The Wo(Man) – 02

1580 Words
Adzan shubuh baru saja terdengar berkumandang. Tetapi Ayu sudah beraktivitas sejak pukul 03.00 dini hari tadi. Dia sudah selesai mencuci piring, menyapu rumah dan juga memasak nasi untuk keluarga pamannya. Ya, Ayu memang bertanggung jawab untuk itu semua. Bahkan terkadang dia juga harus membantu sang bude untuk mencuci baju keponakannya. Semua aktivitas itu berlangsung setiap hari. Melelahkan memang, tetapi Ayu sudah terbiasa mengerjakan itu semua.  Saat ini Ayu sedang memanaskan masakan kemarin untuk sarapan para keponakannya sebelum berangkat sekolah. Sesekali dia menguap lebar menahan kantuk. Wajar saja, Ayu belum tidur sedikit pun. Dia hanya duduk bermenung hingga pukul 03.00 dini hari dan akhirnya memutuskan untuk melakukan pekerjaannya. Setelah semuanya selesai, Ayu pun beranjak kembali ke kamarnya. Tatapannya beralih ke langit-langit yang sudah berhenti meneteskan air. “Aaah ... waktunya untuk aku beristirahat,” bisik Ayu lirih. Dia kembali menggelar kasurnya dan berbaring di sana. Tak butuh waktu lama bagi Ayu untuk bisa terlelap. Lama kelamaan suara helaan napasnya semakin terdengar pelan seiring dengan kelopak matanya yang tertutup rapat. “Yu...! bangun, Yu!” Sang Bude tiba-tiba datang tergopoh-gopoh dan langsung membangunkan Ayu dengan mengguncang-guncangkan tubuhnya.  Deg. Ayu terbangun dengan detak jantung yang berpacu kuat. Padahal dia baru saja terlelap beberapa menit saja. “A-ada apa, Bude?” tanya Ayu dengan badan menggigil karena terkejut. “Kamu harus segera siap-siap. Pagi ini Pak Anwar dan keluarganya akan datang ke sini!” “A-apa?” mata Ayu langsung terbuka sempurna.” “Pokoknya Bude tunggu kamu di luar, ya! kamu harus segera mandi dan bersiap-siap. Karena sebentar lagi mereka pasti akan datang.” “T-tapi....” Suara Ayu pun melemah karena sang bude sudah bergegas kembali keluar dari kamarnya. Ayu menyapu wajahnya dengan telapak tangan. Helaan napasnya kini terdengar sesak. Jemarinya bahkan masih bergetar karena terkejut. Cukup lama Ayu terdiam seraya menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Kepalanya kini terasa pusing. Ruangan itu bagai berputar terasa olehnya. “Ayo cepetan, Yu!” sang bude lagi-lagi muncul dan menghardiknya. “Iya, Bude! Aku segera bersiap-siap,” jawab Ayu kemudian. Ayu akhirnya terpaksa bangun dan bergegas ke kamar mandi. Dia hanya mencuci muka dan menggosok giginya saja. Suhu tubuhnya saat ini tidak memungkinkan dia untuk mandi dengan air dingin karena Ayu belum tidur sedikitpun juga. Setelah selesai membersihkan wajah, dia pun beranjak ke kamar untuk berganti pakaian. “Kamu sudah memikirkannya kan, Yu? Semua akan baik-baik saja, kok. Mungkin sekarang kamu merasa kesal dan marah kepada Paman, tapi percayalah ... kamu akan berterima kasih pada Paman nantinya.” Sang paman langsung bersuara saat Ayu duduk di sofa. Ayu memaksakan bibirnya untuk tersenyum. Kepalanya masih saja terasa pusing. Dia benar-benar tidak punya tenaga bahkan untuk sekedar berkata-kata. Tatapan Ayu pun beralih pada paman dan budenya yang hari ini tampil sangat rapi. Biasanya sang paman hanya mengenakan baju kaos dan sarung saat di rumah. Sang bude biasanya hanya mengenakan daster yang berbeda warna setiap harinya. Namun hari ini mereka tampak rapi dan bersih sekali. Sang paman mengenakan baju kemeja cokelat yang dipadukan dengan celana dasar. Sementara sang bude tampak anggun dalam balutan baju kebaya warna kuning yang dipadankan dengan rok songket berwarna cokelat tua.  Sepertinya mereka berdua lebih bersemangat menyambut hari ini daripada Ayu sendiri. “T-tapi kenapa semua ini terlalu cepat, Bude?” tanya Ayu. Sang bude tersenyum. “Ya, ndak apa-apa toh. Niat baik itu memang harus disegerakan.” Ayu menatap getir. Mereka padahal baru membicarakannya tadi malam dan sekarang paginya pak Anwar sudah akan datang ke rumah? Menggelikan. Semua ini benar-benar membuat Ayu menjadi bingung. Apa mereka sudah merencanakan semua ini sejak jauh-jauh hari sebelumnya? Jarum jam menunjukkan pukul 09.00 pagi saat sebuah mobil kijang inova berhenti di depan halaman rumah. Ayu yang sudah duduk bersama paman dan budenya langsung berdiri ketika Pak Anwar masuk bersama anaknya, Anto. Pak Anwar adalah seorang duda dan juga pemilik perkebunan sawit tempat paman Ayu biasanya bekerja. Pak Anwar hanya mempunyai seorang putra yang sebelumnya lama menetap di Banjarmasin.   Sang paman dan bude langsung menyambut kedatangan pak Anwar dengan berbasa-basi sebentar. Di belakangnya terlihat seorang lelaki berkulit sawo matang yang juga tak henti mengulum senyum. Dia adalah Anto putra pak Anwar. Perawakannya sedikit berisi dengan perut yang terlihat membuncit. Selain itu Anto juga mempunyai rambut keriting yang dibiarkan panjang hingga menyentuh daun telinganya. Ayu menelan ludah. Sebelumnya dia memang sudah pernah bertemu Anto saat sang paman masih bekerja di kebun sawit. Mereka kerap bertemu saat Ayu datang untuk mengantarkan bekal makanan milik pamannya itu. Menurut sepengetahuan Ayu, Anto adalah seorang pria yang slengek-an dan juga terkesan kekanak-kanakan. Sebelumnya Anto emmang selalu berusaha mendekati Ayu, namun Ayu tidak pernah menghiraukannya.  “Ayo masuk, Pak!” paman Ayu menyapa ramah. “Kamu juga Anto... wah semakin hari kamu semakin gagah saja.” Bude ikut mengambil perhatian. Pak Anwar dan Anto pun akhirnya duduk bersama mereka semua. Sang bude kini sibuk menyuguhkan minuman dan juga sedikit cemilan yang sudah dipersiapkan. Sang paman dan Pak Anwar asyik mengobrol tentang perkebunan sawit. Sedangkan Anto kini tampak mencuri-curi pandang menatap Ayu. Deg. Ayu merasa risih saat menyadari Anto menatapnya seperti itu. Bagi Ayu tatapan itu terlihat janggal dan mengerikan. Sosok Anto memang mempunyai image yang cukup buruk. Terakhir kali dia bahkan ketahuan mengintip para gadis yang mandi di sungai. Kelakuan anak tunggal pak Anwar itu memang sedikit tidak normal. Tapi warga sekitar tidak ada yang berani menegurnya karena rata-rata mereka semua menggantungkan hidup dengan menjadi pekerja di perkebunan milik pak Anwar. Obrolan itu pun terus berlanjut, tapi Ayu sama sekali tidak menyimak percakapan itu. Badannya kini terasa panas dingin karena belum beristirahat sedikitpun. Hingga kemudian paman dan pak Anwar mulai membahas mengenai rencana perjodohan Ayu dan Anto. Sang paman dan bude terlihat sangat antusias. “Ayu sendiri siap, kok, Pak Anwar! Dia bahkan merasa bahagia saat mengetahui keinginan Anto yang ingin meminangnya,” ucap sang paman. “Hahahaha ... benarkah itu, Ayu?” pak Anwar beralih menatap Ayu. Ayu meneguk ludah. Dia beralih paman yang kini langsung menganggukkan kepalanya seolah menyuruh Ayu untuk segera mengiyakan pernyataan itu. “I-iya, Pak.” akhirnya Ayu menjawab lirih. “Anak saya Anto sepertinya memang sudah lama tertarik kepada Ayu.” Pak anwar mengusap bahu anaknya itu perlahan. Anto tersenyum malu, lalu kembali menatap Ayu dengan tatapan yang terlihat menjijikkan. Seolah dia benar-benar ingin melahap Ayu sekarang juga. Pembicaraan yang menjemukan itu terus berlanjut, tapi Ayu merasa semakin lemas. Wajahnya kini sudah terlihat berubah pucat. Pak Anwar yang menyadari itu pun kini menatap heran. “Kamu baik-baik saja kan, Yu?” “A-aku merasa sedikit pusing,” jawab Ayu. Pak Anwar menatap khawatir. “Kalau begitu kamu beristirahat saja. Pembicaraan kita hari ini hanya perkenalan biasa saja kok. Yang penting niatan Anto sudah saya sampaikan dan jawaban kamu pun juga sudah didapatkan.” Ayu tersenyum lemah. Dia beralih menatap paman dan budenya. Sang bude yang duduk di samping Ayu menempelkan punggung telapak tangannya di kening Ayu. “Badan kamu memang panas, Yu! Sebaiknya kamu istirahat ke kamar.” Ayu mengangguk cepat. Dia benar-benar sudah tidak tahan lagi. Ayu perlahan bangun dan beranjak memasuki kamarnya. Namun sepertinya sang paman tidak menyukai tindakan Ayu itu. Sang paman kini tampak menatap tajam dan mengepalkan tinjunya kuat-kuat. Di mata sang paman, sikap Ayu saat ini terkesan tidak sopan dan tidak menghargai kedatangan calon suami dan mertuanya. “Maafkan Ayu, ya Pak,” ucap sang paman kemudian. Pak Anwar lekas menggeleng. “Tidak apa-apa, kok Pak. Toh, kita masih bisa tetap melanjutkan pembicaan ini tanpa Ayu.” Sementara itu, Ayu sudah berbaring di dalam kamarnya. Sesekali dia masih bisa mendengar obrolan orang-orang di luar sana. Namun tak lama kemudian suara-suara itu mulai terdengar samar seiring dengan kelopak matanya yang menutup sempurna. Ayu pun langsung terlelap dengan raut wajah yang terlihat lelah. Matanya sudah terpejam erat, namun lelehan air mata sesekali mengucur dari kedua kelopak mata yang terpejam itu. _ Langit di luar jendela sudah menggelap saat Ayu bangun dari tidurnya. Perasaannya kini terasa lebih baik, namun seluruh persendiannya kini terasa penat. Ayu terjaga di tengah malam dan itu berarti dia tertidur dengan waktu yang sangat lama. Kerongkongannya kini terasa kering. Ayu berniat keluar kamar untuk mengambil segelas air putih guna membasahi dahaganya. Namun saat akan membuka pintu kamar, gerakan tangan Ayu terhenti. Dia mendengar suara sang bude dan sang paman yang sedang berbincang di luar sana. Sejenak Ayu menahan napas dan mencoba mendengar percakapan. “A-apa? jadi sebelumnya Anwar pernah menghamili seorang perempuan sewaktu masih di tinggal di Banjarmasin?” Deg. Ayu terkejut mendengar ucapan sang bude. “Itu semua hanya sebuah masa lalu dan tidak akan menjadi masalah. Lagi pula Ayu tidak mengetahuinya dan semua akan baik-baik saja. Yang terpenting sekarang adalah hutang-hutang kita kepada Pak Anwar akan langsung lunas saat Ayu resmi dipersunting oleh Anto sebagai istrinya,” ucap sang paman. Ayu tertegun nanar di tempatnya berdiri. Bersamaan dengan  itu pemandangannya langsung buram karena linangan air mata yang sudah menggenang. Ayu menutup mulutnya sendiri memakai telapak tangan dengan air mata yang perlahan mengalir di pipinya. Dia tidak menyangka bahwa ternyata semua ini terjadi karena sang paman mempunyai hutang kepada pak Anwar. Tubuh Ayu pun lengser dan terduduk di lantai. Dia tidak bisa menerima hal ini. Dia tidak ingin mempunyai seorang suami bajingan seperti anto. Ayu pun bergidik saat dia teringat bagaimana Anto menatapnya. Tatapan penuh nafsu itu memang sangat mengerikan. “Aku tidak bisa menerima semua ini,” ucap Ayu dalam hatinya. Waktu terus berlalu. Sang paman dan bude masih saja bersemangat mengobrol tentang rencana pernikahan Ayu dan Anto di luar sana. Sementara Ayu juga masih menyimak semua pembicaraan itu dari balik pintu kamarnya. Hatinya kian teriris mendengar obrolan yang tidak masuk akal itu. Sang paman menganggap pernikahan itu adalah bayaran atas segala yang sudah dia lakukan untuk Ayu selama ini. Ayu terus menangis dalam hening seraya membenamkan wajahnya di antara kedua lutut. Sampai kemudian dia tidak lagi mendengar suara-suara di luar sana. Hening sekali. Sepertinya sang paman dan budenya sudah beranjak tidur ke dalam kamar. Ayu pun bangun seraya menyeka sisa air matanya. Dia mengambil sebuah ransel berukuran besar yang tergantung di belakang pintu, lalu dengan cepat mengemasi barang-barangnya. “Aku harus pergi dari rumah ini sekarang juga ....” bisiknya lirih. _   Bersambung...  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD