"Yume, ini formulir yang kau minta."
Seseorang memberikan sebuah kertas kepada gadis yang tengah duduk sendiri di dalam kelasnya.
Yume segera mengambil kertas itu tanpa berterimakasih bahkan tanpa menatap gadis yang memberikan padanya.
"Apa kau ingin ikut kami berkeliling?" tanya gadis itu lagi.
"Tidak," jawab Yume singkat. Ia bangkit dari dari kursi dan meninggalkan beberapa orang gadis yang mengajaknya bicara tadi.
Yume melangkah ke arah sembarang, matanya masih memperhatikan kertas yang ada dalam genggamannya. Klub seni, klub yang menjadi pilihannya. Bukan tanpa sebab Yume memilih klub itu. Ada seseorang yang sangat ingin Yume temui, seseorang yang pernah memberikan kesan mendalam dalam hidupnya sepuluh tahun lalu.
Ketika Yume masih berusia delapan tahun, Yume sangat menyukai jika ibunya mendongeng tentang seorang puteri dan pangeran menjelang tidur. Ia akan bersemangat dan terus mengingat ucapan sang ibu, bahwa pangeran akan berjuang demi mendapatkan seorang puteri, pangeran yang mengendarai seekor kuda putih dengan wajah tampan rupawan rela melakukan apa saja untuk menikah dengan pujaan hatinya.
Pangeran dalam kehidupan nyata Yume muncul, ketika kakak perempuannya membawa seorang murid sekolah menengah ke dalam rumah mereka. Pertama kali Yume melihatnya, Yume berpikir murid laki-laki itulah yang paling mendekati figur pangeran di benak Yume. Sosok yang tinggi, tampan, dan selalu tersenyum cerah, bernama Ryuu Watanabe. Ia terlihat bersinar ketika berada di samping kakak perempuan Yume yang cantik, yang selama ini Yume anggap tuan puteri. Yume selalu mengamati mereka secara diam-diam ketika mereka sedang asik belajar. Bahkan Yume sudah membayangkan jika mereka menikah nanti.
Tetapi, harapan Yume sirna.
Ternyata sosok pangeran yang Yume bayangkan, harus hilang seketika setelah Yume melihat pria itu menangis di pernikahan sang puteri. Ya, kakak Yume memilih menikah dengan orang lain.
Yume mendapati Ryuu mengamati kakaknya dari kejauhan. Pria itu, pria yang pertama kali Yume lihat dalam hidupnya rela meneteskan air mata hanya demi seorang wanita yang bahkan tidak pernah ayahnya lakukan untuk sang ibu. Air mata Ryuu yang menetes dalam kegelapan sangat mengganggu Yume, hingga kini, hatinya terus mengingat kesedihan malam itu.
Bukankah mereka saling mencintai?
Sepasang sepatu hitam berhenti tepat di hadapan Yume, membuyarkan ingatan akan masa kecilnya. Perlahan ia menaikkan pandangannya ke atas. Waktu seakan terhenti bagi Yume tatkala ia menatap ke dalam mata hitam pekat milik pria bersepatu hitam itu.
"Hai," sapa pria itu tersenyum ramah. "Kau hampir saja menabrak--."
"Onii-san," potong Yume cepat tanpa keraguan.
Pria yang adalah Ryuu itu memperhatikan Yume lamat-lamat.
"Yume-chan?" Ryuu ragu untuk menyebut nama Yume, takut jika ia salah mengenali seseorang.
"Ya, ini aku. Yume Endoo. Apa kau sudah melupakan wajahku, Onii-san?"
Senyum ramah Ryuu memudar, berganti dengan senyuman yang sulit Yume artikan. Dan yang membuat Yume terperanjat adalah dengan tiba-tiba pria itu memeluknya erat.
"Yume-chan, aku hampir tidak mengenalimu, karena kau sudah sebesar ini," ucap Ryuu ambigu membuat Yume dengan segera melepas pelukan Ryuu dan menatapnya tajam.
Melihat itu, Ryuu terkekeh. "Kau semakin cantik, bagaimana kabarmu?" tanya Ryuu, kali ini dengan raut wajah yang berubah, wajah lembut yang sangat Yume sukai dulu.
Seharusnya Yume yang bertanya padanya, bagaimana kabar Ryuu? Apakah ia baik-baik saja sekarang setelah kejadian itu?
Dulu, Ryuu adalah pacar kakak perempuan Yume. Meskipun kakak Yume beberapa tahun lebih tua dari Ryuu, tapi mereka nampak sangat serasi di mata Yume. Kakak Yume menjadi guru privat untuk Ryuu yang kala itu ingin masuk perguruan tinggi di Eropa. Yume tahu mereka menjalin hubungan karena Yume melihat mereka berciuman di balkon rumahnya ketika Yume ingin mengajak mereka bermain.
Ryuu sangat baik, setiap kali ia datang, Ryuu selalu membawakan Yume permen atau cokelat hingga kakaknya memarahi Yume karena terlalu banyak makan makanan yang manis-manis.
Mereka terlihat sangat bahagia. Hingga suatu hari, kakak Yume mengatakan akan menikah dengan pria asing yang tidak Yume kenal. Ia ingin mengejar mimpinya ke Amerika bersama pria itu.
Pada hari pernikahan mereka, Ryuu datang dengan menggunakan tuxedo hitam. Yume berpikir ia memang benar-benar sosok pangeran tanpa kuda dan mahkota. Tapi, pangeran itu tidak keren, karena ia menangis diam-diam, memperhatikan kakak Yume yang tertawa bahagia setelah mengikrarkan janji suci mereka.
Harusnya pangeran akan selalu berjuang demi sang puteri, tapi kenapa Ryuu hanya diam?
Malamnya, Yume sempat menanyakan kepada kakaknya, kenapa kakaknya menikah dengan pria asing, dan bukan dengan Ryuu? Bukankah kakaknya dan Ryuu saling mencintai?
"Yume sayang, ada hal yang tidak kau ketahui, kakak tidak pernah mencintai Ryuu. Karena orang tua Ryuu yang meminta kakak untuk mengajarinya, jadi kakak menjadi dekat dengannya. Dan suami kakak sekarang bukanlah pria asing, kakak lebih dulu mengenalnya daripada Ryuu. Kakak sudah sangat dewasa dibandingkan Ryuu, kakak dan Ryuu tidak akan bisa sejalan, karena kakak sudah harus memikirkan pernikahan di usia kakak saat ini, sedangkan Ryuu harus fokus dengan pendidikannya. Kakak harap suatu saat Yume akan paham akan hal itu."
Jawaban yang masih Yume ingat dari kakaknya.
Tidak, Yume tidak paham bahkan hingga sepuluh tahun kemudian, hingga saat ini. Jika mereka tidak saling mencintai, kenapa mereka berciuman? Kenapa mereka berdua terlihat bahagia?
Mengapa?
"Yume-chan?" Ryuu melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Yume, melihat gadis itu terdiam dengan tatapan yang kosong, tidak merespon pertanyaannya.
Yume berkedip menyadari ia tengah melamun kembali. Yume menatap Ryuu datar. "Apa kau baik-baik saja, Onii-san?" tanyanya.
Ada sedikit jeda kebisuan diantara pertanyaan Yume yang membuat Ryuu tidak dapat menjawabnya. Wajah Yume, ia sedikit mengingatkan Ryuu pada rasa sakit yang pernah ia rasakan dulu, yang membentuknya menjadi Ryuu yang seperti ini.
"Aku baik-baik saja," jawab Ryuu akhirnya. Ia mengacak rambut berponi Yume dan melangkah maju, merasa tidak nyaman jika terus bersama Yume, yang hanya akan menguak luka lamanya.
Gadis itu dengan cepat merapihkan poninya yang berantakan, dan berjalan mengikuti Ryuu di sebelahnya.
Ryuu yang melihat itu melirik kertas yang dibawa Yume. "Klub apa yang kau pilih?" tanyanya membuka percakapan lain agar tidak terjadi kecanggungan.
"Seni."
"Ah, baguslah, aku pembimbing klub itu." Ryuu harus berpura-pura tersenyum ramah.
"Aku sudah tau," gumam Yume.
Mendengar itu Ryuu menghentikan langkah. Ia memasukkan tangannya ke dalam kantung celana dan memutar tubuhnya menghadap Yume. Ryuu membungkuk untuk menatap mata Yume yang jauh lebih pendek darinya.
Ryuu tersenyum manis sebelum mengubah raut wajahnya menjadi sangat serius dengan tatapan mata tajam.
"Banyak serigala disini, kau harus berhati-hati," ucap Ryuu menyeringai, menggunakan bola matanya, ia menunjuk ruangan di belakang tubuh Yume. kemudian pergi meninggalkan gadis itu.
Tapi Yume adalah Yume. Ia tidak merasa terintimidasi sedikitpun oleh tatapan Ryuu. Justru sebaliknya, ntah mengapa Ryuu masih menjadi sosok pangeran bagi Yume. Tetapi, pangeran yang sangat menyedihkan.
Tanpa pikir panjang, Yume membalikkan tubuhnya melihat ruangan yang sempat Ryuu tunjukkan. Disana, ada pintu yang bertuliskan nama klub. Ternyata itu adalah ruangan klub Seni. Syukurlah, ia tidak harus repot-repot berkeliling untuk mencari ruang klub tersebut, karena Yume paling tidak menyukai hal-hal yang merepotkan.
Yume yang memang sudah bertekad bulat, tanpa ragu masuk ke dalam, walaupun ia belum sempat mengisi formulir yang sejak tadi ia bawa.
"Permisi," ucapnya menggeser sebuah pintu.
Disana terdapat banyak orang yang sudah mengantri, khususnya laki-laki yang hampir memenuhi isi ruangan.
Pandangan Yume berputar mengelilingi tiap bagian klub seni. Ruangan yang cukup luas. Banyak terpajang lukisan-lukisan pemandangan yang indah, hingga lukisan-lukisan abstrak yang Yume sendiri tidak mengetahui artinya, juga terdapat patung-patung aneh di beberapa sudut.
"Kau ingin mendaftar?" seseorang mendekat, bertanya pada Yume yang mungkin terlihat kebingungan.
"Ya."
"Silahkan isi formulir ini terlebih dahulu," ucapnya menyodorkan selembar kertas.
Yume mengangkat kertas yang ada di tangannya. "Aku sudah punya."
Pria itu tersenyum lalu menunjuk ke sebuah meja yang nampaknya sudah di sediakan untuk mahasiswa baru mengisi formulir. "Kalau begitu, kau bisa mengisinya disana. Jika ada yang kurang paham, silahkan ditanyakan."
Yume menurut. Tanpa banyak bicara, Yume langsung mendudukkan dirinya di salah satu kursi dan mengeluarkan pena yang ada di dalam tasnya.
Sebelum mengisi, ia kembali melihat sekitar, dipusat kerumunan yang mencuri perhatian Yume.
Pantas saja, banyak pria yang berminat pada klub Seni. Disana nampak seorang dewi sedang tersenyum manis pada setiap mahasiswa baru. Yume tidak kenal dengan gadis itu, tapi Yume tahu, dia adalah Ayano, Dewi di kampus ini. Gadis cantik yang terlihat sangat anggun dan lembut seperti ibu ratu.
Tapi Yume kembali tidak peduli. Sungguh ia tidak peduli bahkan dengan sekitarnya. Yume hanya peduli pada hal-hal yang menarik baginya. Ia mulai mengisi formulirnya dengan teliti.
Saat sedang asik menulis. Yume merasa kesal karena sekumpulan pria yang berada di sampingnya sangat berisik. Hal itu membuat Yume terganggu dan tidak nyaman, apalagi karena ia tahu, mereka seperti sedang membicarakan Yume.
"Apa kalian bisa diam?" tegur Yume ketus. Wajahnya masih tertunduk, menulis hal-hal yang diperlukan dalam formulir itu.
Pria-pria itu saling memandang satu sama lain. Walaupun Yume tidak menatap ke arah mereka, tapi mereka sadar, yang Yume maksud adalah mereka.
"Eh, ba-baik," ucap salah satu pria.
Yume membuang napas, ia mengaitkan rambutnya yang menjuntai ke belakang telinga. Hal itu justru membuat si pria kembali berbisik-bisik dengan temannya.
"Kau sangat cantik," ucap salah satu pria membuat Yume berhenti menggerakkan tanggannya. Ia mengangkat wajahnya yang sedari tadi ia sembunyikan dan berniat menegur kembali pria-pria itu.
Tapi niatnya ia urungkan karena ketika Yume menatap mereka, seorang pria yang ia kenal melambaikan tangan dan tersenyum lebar padanya.
"Ichiro," tukas Yume sedikit kesal.
Pria itu mendekati Yume dan duduk di sebelahnya. Sedangkan Yume kembali acuh, melanjutkan kegiatan yang ia hentikan.
"Jahat sekali, kau tidak melihatku sedari tadi?" protes Ichiro.
"Tidak."
"Hanya karena beberapa tahun ini kita tidak bersama, kau tidak mau menyapaku?"
Yume tidak mau menjawab pertanyaan bodoh itu. Kenyataannya, ia memang tidak menyadari keberadaan Ichiro.
Ichiro Kaji adalah teman Yume sejak kecil, mereka bersekolah di sekolah dasar dan menengah yang sama, lalu di tempat les pun mereka bertemu karena Ichiro selalu mengikuti Yume kemanapun ia pergi. Ayah Yume dan Ichiro adalah teman yang akrab. Tetapi, begitu masuk ke sekolah menengah ke atas, Ichiro memilih sekolah yang berbeda dengan Yume, sejak saat itu, hubungan mereka mulai menjauh. Ichiro selalu menghubunginya tetapi Yume jarang menanggapi.
"Kenapa Yume diam saja?"
"....."
"Kau tidak rindu padaku?"
"Tidak."
"Jahatnya."
Yume membuang napas malas.
"Yume, dengarkan aku, sejak tadi teman-temanku membicarakanmu, mereka ingin berkenalan denganmu," cerita Ichiro dengan semangat.
Yume masih diam.
"Hei, Yume."
"......"
Ichiro menghela napas. "Kau masih seperti dulu ya, Yume," komentarnya.
Gadis itu menaruh penanya sedikit keras. "Selesai." gumam Yume. Ia bangkit dari kursi dan menunjukkan formulirnya pada Ichiro. "Aku sudah selesai, Ichiro. Aku duluan," ucapnya lalu meninggalkan Ichiro dan teman-temannya untuk berniat menyerahkan formulir tersebut pada senior yang menyapanya tadi.
Ichiro hanya menopangkan dagunya ke tangan, memperhatikan Yume yang berjalan menjauh tanpa menengok lagi ke arahnya. Ia memang sudah paham dengan sifat Yume, jadi ia tidak merasa tersinggung sedikitpun.
Sedangkan Yume, ia akhirnya menemukan pria tadi. Gadis itu memberikan formulir yang sudah ia isi pada pria tersebut tanpa kata, membuat alis sang pria berkerut.
"Kau harus ikut mengantri disana," ucap pria itu.
Yume mengarahkan arah pandangnya ke beberapa orang yang ia lihat sudah mengantri tadi. Jelas saja Yume tidak mau melakukan hal yang tidak berguna itu, sangat membuang-buang waktunya.
"Baiklah." Ia menaruh formulir itu di atas meja sang pria. "Aku tidak mau. Jika aku bisa masuk klub ini, aku sangat berterima kasih, jika tidak pun tidak masalah," ucapnya lalu pergi.
Sungguh, Yume sangat tidak menyukai hal-hal yang merepotkannya. Lebih baik sekarang ia pergi menyendiri.