Tepat sekali tebakan Dela, mata Alora sampai membulat. Rasanya seperti tertangkap basah.
Lalu bagaimana sekarang? Haruskah dia jujur atau tetap diam?
Belum sempat memutuskan, Dela sudah bergerak lebih dulu. Tangan Alora ditarik tanpa ampun, dibawa ke sudut lobby yang agak sepi.
"Ngomong, Ra! Tuh lakik nggak selingkuh kan? Ngomong sama gue?!" desak Dela, nadanya tinggi, matanya melotot tajam.
Cengkramannya di tangan Alora juga cukup kuat, seolah tidak akan dilepaskan sampai ia mendapatkan jawaban. Alora menghela napas panjang. Bisa-bisa nyawanya melayang kalau berbohong sekarang.
Ah, sudahlah. Persetan juga.
Lagi pula, gosip tentang Kenan mengaku suami wanita lain sudah tersebar di rumah sakit. Bahkan jadi bahan pembicaraan hangat selama beberapa hari terakhir.
Banyak juga yang melihat langsung Kenan mondar-mandir di ruang rawat inap, menemani wanita itu. Sudah tidak ada gunanya menutupi masalah ini.
Akhirnya, dengan berat hati, Alora menceritakan semuanya. Mata Dela pun langsung membelalak mendengar pengakuan Alora.
“Sumpah, demi apa?! Itu cowok gila atau gangguan nurani sih? Kalau hatinya nganggur, donorin aja, Ra!”
Dela mengumpat dengan penuh emosi, hampir meledak di tempat.
Andai Kenan ada di sana saat itu, mungkin Dela sudah menjadikannya samsak tinju. Atau, bahan anatomi untuk para Koas yang sedang praktik.
“Terus … si uler itu sekarang tinggal di rumah kalian?” tanya Dela dengan nada lebih pelan, meski amarahnya masih terasa.
Alora hanya mengangguk pelan. Jawaban itu membuat Dela semakin geram, tangannya refleks mengepal, menahan diri agar tidak memukul orang.
“Berengsek! Dan lu sekarang … udah nggak diantar-jemput lagi?”
“Enggak, Del. Tapi, ya … pas banget kemarin Kenan emang lagi banyak kerjaan. Dia baru menang tender, jadi sibuk—”
“Alah! Alasan doang,” potong Dela kasar. Gemas sekali mendengar alasan klise seperti itu.
“Udahlah, nggak usah dibela. Gue anter pulang. Jam segini mana dapet ojek, taksi online apa lagi. Susah!”
Alora terdiam sejenak, lalu mengangguk. Benar kata Dela, jam segini biasanya sulit dapat kendaraan online. Dari pada dia duduk lama di lobby tanpa kepastian, lebih baik dia nebeng Dela sekarang.
“Thanks ya, Del,” ucap Alora pelan, suaranya terdengar tulus meski lemah.
Dela hanya mendengus sambil menepuk bahu Alora, sedikit lebih keras. "Gak usah, kek apa aja. Besok-besok, kalau tuh lakik gak nganter atau jemput lu, langsung hubungi gue!"
Alora tersenyum kecil, tapi Dela belum selesai mengoceh. Masih ada rasa ngrunjel di hati yang belum tuntas.
"Dasar emang ya! Awas aja kalau tuh cewek beneran uler. Gue yang bakal maju duluan jadi tameng! Babat habis dua manusia laknat itu!" ocehnya, sambil mengepalkan tangan ke udara seolah siap berperang.
"Eh, enggak ding," lanjut Dela, dengan wajah tiba-tiba berubah serius, tapi matanya berkilat penuh sarkasme.
“Gue belah aja ya, biar jadi bahan buat anak-anak Koas praktek anatomi! Hahaha."
Tawanya pecah begitu saja, keras dan tanpa filter, memantul di dinding lobby. Alora, yang tadinya merasa kehabisan tenaga, akhirnya ikut tertawa. Awalnya pelan, tapi perlahan makin lepas, sampai dadanya terasa sedikit lebih ringan.
Ada kehangatan yang merayap di hatinya, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan. Di balik mulut pedas dan sikap blak-blakan Dela, ada perhatian yang tulus.
Haru menyeruak di d**a Alora. Tidak menyangka, sahabat yang sering terlihat cuek ini justru menjadi orang yang membuatnya merasa lebih kuat.
“Yuk, balik. Keburu makin macet.”
***
Jakarta se-macet biasanya. Apalagi jam pulang kerja. Tapi Dela cukup tangkas menyetir, tidak sampai 40 menit, Alora sampai di rumah dengan aman.
Begitu berdiri di depan pintu, Alora terpaku sebentar. Menatap handel sambil mendesah kasar. Dulu, dia merasa rumah ini jadi tempat nyaman untuk melepas penat. Tapi sekarang, tempat ini malah mirip medan perang.
“Ibu sudah pulang?” sapa Bi Tiwi, wanita paruh baya yang selama ini membantu Alora mengurus rumah.
Sejak ada Lula, Kenan sengaja menambah dua pengurus rumah, karena sebelumnya dia hanya mempekerjakan Bi Tiwi pekerja lepas, kini dia menetapkannya untuk tinggal di rumah.
Sementara Mbak Nur, pembantu baru, dipekerjakan lepas membantu pekerjaan Bi Tiwi dan menjaga Lula.
Kurang baik apa suaminya ini, bahkan dia mempekerjakan dua pembantu sekaligus. Bukannya tidak heran kalau Alora mulai mencium kecurigaan?
“Masak apa, Bi. Wangi banget, baunya sampai depan pintu, loh.” Alora meletakkan tasnya di kursi, lalu melihat ke dapur.
“Rendang, Bu. Bapak kemaren minta dibuatin rendang,” jawabnya. “Oh, ada sop juga, Bu. Sop apa ya namanya tadi … selada?”
“Itu … Mbak Lula yang masak.”
Alora cuma mengangguk, malas merespon lebih banyak. Tiap kali mendengar nama Lula, entah mengapa moodnya jadi buruk. Dia tidak sepenuhnya benci, hanya … sedikit tidak suka.
“Aku mandi dulu ya, Bi. Nanti siapin aja di meja.”
Alora langsung pergi ke lantai atas, membersihkan diri dan ganti baju. Saat turun, semua orang sudah duduk, siap menikmati makan malam. Alora jadi yang paling terakhir duduk di sana.
Di depannya, Kenan sudah duduk santai, dan di sebelah Kenan, Lula sedang sibuk mengambilkan nasi untuknya. Gerak-geriknya cekatan, penuh perhatian, seperti istri yang sedang melayani suaminya.
Alora menggigit bibirnya pelan, mencoba menenangkan diri. “Jangan meledak. Jangan buat keributan.”
“Ingetku, kamu suka banget sama sup selada. Coba deh, aku yang masak,” ucap Lula.
Bicaranya sengaja dibuat lembut, sok perhatian.
Kenan juga tidak terlihat protes saat dilayani Lula, bahkan menerima mangkok sambil tersenyum. Alora melihatnya sambil tersenyum getir, sesak mendera dadanya.
“Ayo makan!” ajak Kenan, kini menatap Alora. “Bi Tiwi masak rendang, cobain.” Kenan mengambil daging, hendak meletakkan di piring Alora yang masih kosong. Tapi Lula lebih dulu menyodorkan piringnya.
“Wah, Bang. Masih inget juga kalau aku suka rendang.” Tanpa rasa sungkan, Lula tersenyum riang, tapi matanya melirik pada Alora yang tidak merespon, bahkan sibuk mengambil nasi.
Nyess sekali hati Alora. Apalagi Kenan diam saja, tidak menegur atau merespon sikap Lula. Bahkan berpura-pura bodoh, dan mengambil daging lagi untuk di berikan pada Alora.
Tapi di waktu yang sama, Lula sengaja memegang pinggiran panci sup. Berteriak heboh mengagetkan semua orang, Kenan langsung reflek menaruh daging di piringnya sendiri. Lalu sibuk melihat tangan Lula.
“Aww, panas, Bang,” keluhnya.
“Kamu juga gimana sih, panci masih panas, ngapain di pegang?” gerutu Kenan.
Terlihat sekali dia khawatir dengan Lula, sampai mengabaikan istrinya yang duduk di depannya, menatap adegan romantis suaminya dengan wanita lain.
“Ada Dokter Alora, Bang. Biar dilihat dulu, perlu diapain,” kata Lula.
Sengaja memakai profesi saat memanggil Alora. Si ulat bulu ini memang sengaja, dia bermaksud merendahkan Alora, bahwa dia hanya dokter di rumah itu, bukan nyonya.
Kenan menatap Alora yang sibuk makan, tidak peduli sama sekali. Kenan sama sekali tidak berani meminta istrinya, apalagi ini cuma isiden … yang terbilang kecil.
Tapi Lula tidak tahu diri, dengan santainya dia bicara, “Dokter Alora, ngak keberatan lihat dulu kan?”
Alora meletakkan sendoknya kasar, menatap Lula tajam. “Pas kamu lagi ngambilin sup buat suamiku, kayaknya kamu tahu kalau panci itu masih panas. Sengaja ya?” ketusnya, sengaja menekan panggilan ‘suami’ di depan Lula.
Kalimat sederhana itu meluncur seperti anak panah yang tepat sasaran. Wajah Lula memerah, kepalang malu dan kesal.
“A-apa sih, Dok? Aku sengaja gitu?”
Alora mengedikkan bahu dengan santainya, lalu kembali menikmati makan malamnya. Sementara Lula memasang wajah melas, berharap dikasihani oleh Kenan.
“Udah udah, gak sengaja juga,” katanya.
Nah, kan. Sudah ketebak apa respon Kenan. Tetap saja acuh tak acuh, bahkan sikapnya yang berusaha menengahi situasi juga terlihat membela Lula.
Setelah bicara begitu, dia langsung berdiri, pergi mencari salep, sementara Lula diam membisu di tempatnya dan Alora sibuk makan.
Begitu Kenan kembali, Alora sudah selesai makan, bahkan langsung pergi ke kamar begitu saja. Alih-alih peduli dan tetap disana, dia lebih memilih belajar untuk persiapan mengambil gelar spesialis tahun depan.
Entah pukul berapa, yang jelas sudah cukup lama, Kenan baru masuk ke kamar. Berjalan santai ke sisi ranjang, tanpa ada rasa bersalah sama sekali.
Malah dengan santai dia bertanya, “Belum tidur?”
Alora tidak menjawab, sibuk membaca bukunya. Hatinya sudah terlalu sakit, sudah dua minggu lamanya dan dia sudah tidak bisa menahan diri lagi.
“Lula sedang hamil, moodnya kadang naik turun. Tolong nanti —”
“Cerai aja gimana?”