Kesalahan Terbesar

1711 Words
Suara kicauan burung membangunkan Bianca dari tidur panjangnya, memaksanya meninggalkan mimpi indah yang membuatnya bisa tidur nyenyak semalaman. Mungkin, semalam adalah tidur paling nyenyak selama tiga bulan terakhir. Di mana malam-malam sebelumnya ia selalu terjaga, ditemani dengan botol-botol bekas dan juga puntung rokok yang berserakan. Aroma udara pagi yang menyegarkan, menyapa indera penciuman Bianca. Harum yang berbeda dari pagi-pagi biasanya. Aroma mint yang menggairahkan dan juga begitu menenangkan, dipadu bau maskulin dari aroma parfum seorang lelaki. What? Tunggu. Lelaki? Bianca terperanjat, seketika membuka matanya lebar-lebar. Untuk sepersekian detik ia hanya mengedip-ngedipkan mata, memastikan indera penciumannya tidak salah. Bau maskulin itu benar-benar tercium oleh indera penciumannya, walau tak begitu menyengat tapi cukup untuk membuat bulu kuduk Bianca meremang. Membayangkan dari mana asalnya bau maskulin dan aroma mint yang menenangkan, seakan begitu familiar baginya. Satu nama terbesit dalam hati dan pikiran Bianca. Nama yang sedang susah payah ia lupakan. Nama yang seharusnya tak pernah muncul lagi dalam hati maupun pikirannya. Bianca mengembuskan napas panjang, menyudahi spekulasinya akan bau maskulin beraroma mint tersebut. Namun, baru saja ia mengenyahkan pemikiran itu dari kepalanya, sesuatu yang terasa hangat melingkari perutnya membuat Bianca menegang seketika. Ia menelan ludah ketika perlahan menurunkan pandangannya ke bawah, ke bagian perut di mana ia merasakan sesuatu yang kokoh menariknya ke belakang. Mata Bianca melotot horor, ketika yang ia lihat ialah sebuah tangan kekar memeluk dirinya dari belakang. Jantung Bianca ketar-ketir memikirkan siapa pemilik tangan tersebut. Ia benar-benar mengutuk kebiasaan dirinya yang selalu melupakan banyak hal setelah minum minuman laknat itu dan terbangun seperti pasien amnesia di pagi hari. Siapa? Bianca bertanya-tanya dalam benaknya. Menerka-nerka siapa gerangan lelaki yang berada di belakang punggungnya. Mungkinkah Adam? Nama itu tiba-tiba muncul, tapi dengan cepat Bianca menepisnya. "Enggak mungkin! Adam bukan lelaki berengsek!" Bianca spontan membungkam mulutnya yang refleks bersuara. Ia memejamkan mata, berharap orang di balik punggungnya masih terlelap. Bianca merasa napasnya sesak, dadanya seperti ditekan batu besar. Meski ia sangat yakin kalau lelaki yang berada satu ranjang dengannya itu bukanlah Adam, tapi memikirkan orang lain yang tidur dengannya membuat Bianca malah lebih frustrasi. Ia baru saja mengulang kesalahan terbesarnya. Bodoh! Bianca menyingkirkan tangan kokoh itu dengan hati-hati, lalu menarik selimut tebal untuk menggulung tubuhnya yang polos tanpa sehelai benang pun. Melirik pada pakaian yang semalam ia kenakan kini berceceran di lantai, terdapat pakaian seorang pria juga. Ini benar-benar buruk, malapetaka untuk Bianca. Ketika Bianca akan beranjak bangun, tiba-tiba saja tangan kekar itu kembali memeluknya dari belakang. Disusul suara serak yang sangat familiar di telinga Bianca. "Mau ke mana?" Bianca yakin kalau ia sangat mengenali suara itu, suara yang telah lama bergaung dalam hatinya. Suara yang selalu memenuhi pikirannya dan suara yang selalu ingin ia dengar secara langsung. Tapi, benarkah suara barusan berasal dari suara orang yang sama. Spontan Bianca memberanikan diri menoleh ke  belakang untuk membuktikannya. "Nathan!" Alangkah terkejutnya Bianca saat melihat sosok si pemilik suara yang sama dengan sosok yang ia pikirkan. Jantung Bianca seolah berhenti berdetak saat mata lelaki itu perlahan terbuka. Lalu seulas senyum cerah menyambutnya, begitu hangat sampai hatinya kembali berdebar seperti tiga bulan yang lalu. Apakah ini mimpi? Bianca semalam memang memimpikan Nathan, bermimpi melakukan percintaan yang begitu hebat. Tapi ia tak menyangka jika mimpi itu akan berlangsung lama, bahkan sampai ia terbangun dari tidurnya. Atau ini bukan mimpi, melainkan sebuah ilusi yang diciptakan oleh pikirannya sendiri? Bianca bertanya-tanya pada diri sendiri. Namun, ia