Raka merenggangkan ototnya yang terasa pegal, ketika sedari tadi dirinya tidak lepas dari kursi kebesarannya dan meja kerjanya.
Dering ponsel kembali terdengar dan Raka mulai berniat membalasnya, karena kerjaan yang cukup menumpuk Raka jadi tidak sempat membalas pesan Shinta.
Namun suara derit pintu yang di buka tanpa ketukan sopan menjadi fokus Raka sekarang. Mulutnya sudah siap memarahi orang yang sangat tidak sopan itu, namun bibir Raka malah mengatup rapat melihat senyuman cantik di depannya.
"Bagaimana kau bisa kesini?" tanya Raka dan yang di tanya malah terkekeh geli.
"Aku menaiki kendaraan."
"Kenapa tidak memberitahuku dulu."
Wanita itu tersenyum lagi dan mulai duduk di pangkuan Raka dengan nyaman.
"Aku merindukanmu."
Tubuh Raka menegang tetapi bisa tertutupi dengan tawa mengejek di bibir Raka membuat wanita itu lagsung berenggut dan memeluk leher Raka dengan mesra.
"Kau menyebalkan!"
Raka kembali terkekeh. Lebih tepatnya tertawa menghina. "Bagaimana kau bisa merindukanku bahkan semalam kita sudah bertemu."
"Entahlah aku masih merindukanmu memingat kau meninggalkan aku begitu saja semalam."
"Calista, mengerti lah. Ibuku menyuruhku pulang."
Wanita yang di panggil Calista itu berenggut kembali. "Kau pulang begitu saja tanpa melakukan hubungan seks, kau bukan laki-laki sekali."
"Aku tidak suka melakukan hubungan badan dengan w************n. Dan aku juga tidak suka dengan wanita agresif yang menyerupai seorang jalang."
Raka berbicara tanpa rasa bersalah. Untuk apa? Toh dia sudah mengetahui fakta sesungguhnya tentang wanita yang berkedok cantik ini, wanita ini p*****r.
Raka sudah mengetahui ini dari beberapa hari lalu, ia mencoba mencari tahu tentang Calista karena dulu dia tidak berani.
Melihat fotonya saja hampir membuat Raka terbakar dengan amarah yang meluap, merasa masih mencintai Calista dan tidak sanggup untuk mencari tahu lagi apa yang sedang di kerjakan wanita itu.
Dan sekarang berbeda, entah mengapa dengan melihat tingkah laku Calista kini sangat berbanding terbalik dengan tingkahnya yang dulu, hingga Raka mulai penasaran.
Lalu mencoba mencari tahu apa yang tidak dirinya ketahui. Dan Raka menemukan fakta mencengangkan. Di tambah dengan perlakuan Calista semalam yang berlaku seperti wanita jalang, untung saja Raka tidak terbuai atau tergoda sedikitpun. Mungkin Raka sudah tahu, tubuh Calista akan longgar dan tidak nikmat di pakai.
Raka ingin sekali tertawa geli mengingat ketika usianya masih muda. Dirinya begitu menjaga keperawanan Calista untuk bisa di miliki di ikatan suci pernikahan karena ia tidak mau menyakiti wanita yang ia cintai. Namun kenyataannya semua itu untuk apa, ketika wanita itu saja malah mengobral murah untuk menjadi jalan dirinya memasuki pemotretan kelas hollywood.
Raka memang bodoh! Dan Raka mencoba mengganti kebodohannya dengan akal kepintaran, sedikit menyakiti wanita itu mungkin dan sakit hatinya akan terbayarkan. Raka sudah di tinggalkan dulu, dan biarkan Raka membalas dengan meninggalkan yang lebih keji.
Raka terlalu bodoh untuk bisa membedakan Rasa yang selalu menggerogotinya dari masa lalu. Ini bukan cinta, tetapi ini obsesi atas rasa kesakitannya. Bukan ingin memiliki tetapi lebih kepada ingin menyakiti.
Sentuhan Calista sedikit menyadarkan Raka dari alam bawah sadarnya, mengecupi leher Raka dengan sensual. Raka tidak berniat menghentikan bahkan saat Calista mulai mencium bibirnya. Walau dalam hati Raka sangat ingin muntah, tetapi untuk melancarkan aksinya ia harus berpura-pura tetap menikmati bukan.
Lalu selanjutnya wanita ini akan meraung-raung menyedihkan di bawah telapak kakinya. Dan Raka akan tertawa puas bersama iblis di dalam neraka.
Namun tanpa di ketahui Raka, rencana itu malah akan membuat kisahnya dengan Shinta hancur berkeping-keping.
***
Langit sudah kelam dan Raka buru-buru mematikan mesin mobilnya dan bergegas masuk ke dalam rumah, udara cukup dingin dan Raka tidak ada nyali untuk bertahan di luar rumah lebih lama.
Segera masuk, lalu keningnya mengernyit ketika tidak ada tubuh mungil yang menyambutnya atapun gadis mungil yang meringkuk di atas sofa. Semuanya terlihat gelap. Mungkin Shinta sudah tidur.
Raka mulai melangkah kembali, dan tujuannya bukan arah tangga, namun kamar yang ada di sisi kiri tangga, kamar Shinta.
Raka mulai masuk setelah bersyukur Shinta tidak mengunci pintunya, mungkin kekasihnya lupa. Dan mulai menemukan tubuh Shinta yang meringkuk.
Raka duduk di sisi ranjang yang cukup luas, mengelus surai hitam itu dengan pelan. Suara hati Raka merintih meminta Shinta untuk bertahan setidaknya sebentar lagi dan ia akan fokus memulai hidup yang baru bersamanya.
"Jangan pura-pura tidur, aku tau kau belum tidur."
Terlihat tubuh Shinta yang menegang dan mulai berbalik menatap Raka.
"Ku kira kau tidak akan tau," ucapnya serak. Tunggu? Suara kekasihnya serak, dan terlihat hidung dan mata Shinta memerah.
"Ada apa? Kau sakit?" tanya Raka dengan raut cemas.
Iya! Hatiku yang sakit. "Tidak. Hanya kena flu biasa."
Raka menatap Shinta dengan masih raut wajah cemas, ada yang di sembunyikan pacarnya. Tetapi Raka tidak cukup mampu bertanya.
"Besok kita ke dokter."
Raka mulai ikut berbaring dan memeluk Shinta bersama kecupan di pucuk kepala Shinta. "Tidurlah aku akan menemanimu sampai kau tertidur."
Shinta tidak menjawab atau membalas pelukan Raka, hatinya terlalu sakit dan hanya bisa meneteskan air mata tanpa di ketahui Raka.
Butuh beberapa menit untuk mendengar napas Shinta yang mulai teratur dengan suara dengkuran halus yang menandakan bahwa wanita itu sudah tertidur pulas.
Raka menaiki selimut Shinta sampai leher, dan mulai mengecup kening Shinta dengan lembut. Lalu mulai beranjak untuk pergi kekamarnya sendiri, hanya saja dering ponsel Shinta menggangunya.
Mulai melangkah mengambil ponsel Shinta dan membuka pesan yang masuk.
*Bisakah besok kita bertemu?*
Raka terdiam dengan hati yang mulai terbakar, menghapus pesan itu langsung dengan amarah yang siap meledak. Mungkin kalau ponsel itu bukan pemberian Raka yang mahal dan tahan banting ponsel itu akan remuk di genggaman Raka sekaligus.
Raka menyimpan posel Shinta dengan kasar di ranjang, menatap Shinta yang masih tertidur lelap.
"Kau milikku."