Perkataan Regan sukses membuat Alora terpaku di tempat. Dadanya bergemuruh tak menentu, seolah jantungnya berlomba dengan pikirannya yang mulai liar. Entah kenapa, kata-kata Regan itu membuatnya salah mengira.
“Maksudnya, saya butuh dokter,” kata Regan akhirnya, berhasil mengurai kesalahpahaman yang hampir membuat jantungnya copot.
“Jadi gimana? Kamu mau, jadi dokter pribadiku?”
Mata Alora membulat, menatap Regan dengan ekspresi setengah tak percaya. Dia benar-benar tidak menyangka percakapan ini akan menuju ke arah seperti ini.
“Kebetulan saya butuh dokter pribadi. Dan saya rasa, kamu cocok. Kompeten, berdedikasi juga,” lanjut Regan, terus bicara.
“Oh, soal gajinya, tenang aja,” tambahnya, mengangkat bahu seperti memastikan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. “Yang pasti nggak lebih rendah dari gaji kamu di sini. Gimana?”
Keheningan menyelimuti mereka untuk sesaat. Alora menatap Regan nanar, mempertimbangkan tawaran nya baik-baik.
Ada banyak hal yang langsung terlintas di kepalanya. Salah satunya adalah jadwalnya. Jika ia menerima tawaran ini, mungkin akan lebih mudah baginya untuk meluangkan waktu mengejar gelar spesialisnya.
Selama ini, bekerja di IGD cukup menguras hampir seluruh waktunya. Jangankan mengejar gelar, kadang saja dia lupa makan kalau ketemu situasi darurat seperti sebelumnya.
Lain halnya sebagai dokter pribadi yang tentunya jauh lebih ringan, dan bisa memberinya ruang untuk fokus pada pendidikan.
Kesempatan emas ini seharusnya tidak boleh dilewatkan. Harusnya begitu.
Tapi ….
“Waw, tawarannya gak main-main. Gaji gak lebih rendah. Tapi … kamu gak ada maksud lain?” Matanya menyipit, menatap Regan penuh selidik.
Pertemuannya dengan Regan di rooftop, memang kebetulan. Tapi saat Regan tiba-tiba menawarkan tumpangan, bahkan hari ini, Alora merasa pertemuan mereka tidak sesederhana itu.
Pikirannya penuh dengan banyak praduga, salah satunya, hal konyol yang sebetulnya nyaris tidak mungkin terjadi. Tapi, tidak ada salahnya waspada kan?
Regan tersenyum kecil, tapi ada sedikit getir yang tersirat di wajahnya. “Maksud lain?” ulangnya, mencoba terdengar santai, meski jelas ia tidak menyangka Alora akan berpikir sejauh itu.
“Kita nggak seakrab itu. Baru kenal. Tapi kamu … nawarin hal ini cuma-cuma. Apa niatmu?” Alora tetap pada pendiriannya, tak mau terlihat lengah.
Regan terdiam sejenak, matanya sedikit melembut. Niat?
Tentu saja dia punya niat. Ia tahu Alora sedang mencari cara untuk melanjutkan gelarnya, tapi terhalang oleh jadwal kerja dan mungkin juga dana. Regan hanya ingin membantu, memberi solusi.
Meski tidak menampik kemungkinan kalau dia juga ingin sekalian PDKT. Tapi sepertinya, Alora menebak tawarannya dengan waspada
“Kakekku … dirawat di sini. Gedung 3, nomor 5520. Namanya Joe Roland Miller,” ujar Regan, memecah keheningan dengan suara lebih tenang.
Alora menatapnya, bingung ke mana arah pembicaraan ini.
“Dia nggak punya penyakit serius selain hipertensi. Tapi … susah sekali buat dia menjaga tubuhnya. Jadi, aku berencana cari dokter pribadi. Seseorang yang bisa mengawasi kesehatannya, dari pola makan, aktivitas, ya … hal-hal kecil yang sering terabaikan.”
Regan menatap Alora lebih dalam, menyusun kata-kata sebaik mungkin. “Aku lihat kamu … waktu itu bujuk aku di rooftop, juga pas ngobatin tangan ini.” Ia mengangkat tangannya yang masih dibalut perban, menunjukkan lukanya.
“Aku ngerasa kamu kompeten, telaten, juga sabar. Jadi … aku nawarin ini ke kamu.”
Alora terdiam, rasa bersalah menyusup perlahan di benaknya. Ia merasa pikirannya terlalu konyol. Bagaimana bisa ia berpikir Regan adalah orang suruhan yang punya maksud tersembunyi?
“Sshh, bodoh. Bisa-bisanya mikir kayak gini. Emang ini novel?” Alora menggerutu dalam hati, mencemooh pikirannya sendiri.
Konyol sekali memang. Dia sering overthinking akhir-akhir ini, entah kenapa. Padahal sebelumnya dia tidak begini.
Melihat Alora tetap diam, Regan melanjutkan dengan nada santai, meski raut wajahnya tetap serius.
"Kayaknya … kamu ragu, ya? Gak masalah.” Ia mengeluarkan kartu nama dari saku jasnya, lalu menyodorkannya ke arah Alora.
“Kalau nanti kamu berubah pikiran, kamu bisa hubungi aku,” tambahnya, suaranya ringan tapi tegas.
Alora menerima kartu nama itu tanpa banyak bicara, jari-jarinya gemetar sedikit saat menyimpannya ke saku jas putihnya. Lidahnya kelu, tak tahu harus mengatakan apa. Hanya bisa menatap punggung Regan yang berjalan keluar IGD dengan langkah mantap.
Namun, saat langkah Regan hampir mencapai pintu keluar, Alora spontan mengejarnya.
“Itu … Pak Regan!” serunya, suaranya terdengar agak tergesa.
Regan berhenti, menoleh dengan alis terangkat.
“Maaf … aku nggak maksud gitu tadi,” ujar Alora cepat, wajahnya terlihat canggung. “Dan soal ini—tawaran tadi … kayaknya aku nggak bisa.” Ia mengeluarkan kartu nama dari sakunya, menyodorkannya kembali pada Regan.
Regan hanya menatap kartu itu, lalu mengalihkan pandangannya ke Alora. Tatapannya hambar, nyaris tak terbaca.
“Simpan aja,” katanya pelan, tapi tegas. “Kita nggak tahu gimana nanti, kan? Siapa tahu kamu butuh aku buat hal lain.”
Alora terdiam. Kata-kata Regan itu terdengar ringan, tapi entah kenapa meninggalkan jejak yang dalam di pikirannya. Ia hanya bisa menggenggam kartu itu erat, membiarkan Regan melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
"Siapa nama kakeknya tadi? Ronald ... Miller?" gumam Alora pelan, mencoba mengingat nama yang di sebutkan Regan. Pandangannya jatuh ke kartu nama yang masih ada di tangannya.
Ia memutar kartu itu, matanya membaca tulisan tebal yang tercetak rapi di atasnya. Regan Farraz Miller.
"Jadi, namanya Regan?" Alora mengernyit. Nama itu terdengar familiar, tapi ia belum menghubungkannya dengan apa pun. Sampai...
Matanya melebar tiba-tiba.
"Dia bagian dari Miller? Yang terkenal itu?!" bisiknya nyaris tak terdengar, tapi dadanya sudah bergemuruh hebat.
Miller. Nama keluarga itu terpampang besar di banyak bangunan dan berita bisnis, salah satu konglomerat terbesar dengan bisnis properti yang cukup terkenal. Keluarga yang selalu berada di lingkaran elit atas.
Alora tidak banyak tahu dunia bisnis, tapi pernah mendengar nama ini, sebab Kenan selalu mengeluh soal susahnya menjalin kerja sama dengan perusahaan ini.
Tangan Alora gemetaran. “Ya, Tuhan. Apa … apa-apaan ini?
***
Alora kehilangan konsentrasinya. Pikirannya malah sibuk menerka soal Regan. Untung saja kondisi IGD hari ini tidak begitu sibuk. Tidak ada pasien triage berat yang butuh operasi dadakan.
“Dok, ngelamun apa? Ngak pulang?” ucap Gio, salah satu perawat disana.
Alora tersentak, reflek melihat jam di tangannya. Sudah jam 6 sore, jam kerjanya sudah habis sejam yang lalu, tapi dia masih duduk di tempatnya, menatap nanar layar monitor.
“Pulang kok, Gi. Bentar lagi,” katanya.
“Lagi nunggu suami ya, Dok?”
Hanya senyum hambar yang lolos dari bibir Alora. Biasanya, Kenan akan menjemputnya. Apalagi hari ini dia shift pagi, pas dengan jadwalnya ke kantor. Tapi sejak Lula tinggal satu atap dengan mereka, Kenan hampir tidak pernah menjemputnya.
Alora tetap tidak menjawab, langsung bangkit dari duduknya, mengambil tas lalu berpamitan dengan yang lain. Sepertinya, dia harus mandiri mulai sekarang.
“Gak papa, Ra. It’s oke, kamu sudah biasa sejak mama papa pergi kan? It’s oke.”
Langkah lesunya membawanya pergi ke lobby utama, dia hendak memesan taksi online sambil menunggu di kursi empuk yang ada di lobby. Tapi tidak disangka, dia malah ketemu Dela yang juga baru selesai praktek.
“Loh, Ra. Belum pulang?”
“Mau pulang, nih. Tadi ngurus berkas dulu,” bohong Alora. Padahal sibuk melamun sejak tadi.
“Sama siapa? Kok jalan kesini? Biasanya kan di jemput di depan IGD.”
Pertanyaan Dela sukses buat Alora kelabakan. Sebagai sahabat, bagaimana dia bisa berbohong kalau Kenan sudah jarang menjemputnya sejak Lula hadir mengusik rumah tangganya.
Alora terpaku, bingung bagaimana harus bicara.
“Ra … jangan bilang, ini soal ibu hamil kemaren?”