tak mendapatkan jawaban apa pun. Sebuah usapan lembut di pipi menyentak Bianca dari pikirannya. Memaksanya mengalihkan pandangan sepenuhnya pada sosok Nathan yang tampak begitu nyata. Bahkan suaranya begitu jelas memasuki gendang telinga Bianca. "Aku senang bisa melihatmu lagi." Senyuman itu. Bianca menelan ludah, menyadari sesuatu yang terjadi. Ini bukan mimpi, ini nyata. Lelaki yang kini merubah posisinya jadi duduk berhadapan dengannya itu benar-benar Nathan, sungguhan. Bukan mimpi ataupun sekadar ilusi semata. Tanpa sadar Bianca justru meneteskan air matanya, dadanya begitu nyeri. "Kenapa menangis?" Wajah Nathan berubah panik, khawatir. Kedua tangannya menangkup wajah Bianca, matanya menatap dalam pada mata cokelat terang miliknya. "Bi, ada apa? Kenapa kamu malah menangis. Apakah aku menyakitimu, maaf." Bianca buru-buru mengusap pipinya yang basah oleh air matanya, lalu menyingkirkan tangan Nathan dari pipinya. Ia langsung beranjak berdiri, menjauh dari Nathan yang terlihat kebingungan. "Bi," panggilnya. "Apa yang kamu lakukan di sini, Nathan?" Suara Bianca bergetar, menahan tangis yang seakan mau meledak. "Tentu saja untuk menemui," jawab Nathan, berusaha meraih kembali tangan Bianca. Tapi Bianca dengan cepat menghindar, memberinya penolakan. Jelas Nathan tak menyangka akan hal itu, setelah malam panjang yang mereka lewati bersama. Lalu sekarang Bianca seakan jijik kepadanya. Itu benar-benar membuatnya tersakiti. "Bi." Nathan memandang sendu Bianca, menatap dalam pada mata cokelatnya yang berlinang air mata. "Aku———" "Pergi!" Satu kata yang meluncur dari mulut Bianca, membuat Nathan terdiam kaku. Terkejut karena tak pernah terpikirkan olehnya kalau Bianca akan mengusirnya, setelah apa yang mereka lalui bersama-sama semalam. "Pergi Nathan, kamu nggak seharusnya di sini." "Lalu, seharusnya aku di mana?" Nathan mendongak, membalas pertanyaan Bianca. Mata mereka saling beradu, tapi Bianca buru-buru memutus kontak mata itu dan memalingkan wajah ke sembarang arah. "Tempatmu bukan di sini Nathan," lirih Bianca sekali lagi. "Kamu seharusnya tidak datang kemari." "Why?" Nathan bertahan di posisinya, memandang Bianca tanpa berkedip. "Kenapa aku nggak boleh ada di sini? Kenapa? Beri aku alasannya kenapa aku nggak boleh nemuin kamu?" Bianca tak menjawab, tetap diam membisu. "Jawab Bi, kenapa aku nggak boleh nemuin kamu? Apa kamu tahu bagaimana pengorbanan aku untuk bisa sampai ke sini? Kamu tahu apa yang telah aku lakukan agar aku bisa menemukan keberadaan kamu sekarang? Lalu setelah aku menemukanmu, kamu justru meminta aku untuk pergi? Why?" Bianca mengigit bibir bawahnya, meremas jemari tangannya yang berkeringat. Ia tak tahu harus merespon seperti apa semua pertanyaan yang Nathan lontarkan. Munafik kalau Bianca tidak senang melihat Nathan di sini, bohong kalau dirinya benci akan kehadiran Nathan. Ia sangat senang, terlebih ketika tahu alasan Nathan ke sini karena mencarinya. Tapi ini tetap salah, karena tak seharusnya Nathan ada di sini. Keberadaan lelaki itu membuat pertahanan yang ia bangun seketika roboh, dinding besar yang susah payah ia dirikan untuk membentengi diri kini berhasil ditembus oleh Nathan. "Bi." Nathan meraih tangan Bianca, menggenggamnya erat. "I miss you. Kamu tahu betapa bahagianya aku saat berhasil menemukan kamu. Aku sangat bahagia, apalagi saat semalam kita————" Nathan tercekat karena Bianca seketika menarik kasar tangannya dari genggaman. "Lupakan yang semalam Nathan. Anggap semua ini tidak pernah terjadi. Aku semalam mabuk, dan kita ...." Bianca semakin keras menggigit bibir dalamnya, mengutuk diri sendiri yang kembali terjatuh di lumpur yang sama. Bodoh! "Ini cuma kesalahan. Jadi lupakan saja, Nathan dan sebaiknya kamu kembali ke Jakarta." Bianca tak menunggu reaksi Nathan atas perkataannya. Ia buru-buru memunguti pakaiannya yang berceceran di lantai, lalu bersiap untuk melangkah pergi. Namun, suara rapuh Nathan berhasil menghentikan langkahnya. "Apa mencintaimu sebuah kesalahan?" Bianca terdiam membisu. Ia tak tahu harus merespon seperti apa kata-kata yang Nathan ucapkan barusan. Bahkan mendengarnya saja membuat Bianca terpaku, jantungnya seakan ikut berhenti untuk sesaat. Sebelum kembali berdebar lebih cepat dari sebelumnya. "Jawab Bi, apakah mencintaimu adalah sebuah kesalahan?" Nathan beranjak dari ranjang, berjalan mendekati Bianca yang masih berdiri di tempatnya. "Apa semua yang kamu katakan semalam itu semua hanya sebuah kebohongan? Atau malah kejujuran yang tidak mau kamu akui?" Ucapan Nathan menyentil perasaan Bianca, membawanya pada ingatan semalam. Di mana ia pikir sosok Nathan yang menemuinya di tepi pantai adalah sebuah ilusi dan dengan bodohnya ia membiarkan dirinya larut di dalamnya. "Aku mencintaimu, Bi." Nathan mengusap lembut pipi Bianca, lalu meraih bibirnya. Untuk sesaat Bianca larut dalam ciuman yang memabukkan itu. Berpikir jika semua yang terjadi hanyalah mimpi dan ia enggan mimpi ini berakhir. Namun, kewarasan memukulnya, memaksanya sadar dan berhenti larut dalam kesalahan besar itu. Spontan Bianca mendorong Nathan, menarik diri dan menciptakan jarak dari sosok Nathan yang tampak semu di matanya. "Pergi! Jangan ganggu aku lagi!" "Bi." Nathan kembali meraih tangan Bianca. "Ini aku, Nathan. Aku telah mencarimu ke mana-mana dan akhirnya sekarang aku menemukanmu." Nathan merengkuh tubuh Bianca, memeluknya erat. Setelah itu melepaskan dan beralih menangkup wajahnya. "Aku mencintaimu, Bi. Sungguh. Jadi jangan suruh aku pergi. Karena aku jauh-jauh ke sini untuk menemuimu, cintaku yang telah lama aku cari." "Benarkah?" Seakan terhipnotis oleh ucapan Nathan, Bianca tak lagi memberontak dan membiarkan lelaki itu membelai lembut wajahnya. Nathan mengangguk. "Aku sangat mencintaimu, Bianca. Maukah kau menikah denganku?" Bianca tersenyum manis. "Aku juga mencintaimu, Nathan. Aku sangat mencintaimu. Aku telah menunggu lama momen ini, aku mau menjadi istrimu." Lalu Bianca mencium Nathan lebih dulu. Sepertinya pengaruh minuman laknat yang ia tenggak tadi membuatnya jadi bertingkah semaunya tanpa sadar. Namun, Bianca begitu menikmatinya, seakan tanpa beban dan sepertinya memang ia melakukannya dengan tulus atas dari hatinya sendiri. Bianca memejamkan mata, mengutuk kebodohannya saat mengingat apa yang telah ia lakukan semalam. Ia mencium Nathan dan melakukan kesalahan terbesar untuk kesekian kali. Seolah dirinya tidak belajar dari pengalaman dan kembali terjerumus di lubang yang sama. Benar-benar Bianca yang bodoh. "Jawab, Bi. Kenapa kamu diam saja?" Nathan masih menunggu jawaban Bianca, berhenti persis di belakang wanita itu. "Bi." Tangannya terulur menyentuh bahu Bianca dan menariknya agar menghadap dirinya. "Bagiku ini bukan kesalahan," ucap Nathan, menatap lekat wajah Bianca. "Aku mencintaimu Bi dan aku akan bertanggung jawab———" Bianca lagi-lagi mendorong kasar Nathan, sampai lelaki itu terlonjak mundur beberapa langkah dari hadapannya. Wajah Nathan terlihat pucat, tak menyangka akan mendapatkan perlakuan seperti ini dari Bianca. "Bagimu mungkin ini bukan kesalahan Nathan. Tapi bagiku ini kesalahan terbesar!" ucap Bianca dengan lantang. "Apa sebenarnya yang kamu mau dari wanita seperti aku, Nathan?" Mata Bianca berkaca-kaca, tak kuasa menahan air mata yang bertumpuk di pelupuk mata. Dadanya terasa sakit, jika mengingat fakta bahwa Nathan merupakan tunangan wanita lain. "Apa Nathan, apa yang kamu inginkan? Tubuhku? Kamu telah mendapatkannya. Jadi sekarang kamu bisa pergi, karena tidak ada lagi yang bisa kamu ambil dariku." Nathan diam, bibirnya terkunci rapat tapi matanya tak sedetik pun berpindah dari wajah Bianca. Tatapannya begitu dalam, seakan mencari-cari sesuatu dari sorot mata Bianca. Sesuatu yang terus disangkal oleh wanita itu dan Nathan mendapatkannya. Tatapan penuh cinta untuknya masih ada dari sorot mata Bianca. "Pergilah dan jangan temui aku lagi. Anggap saja kita tak pernah kenal." Bianca berbalik, siap melangkah pergi. Tapi ucapan Nathan kembali mengurungkan niatnya. "Yang aku inginkan hatimu. Aku ingin hatimu, Bianca. Bersediakah kamu memberikannya?" 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD