sabar ingin memiliki Alora, sementara Alora sendiri makin risih. Apalagi tatapan Regan mirip laser, terus menerus membidik ke arahnya.
“Kenapa liatin terus? Ada yang aneh?” tanyanya, tanpa mengalihkan pandangan dari luka yang sedang ia tangani.
Regan mengedikkan bahunya. “Heran aja. Kamu kelihatan tenang banget di situasi seperti ini. Kompeten ya.”
Alora mendongak, menatapnya sekilas dengan alis terangkat. “Situasi? Situasi apa sih? Aku ngak paham.”
Hela napas panjang sempat terdengar, sebelum Regan mendekatkan tubuhnya sedikit, dan memangkas jarak di antara mereka.
“Maksud saya… kerja di tempat seperti ini,” katanya, suaranya sedikit lirih, nyaris berbisik.
“Gimana caranya kamu bisa tetap fokus di tengah pekerjaan yang punya tekanan tinggi, ngadepin orang-orang panik juga gak gampang, loh. Tapi kamu ... tetep aja tenang, setenang sekarang.”
Alora terdiam sejenak, tak tahu harus menjawab apa. Ini pujian atau apa?
Wajahnya mulai terasa memanas memikirkan ini, tapi ia buru-buru kembali fokus pada luka di tangan Regan.
“Fokus aja sama tangan kamu,” jawabnya, berusaha terdengar tegas meskipun ada nada gemetar yang tak sengaja lolos.
Regan tertawa kecil. Suaranya berat tapi hangat. “Tentu, Dokter. Saya serahkan semuanya padamu.”
Alora melanjutkan pekerjaannya lagi, berusaha mengabaikan tatapan pria itu yang terus menempel padanya. Tapi akhirnya ia menyerah.
“Stop lihat aku begitu,” ujarnya, mulai kesal.
Regan tersenyum lebih lebar. “Kebiasaan. Kalau ketemu orang menarik, saya suka cari alasan buat memperhatikan lebih lama. Siapa tahu ada kejutan.”
“Oh, jadi kamu sengaja datang cuma buat itu, ya?”
“Bisa jadi,” balas Regan santai. “Tapi tenang, luka ini asli kok. Kamu bisa liat kan, Dok. Lukanya seratus persen real!”
Alora memutar bola matanya malas, memilih tidak menanggapi dengan serius. Menurutnya, Regan cuma membual.
Memang pria bodoh mana yang melukai tangannya demi bisa bertemu orang yang katanya menarik itu?
Sayangnya, Alora tidak tahu kalau Regan adalah pria bodoh itu.
“Kalau gitu, saya pastikan setelah ini kamu nggak punya alasan lagi buat datang ke sini,” kata Alora agak ketus.
Tapi Regan malah terkekeh pelan. “Dokter, Ara emang berdedikasi ya. Tapi jujur, ketemu kamu itu menyenangkan. Jadi … mungkin saya nggak keberatan kalau harus datang lagi.”
Alora menarik napas panjang, lalu menghembuskannya sambil menyembunyikan senyum kecil.
“Kamu santai banget, ya? Padahal tangannya begini.”
Regan hanya diam, membiarkan keheningan memenuhi ruang di antara mereka. Tapi tatapan matanya tetap tak beranjak dari Alora, seolah mencoba membaca sesuatu yang lebih dalam.
Sampai beberapa menit berlalu cukup singkat, dan lukanya berhasil diobati, dijahit dan diperban.
“Lukanya agak dalam, jadi jangan kena air dulu. Makan yang cukup, nggak ada pantangan makan juga, kok. Satu minggu lagi kontrol, ya.”
Alora bicara sambil melepas sarung tangan, sementara Danila mulai membereskan sisa peralatan.
“Kamu kerja dimana? Butuh surat dokter ngak?” tanyanya lagi.
“Saya kerja di Nels. Surat dokter ... kayaknya saya gak butuh,” jawab Regan sambil berdiri, menatap Alora yang sibuk menulis resep obat untuknya.
“Yang saya butuh … itu kamu, Dokter!”