Sikap Baik

1094 Words
Begitu tiba di Bandara Ngurah Rai, Bali—Venus langsung menghubungi Archio melalui sambungan telepon. “Hallo, Venus?” Suara bariton di ujung panggilan sana menyahut. “Mas, aku udah sampe Bandara … Mas udah tahu mereka nginep di mana?” “Udah, saya udah booking kamar dengan balkon tepat menghadap balkon kamar mereka.” “Hah? Ko bisa?” “Kebetulan saya menjadi salah satu arsitek waktu membangun hotel ini, jadi saya kenal dengan Managernya… saya ceritakan tentang kedatangan saya ke sini dan mau dia bantu karena percaya sama saya.” “Oooh ….” Venus bergumam. “Keren,” sambungnya di dalam hati. “Kirim alamat hotelnya ya Mas, saya pesen taksi Bandara dulu.” “Oke … Venus?” “Ya Mas?” “Hati-hati ya, ini udah tengah malem … kirim sharelock live biar saya bisa mantau kamu.” Venus terpekur sesaat, dia kemudian menundukan pandangan mengingat pesan yang dikirim Altezza tadi sore dan mengabarkan bahwa pria itu sudah sampai di Bandara dan sebentar lagi pesawatnya akan take off. Altezza hanya berpesan agar Venus hati-hati mengemudi sendirian pulang ke Bandung. Jujur, sebenarnya Venus berharap Altezza menyewa supir dan meminjamkan mobil untuk mengantarnya pulang ke Bandung seperti yang pernah dia lakukan di masa lalu saat tidak bisa mengantarnya pulang ke Bandung. Walau Venus juga sebenarnya tidak jadi pulang ke Bandung. Euphoria akan berbulan madu dengan Wulan membuat perasaan Altezza tidak bekerja dengan benar dalam memperlakukan Venus. “Iya Mas, nanti kalau udah jalan aku sharelock live.” “Oke.” Usai memutuskan sambungan telepon, Venus menghampiri stand taksi Bandara dan tanpa memikirkan biaya—dia langsung memesan mobil untuk membawanya ke hotel tempat Altezza dan Wulan menginap. Ternyata hanya tiga puluh menit berkendara, mereka sampai di daerah pantai Kuta. Mobil berhenti tepat di depan loby. Venus celingukan mengedarkan pandangannya ke dalam loby hotel dari teras melalui pintu kaca hotel yang besar. Lalu terdengar suara Archio memanggil. “Venus.” Dia pun menoleh. Pria itu berdiri di sebuah lorong yang sedikit gelap yang berada di samping loby sedang melambaikan tangan, memintanya mendekat. Venus segera mendekat, tidak jadi masuk ke dalam loby padahal petugas hotel sudah membukakan pintu. “Kita lewat sini, jangan lewat loby untuk menghindari papasan sama mereka … soalnya Wulan sama tunangan kamu lagi keluar … mereka pergi ke bar.” “Hah? Mas enggak ngikutin mereka?” Mata Venus melotot. “Ayo kita ke sana sekarang!” Venus ingin mengambil foto kemesraan mereka. “Udah tadi, saya sempat ngikutin mereka … setelah saya dapet foto mereka—saya langsung balik ke hotel biar kamu enggak bingung buat chekin … saya udah pesen satu kamar untuk kamu, saya minta kamarnya di samping kamar saya biar kita bisa sama-sama liat ke jendela kamar mereka dari balkon, kamu belum pesen kamar ‘kan?” “Oh iya belum, Mas.” Venus baru sadar kalau dia belum booking tempat menginap. Kenapa juga tidak terpikir olehnya? Venus terlalu syok mengeluarkan biaya senilai jutaan untuk penerbangannya ke Bali. “Yuk, kita masuk … saya panggil resepsionisnya dulu.” Archio menuntun Venus melewati lorong, baru dua langkah saja dia berhenti. “Sini tasnya, biar saya yang bawa.” “Eh, enggak usah Mas.” Venus menolak tapi tas kadung berpindah ke pundak Archio. Pria itu kembali melanjutkan langkah. Mereka tiba di depan sebuah pintu, Archio mengetuk sebanyak tiga kali dan tidak lama seseorang keluar dari sana. Dari celah pintu, Venus melihat kalau ternyata pintu tersebut terhubung ke belakang meja resepsionis. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” Pria resepsionis bertanya ramah. “Saya mau ambil kunci kamar atas nama Venus … tadi saya pesen lewat pak Agung.” Pak Agung adalah Manager hotel yang sudah menginstruksikan karyawannya untuk menyediakan satu kamar lagi sesuai permintaan Archio. “Baik, sebentar Pak … Bapak dan ibu bisa menunggu di dalam.” Pria resepsionis membuka pintu lebar-lebar, ternyata di dalam sana—di belakang partisi area resepsionis—ada satu set sofa. Venus dan Archio duduk di sofa selagi petugas memeriksa data base. Akhirnya Venus bisa beristirahat. Cukup lama, mungkin ada sekitar dua puluh menit mereka menunggu sampai si pria resepsionis datang kembali dengan wajah pucat. “Pak … mohon maaf, tadi pak Agung memberi pesan kepada teman saya di sift pagi … dan kebetulan sedang ada perbaikan sistem jadi pesanan kamar ditulis secara manual, sepertinya nama Bu Venus kelewat sehingga tidak masuk dalam daftar booking kamar,” tutur pria resepsionis menjelaskan. “Oh ya udah, pesan lagi aja sekarang …,” kata Venus memberi solusi. “Betul Bu, tapi masalahnya semua kamar sudah penuh … sekali lagi kami mohon maaf, kalau Ibu bersedia akan saya carikan kamar di hotel lain dan akan kami fasilitasi transportasi ke sana … tapi saja tidak janji hotelnya berada di dekat sini karena long weekend kebanyakan hotel yang dekat pantai itu penuh.” “Yaaa ….” Venus mengerutkan wajahnya. “Gimana sih kok bisa ke-skip … saya mau hubungin pak Agung dulu.” Archio jadi kesal. “Jangan Pak, saya mohon … kita selesaikan aja di sini ….” Pria resepsionis mencoba bernegosiasi. Bagaimana tidak, kekasihnya yang tadi siang diberi perintah oleh Pak Agung tidak melakukan pekerjaannya dengan benar. Bila Archio melapor kepada Manager mereka maka kekasihnya itu akan langsung dipecat karena sudah mendapat dua kali surat peringatan atas kelalaian dengan kasus yang sama. Venus dan Archio saling melempar tatap. “Kamu mau satu kamar sama saya?” Archio bertanya dengan tampang ragu. “Enggak apa-apa memang?” Venus malah balas bertanya, dia juga tampak tidak yakin. “Kalau saya sih enggak apa-apa,” jawab Archio kemudian mengalihkan tatap pada pria resepsionis. “Tapi bisa saya pesan ekstra bed?” pintanya pada pria resepsionis. “Kebetulan ekstra bed habis, Pak.” Pria resepsionis meringis. Segera saja si pria resepsionis mendapat tatapan sebal dari Venus dan Archio. “Ya udah, Mas … enggak apa-apa aku tidur di sofa aja,” putus Venus akhirnya karena dia sudah ingin membersihkan tubuh kemudian istirahat. Jiwa dan raganya sangat lelah. Archio menganggukan kepala seraya bangkit dari sofa. Dia juga kasihan melihat wajah lelah Venus yang masih menggunakan seragam kerjanya tanpa blazer. Bisa Archio tebak kalau Venus langsung pergi ke Bandara dari kantornya. Keduanya keluar dari ruangan itu, berjalan beriringan menyusuri lorong. “Nanti biar saya yang tidur di sofa … kasian kamu, sofanya pendek … kamu enggak akan nyaman tidurnya.” Venus tidak bersuara, benaknya sibuk berpikir mencerna sikap Archio yang memperlakukannya dengan sangat baik. Memperlakukan orang lain saja pria itu sampai meninggalkan kesan baik apalagi memperlakukan istrinya? Venus semakin tidak mengerti kenapa Wulan sampai tega berkhianat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD