Menghilang

2081 Words
"Maaf Nathan, tapi aku tidak bisa." Bianca menengadah, mengusap pipinya yang basah dibanjiri air mata. Ia tidak tahan lagi, merasakan dadanya terkoyak seperti dicincang kasar, ketika harus memberikan jawaban yang bertentangan dengan perasaannya. Bohong kalau Bianca tidak mendambakan Nathan. Bohong kalau ia tidak senang mendengar penuturan manis laki-laki itu, apalagi dengan tawaran menggiurkan yang menjanjikan kisah cinta manis dan bahagia. Namun, kenyataan menamparnya sangat keras, memaksa ia sadar dan melupakan khayalannya. Bagaimanapun bunga bangkai tak seharusnya ada di dalam istana bunga, apalagi disandingkan dengan dengan seorang pangeran. "Tapi Bi———" Nathan tercekat ketika ia hendak meraih bahu Bianca, wanita itu justru berlari begitu saja meninggalkan dirinya tanpa mengucapkan apa pun. "Bi, jangan pergi!" Nathan yang berniat ingin mengejar, langsung tersadar akan kondisinya. Ia tidak mungkin keluar dari sini hanya mengenakan bokser ketat dan membiarkan dadanya terumbar. Meski yang Bianca lakukan seperti itu, berlari keluar dari kamar dengan hanya membawa selimut yang menggulung tubuh polosnya. "Shit!" Nathan mengumpat, waktunya terbuang untuk mencari satu per satu pakaiannya yang tercecer di sembarang tempat. Meski ia sudah mengerahkan seluruh tenaga untuk mempercepat gerakannya, tapi pada akhirnya ia kehilangan jejak Bianca lagi. Wanita itu sudah menghilang entah ke mana saat Nathan keluar dari kamar. Nathan mengedarkan pandangannya, menatap ke seluruh penjuru. Tapi tetap saja tanda-tanda keberadaan Bianca tidak ada di sekitar. Seolah Bianca benar-benar menghilang terbawa oleh angin pantai yang berembus kencang, dinginnya menusuk sampai tulang. "Kamu ke mana, Bi?" Nathan menelusuri pantai, mencari Bianca ke sana sini. Ia tidak akan menyerah, bagaimanapun caranya ia tidak boleh kehilangan jejak Bianca lagi. "Aku nggak bakal nyerah Bi, kali ini aku akan memperjuangkan kamu." Tekad Nathan sudah bulat, pilihan hatinya sudah jatuh pada Bianca. Sementara Bianca berlarian menuju ke bangunan bungalow yang berada di dekat pantai, cukup jauh dari kamarnya. Ia nekat berlarian hanya mengenakan selimut yang menggulung tubuh polosnya. Beruntung para pekerja belum mulai beraktivitas, sehingga tak ada seorang pun yang menyaksikan kebodohannya. Napas Bianca tersenggal-senggal saat langkah kakinya berhenti di depan sebuah bungalow. Satu-satunya bungalow yang sudah dibangun di sekitar sini, sementara yang lainnya masih proses pembangunan. Bianca menelan ludah, mengatur napasnya yang menggebu-gebu, sembari menatap ragu pada pintu di depannya. Tangannya mulai terangkat, tapi keraguan membuatnya kembali urung mengetuk pintu tersebut. Ia tampak gelisah, mengigit bibir bawahnya dan melirik ke sekitar. Takut jika ada orang yang memergokinya. Bianca memejamkan mata. Ia tidak bisa kembali ke kamarnya, karena ada Nathan di sana. Tapi datang ke sini dengan kondisi yang seperti ini pula juga bukan pilihan yang tepat, jika ada yang melihat maka bisa menyebabkan rumor dan skandal besar. Ia tidak mau merugikan orang lain. Namun, Bianca tidak tahu harus ke mana selain mendatangi Adam. Laki-laki yang akhir-akhir ini mengisi hari-harinya yang kosong dan penuh kesemuan. Bianca memejamkan mata, bersiap untuk mengetuk pintu di depannya. Namun belum sampai ia mengetuk, pintu tersebut lebih dulu terbuka dan seseorang yang muncul di depannya seketika terkejut. "Bianca?" Adam yang berniat keluar untuk mencari udara segar, justru dikejutkan dengan kehadiran Bianca di depan pintu kamarnya. Matanya seketika melebar, saat melihat penampilan Bianca yang acak-acakan, ditambah selimut tebal yang menggulung tubuh mulus wanita itu begitu mengganggu pandangan matanya. "Adam, aku———" Sebelum ada yang melihat Bianca dalam kondisi seperti sekarang, Adam segera menarik masuk wanita itu. "Masuk dulu." Bianca tak mengelak, membiarkan Adam menariknya masuk ke dalam kamar. Laki-laki itu langsung menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Ia juga bergegas ke jendela, menutup jendela dan tirai-tirainya. Setelah itu kembali ke hadapan Bianca yang berdiri kaku di dekat sofa panjang. Jujur Bianca sangat risih ditatap seintens itu oleh Adam. Tapi ia berusaha tetap tenang, bagaimana pun ini salahnya. Tidak seharusnya ia datang pagi-pagi ke kamar Adam dalam kondisi telanjang dan hanya membawa selimut yang membungkus tubuh polosnya. Wajar jika Adam terkejut, bahkan mungkin sangat syok dan pastinya banyak pertanyaan yang muncul dalam pikiran laki-laki itu. Pastinya pikiran negatif tentang dirinya. "Adam, aku———" "Kamu bisa gunakan kamar mandiku, aku akan membawakanmu handuk dan pakaian ganti. Baru setelah itu kita bicara," ucap Adam, lebih dulu menyela ucapan Bianca. Bianca memberanikan diri menatap Adam. Tatapan laki-laki itu sudah berubah, tak seintens tadi. Tatapannya jadi sendu, seolah memaklumi kondisinya tanpa berniat menghakimi. Tidak salah jika Sandra maupun Gita sering memuji Adam, bahkan juga menjodoh-jodohkan dirinya dengan laki-laki itu. Seperti penilaian Sandra dan Gita, Bianca juga menilai kalau Adam laki-laki yang baik. Buktinya ia tidak langsung mencecar dirinya dengan berbagai pertanyaan, tapi malah memberikannya waktu untuk memperbaiki penampilannya yang bisa dibilang ... sangat kacau. "Di dalam juga ada sabun dan sikat gigi baru. Kamu bisa gunakan itu," tambah Adam. Bianca mengangguk, kemudian menyeret kakinya menuju kamar mandi yang dimaksud. Sebelum menarik gagang pintu, Bianca tiba-tiba berbalik dan memanggil Adam. "Adam." Sontak Adam yang dipanggil pun menoleh. Keduanya saling beradu pandang untuk sepersekian detik. Hingga seulas senyum menawan milik Bianca menyadarkan Adam dari lamunan semu. Ia berusaha menormalkan ekspresinya, tetap memasang wajah datar seperti biasa. "Ya?" "Terima kasih," ucap Bianca, tulus. Setelah itu bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Adam tertegun, terpaku di tempat. Ucapan terima kasih dan juga senyuman tulus yang Bianca tunjukkan barusan seperti menyihirnya, menciptakan gejolak luar biasa dalam hati. Tanpa sadar Adam tersenyum tipis, memandangi pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Sementara Bianca langsung merosotkan tubuhnya, bersandar pada pintu dan menangkup wajahnya yang berderai air mata. Sedari tadi ia berusaha keras menahan diri agar tidak meneteskan setetes saja air mata di depan Adam, tapi selepas pintu tertutup pertahanan dirinya seketika roboh. Bianca menangis dalam diam, meratapi nasib percintaannya yang begitu pedih. Di saat Bianca tengah meratapi kepedihannya, tiba-tiba saja ketukan pintu memaksa ia mengakhiri tangisan pilunya. Bianca buru-buru menyeka kedua pipi dan juga sudut-sudut matanya, beranjak ke wastafel dan membasuh wajahnya dengan air. Ia berusaha menutupi bekas tangisannya, tak ingin Adam mengetahui kalau dirinya tengah menangis. "Bi," panggil Adam dari luar. "I-iya Dam, sebentar." Bianca buru-buru menyeka wajahnya, memastikan matanya tidak begitu terlihat sembab. Ia menarik napas kuat-kuat, mengembuskannya dengan kasar. Bianca berusaha tegar, meski saat ini hatinya sangat ambyar. "Ada apa Dam?" Bianca menyembulkan wajahnya dari balik pintu yang sengaja ia buka sedikit. Adam dengan sopan memalingkan wajah, berusaha menghormati Bianca. "Ini." Ia menyodorkan handuk dan juga hodie bewarna navy, celana training, juga ada dalaman wanita yang terlipat rapi di atasnya. Alih-alih langsung mengambilnya, Bianca malah memandangi sejenak, sebelum beralih menatap Adam. Laki-laki itu sepertinya sadar, buktinya langsung menjelaskan supaya Bianca tidak berpikir yang macam-macam. "Jangan salah paham. Kebetulan ada pekerja wanita di sini, jadi aku meminta dia untuk meminjamkan dalamannya. Tapi kamu tenang saja, ini baru. Dan untuk hodie sama celananya, itu punyaku. Kamu bisa memakainya sementara." Adam menggaruk kepalanya yang tidak gatal, menyadari apa yang salah. "Maaf, harusnya aku sekalian meminjamkanmu pakaian wanita. Tapi tadi aku buru-buru dan nggak ingat sama sekali———" "Tidak apa-apa Dam," potong Bianca. "Ini sudah lebih dari cukup, sekali lagi terima kasih. Kamu menyelamatkanku kali ini." "Ya?" Adam tak mengerti maksud ucapan terakhir Bianca. Tapi Bianca juga enggan menjelaskan. Tak ingin terjebak dalam kecanggungan yang menenggelamkannya perlahan, Adam pun mengakhiri obrolan singkat itu. "Kalau begitu kamu bisa bersih-bersih sekarang. Aku akan siapkan sarapan, kamu belum sarapan 'kan?" Bianca menggeleng. "Bagus, kita bisa sarapan di dekat pantai, cuacanya lagi bagus." Adam tersenyum lebar, antusias sekali. Tapi Bianca langsung menolaknya. "Dam, sarapan di dalam aja gimana? Aku kayaknya mau demam. Udara di luar juga dingin." Bianca meringis, merasakan alibinya yang tidak masuk akal. Tapi ia tidak peduli, yang penting ia aman dari Nathan yang kemungkinan masih mencarinya. "Kamu sakit?" Adam langsung bergerak maju menempelkan punggung tangannya pada kening Bianca. Wanita itu terkejut, refleks menjauhkan diri. "Maaf." Adam merasa canggung karena telah lancang menyentuh Bianca. "Kalau begitu akan aku buatkan teh hangat. Sebaiknya kamu mandi pakai air hangat, atau kalau perlu tidak usah mandi saja. Takutnya makin parah." Setelah mengatakan itu Adam bergegas undur diri dari hadapan Bianca. Ia tidak mau semakin tenggelam dalam kecanggungan dan suasana tidak nyaman. Apalagi setelah mendapat reaksi seperti itu dari Bianca. Bianca memandangi punggung Adam yang berlalu dari hadapannya, tersenyum getir. Lalu berucap lirih."Maafin aku Dam." ————— Setelah hampir satu jam mengurung diri di kamar mandi. Akhirnya Bianca memutuskan keluar, menyudahi kesedihannya dan kembali tegar seperti sebelumnya. Saat pintu kamar mandi terbuka, tatapan Bianca langsung jatuh pada Adam yang sedang duduk manis di atas sofa, menunggunya dengan hidangan makanan memenuhi meja. Bianca jadi merasa tidak enak pada Adam. Ia terlalu banyak merepotkan laki-laki itu, sampai membuatnya menunggu begitu lama. Bianca pun menghampirinya, berhenti di samping sofa saat tatapan mereka saling beradu. "Maaf, aku membuatmu menunggu terlalu lama," ucap Bianca, merasa tidak enak hati. Terlebih ketika Adam justru memberikan senyuman ramah seperti biasa. "It's okay," Adam menggeser tubuhnya, "duduklah." Menepuk-nepuk sofa empuk itu agar Bianca duduk di sampingnya. Di ruangan ini memang hanya ada sofa panjang dengan meja lonjong di depannya, serta tempat tidur dan lemari kecil yang terdapat di sudut ruangan. Cukup simpel, tapi terasa nyaman karena didesain secara elegan dan tampak estetik dengan berbagai furnitur yang memiliki desain unik. "Ini. Aku buatkan sup ayam. Mamaku sering membuatkan aku sup ayam kalau aku demam," ucap Adam seraya mengambilkan sup ayam ke dalam mangkuk kecil dan meletakkannya di hadapan Bianca. "Tapi maaf kalau rasanya kurang, maklum masih tahap belajar." Adam terkekeh. "Kamu membuatnya sendiri?" respon Bianca, menatap Adam dengan tatapan kagum. Benar-benar laki-laki yang sempurna, pikirnya. Sungguh beruntung wanita yang akan menjadi istrinya kelak. Adam menjawabnya dengan anggukkan kepala. "Iya, soalnya bagian konsumsi juga lagi sibuk masak buat sarapan para pekerja lainnya. Jadi aku nggak mau mengganggu mereka, toh aku bisa masak sendiri. Kalau yang lainnya sih, aku ambil dari masakan mereka," terang Adam, memberitahu asal-usul masakan lain yang terhidang di atas meja. "Makasih ya, Dam. Maaf aku jadi merepotkanmu," kata Bianca. "Berhenti minta maaf, cepetan makan. Nanti demammu makin parah. Aku juga udah siapkan obat demam, kebetulan aku sering menyetok obat-obatan buat berjaga-jaga." Adam begitu perhatian pada Bianca, tapi hal tersebut justru membuat Bianca merasa tidak nyaman. Bianca bukannya tidak peka atau tidak tahu maksud dari bentuk perhatian Adam selama ini. Ia tahu betul, hanya saja berpura-pura tidak tahu. Bianca tidak ingin membuat Adam merasa kecewa pada akhirnya, apalagi sampai sakit hati jika mengetahui perasaannya bertepuk sebelah tangan. Karena cinta Bianca sudah terlanjur terikat mati pada Nathan, rasanya terlalu sulit untuk melepaskan, walau takdir memaksanya untuk lepas dan tinggalkan. "Bi." Panggilan Adam membuyarkan lamunan Bianca. "Ya?" Bianca seketika menoleh padanya. "Are you okay?" tanya Adam, khawatir. Pasalnya sejak tadi Bianca tampak murung dan terlihat tidak selera makan. Sup yang seharusnya sudah habis saja masih terlihat utuh, padahal Adam tidak terlalu banyak mengambilkannya. Tapi nampaknya hanya dicicip saja oleh Bianca. "Kenapa? Supnya nggak enak ya? Keasinan atau rasanya aneh? Kalau gitu jangan dimakan, kamu makan yang lainnya aja———" Adam berniat mengambil alih mangkuk sup Bianca, tapi dengan cepat Bianca mencegahnya. "Enggak kok. Supnya enak, cuma emang aku aja yang lagi nggak berselera makan," ujar Bianca, mengambil kembali mangkuk sup tersebut. "Aku akan memakannya, kamu sudah capek-capek membuatnya. Lagipula ini enak, sayang juga kalau nggak dimakan." Bianca langsung melahap sup ayam tersebut, tampak terburu-buru. Adam yang melihat pun segera mengambil alih lagi mangkuk itu. "Kalau enggak lapar jangan dipaksakan, nggak baik juga buat pencernaan kamu kalau makan terburu-buru begitu." Bianca tertegun, memandangi Adam yang kini menatap dirinya setelah mengambil mangkuk sup darinya dan meletakkannya ke atas meja. Bianca hanya diam, tak tahu harus merespon bagaimana. Kepalanya terlalu pusing, memikirkan banyak hal yang membuat otaknya terbebani. Terutama kejadian pagi ini yang terus terbayang-bayang dalam memori otaknya. Senyum bahagia Nathan saat pertama kali melihatnya. Senyuman lembut serta sentuhan-sentuhan lembut lainnya yang sukses membuat ia melambung tinggi ke angan-angan tanpa batas. Dan juga senyum kekecewaan saat penolakan ia berikan. Hati Bianca semakin sakit, seperti ditusuk ribuan duri acap kali teringat bagaimana ekspresi putus asa yang Nathan tunjukkan. Bagaimana laki-laki itu begitu memohon agar dirinya tidak pergi, rasanya ia begitu jahat karena telah membuat Nathan yang baik jadi seterpuruk itu. Namun, kenyataanlah yang memaksa Bianca bertindak sejauh ini. Kenyataan pahit yang meminta dirinya untuk sadar diri akan posisinya. Ditambah fakta bahwa Nathan tercipta bukan untuk dirinya, tapi untuk wanita lain yang sekarang bersanding dengan laki-laki itu sebagai tunangan. "Aku enggak tahu apa yang terjadi sama kamu, Bi. Tapi kalau kamu butuh bantuan aku, aku siap untuk membantumu." Penuturan Adam menarik kembali Bianca pada kenyataan. Bianca menelan ludah, menatap lekat laki-laki yang kini duduk menghadap dirinya. Tatapan matanya memancarkan keseriusan, ekspresinya menawarkan pertolongan dan Bianca menerimanya dengan mudah. "Benarkah? Kalau begitu bantu aku menghilang dari dunia ini," pinta Bianca, serius.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD